Kecenderungan Perasaan "Tertinggal" Pada Remaja: Menggali Lebih Dalam Makna dan Perspektif Ikigai
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN (0881) dan Nadia Aulia Nadhirah, M. Pd. (2991)
Dewasa kini, fenomena merasa “tertinggal” atau seringkali dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FoMO) telah menjadi semakin umum di kalangan remaja. Perasaan tersebut menjadi tantangan emosional yang muncul ketika remaja tidak mampu bersaing, terpinggirkan dalam lingkungan sosial, atau merasa bingung dengan tujuan hidup mereka.
Dalam konteks ini, "tertinggal" juga berarti ketertinggalan dalam hal pencapaian pribadi, kemajuan sosial, dan pemahaman diri. Persepsi bahwa orang lain bahagia, memiliki kehidupan yang lebih baik, dan berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan dapat menyebabkan perasaan tertinggal atau FoMO.
Dalam bahasa Inggris, FoMO merupakan akronim dari “fear of missing out”, yang berarti: “a worried feeling that you may miss exciting events that other people are going to, especially caused by things you see on social media” (FoMO | English Meaning - Cambridge Dictionary, 2023).
Sebagaimana diartikan dalam Kamus Cambridge, penyebab khusus munculnya perasaan FoMO adalah hal-hal yang dilihat di media sosial. Dalam sepuluh tahun terakhir, media sosial telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia (Wong et al., 2019).
Berdasarkan data Pew Research Center, kelompok usia dewasa awal (18-24 tahun) menunjukkan data yang tinggi terhadap penggunaan media sosial. Didukung oleh analisa data Kepios dalam Datareportal (2022), media sosial telah digunakan oleh 4,7 milyar pengguna di seluruh dunia dan Instagram menjadi platform dengan pengguna media sosial terbanyak.
Jumlah penggunaan Instagram yang tinggi menunjukkan bahwa usia remaja dan dewasa awal secara otomatis menggunakan media sosial sebagai media komunikasi.
Perkembangan media sosial menghampiri batas ruang dan waktu bahkan mampu menyampaikan informasi secara real-time dalam lingkup global. Melalui kecanggihannya, media sosial dapat menjadi solusi bagi individu untuk menciptakan koneksi dengan individu lainnya. Jejaring sosial dapat terbangun dengan mudah melalui interaksi yang terjadi secara virtual.
Sayangnya, tidak semua paparan informasi media sosial memberikan dampak positif, khususnya pada remaja. Menurut Royal Society for Public Health (2017), gangguan kondisi kesehatan mental seperti depresi, insomnia, kekhawatiran body image, cyberbullying, dan ketakutan tertinggal (FoMO) dipengaruhi oleh media sosial.