Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai kembali bekerja. Senin (9/1) pagi, para wakil rakyat mengadakan sidang paripurna pembukaan masa sidang. Inilah rapat pertama DPR di tahun 2012. Sebagaimana lazimnya, rapat pembukaan masa sidang itu sepi peserta. Mayoritas kursi di ruang paripurna tak disapa pemiliknya. Melihat jumlah peserta, sidang belumlah kuorum. Tetapi, sidang dapat berjalan, karena rupanya absensi sudah kuorum. Seperti biasanya, para staff anggota dewan telah mengisi absensi para bosnya.
Namun, kejadian kontras mengemuka di hadapan publik. Tak seperti Senayan yang masih sepi, sejak awal tahun pemberitaan di media telah ramai oleh komentar para anggota dewan. Wakil Ketua Fraksi Demokrat, Sutan Bathoegana memulainya. Sutan menyebut para vokalis Golkar dan PKS yang nyaring bersuara soal Century sebagai ikan salmon. “Waspada, karena ada ikan salmon yang terus menggoyang Partai Demokrat dan Presiden SBY. Ikan salmon itu artinya, intelektual kagetan yang suka asal ngomong,” demikian ucap Sutan medio pekan lalu.
Tak perlu menunggu lama, komentar Sutan segera bersambut. Politisi Golkar, Bambang Soesatyo yang merasa disebut Sutan, membalas keseokan harinya. “Mulutnya asin, kayak ikan teri asin. Intelektual kagetan teriak sana-sini,” ujar legislator pemilik mobil Bentley tersebut menyambut tudingan Sutan. Tak mau ketinggalan, rekan sefraksi Bambang, Nudirman Munir turut angkat suara. Politisi tambun fraksi Golkar tersebut menyebut Sutan tidak intelek. Seolah dirinya intelek, Nudirman malah menganalogikan Golkar sebagai ikan pesut.
Perdebatan tak substansif, analogi tak elegan, demikian ciri dialog picisan antar legislator tersebut. Menyimak perdebatan tersebut, peniliti politik Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, menyebut, keadaban politik anggota dewan masih pada taraf purba. Itulah genderang perang pertama yang ditabuh di Senayan awal tahun ini.
Ya, tahun 2012 ini arus politik Senayan tak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, hingar bingar politik diperkirakan lebih nyaring pada 2012 ini. Banyaknya suara di Senayan, bukanlah seruling merdu di telinga publik. Suara di Senayan sepanjang 2012 ini, justru genderang perang antar parpol. Banyaknya UU yang menyangkut kepentingan politik parpol akan menjadi pemicu.
Publik sepertinya akan melihat banyak perang di 2012 ini. Namun, sesungguhnya, pertunjukan Senayan bukanlah perang sungguhan, tetapi hanya perang-perangan. Para legislator pada 2012 ini belum akan mengenakan baju zirah untuk berperang. Anggota DPR sepanjang 2012 ini hanyalah penabuh genderang perang. Perang sesungguhnya baru akan berlangsung pada 2014 mendatang.
Gejala menabuh genderang dan bukannya berperang sudah tampak sejak jauh hari. Parpol-parpol pengkritik pemerintah, tak sungguh berniat untuk menjatuhkan rezim ini. Ambil contoh Century. Setelah ‘berperang’ di Pansus dan menang, parpol-parpol pengusung hak angket Century bukannya menghujam pedang ke jantung kekuasaan dengan melanjutkan ke Hak Menyatakan Pendapat. Mereka justru menyerahkan pedang kepada penegak hukum yang mereka sudah tahu tak akan sanggup untuk membunuh raksasa. Parpol-parpol tersebut, sesungguhnya tak bertujuan menjatuhkan SBY dari kursi kepresidenan. Tujuan mereka adalah, menjatuhkan SBY dari mata publik yang tentu akan berakibat pada hancurnya citra Demokrat pada 2014 mendatang.
Triwulan pertama tahun ini, DPR akan sibuk membahas UU Pemilu Legislatif. Sejumlah poin krusial seperti Parliamentary Tresshold (PT), besaran dapil, penghitungan sisa suara dan sistem pemilu akan menjadi genderang perang selanjutnya. Bagaimana tidak, dengan dalih efektivitas presidensial, parpol besar ingin menaikkan PT. Parpol menengah dan kecil lalu menuding usulan tersebut bertujuan membunuh partai mereka. Menolak PT tinggi pun mereka lakukan dengan menggalang poros tengah. Dalihnya, suara rakyat akan semakin banyak yang hilang. Padahal, alasan sesungguhnya parpol besar dan kecil serupa: memperkokoh eksistensi di parlemen. Parpol besar ingin mendapat lebih banyak limpahan kursi dari parpol yang tak lolos PT, sedangkan parpol kecil ingin tetap eksis dan mengais rupiah di gedung kura-kura.
Setgab koalisi mulai intensif mengadakan rapat guna menyatukan suara. Harapannya jelas, koalisi tidak pecah seperti sebelumnya. Namun, rasanya mustahil melihat Setgab padu. Koalisi yang dibangun dengan dasar pragmatisme itu, akan kembali adu jotos. Karenanya, hampir dipastikan, UU Pemilu akan mundur dari tenggat waktu, Maret 2012. UU selesai dengan kompromi yang sangat kental. Ujungnya, lagi-lagi akan berakhir lewat judicial review Mahkamah Konstitusi.
Genderang perang selanjutnya adalah UU Pilpres. Bermacam wacana soal pilpres akan meramaikan pembahasan ini. PDIP melempar wacana pelaksanaan pilpres lebih dulu sebelum pileg. Alasannya, agar koalisi pemerintahan dibangun berdasarkan idealisme dan bukan pragmatism sempit. Usulan lain adalah pelaksanaan pilpres bersamaan dengan pileg. Masalahnya serupa, mengenai syarat parpol mencalonkan presiden.
Genderang perang selanjutnya terkait kepentingan parpol di daerah. UU Pemerintah Daerah akan dipecah menjadi tiga UU, yakni UU Pemerintahan Daerah, UU Pemilihan Kepala Daerah dan UU Desa. Genderang perang ini akan berbunyi lebih nyaring karena terkait ekspansi parpol di daerah. Semua parpol, pasti ingin mengamankan daerah basis politiknya. Tujuannya jelas, sebagai amunisi menghadapi Pemilu 2014. Usulan pemerintah agar Gubernur ditunjuk Pemerintah Pusat hampir pasti ditentang mayoritas parpol. Bukan rahasia, pilkada adalah sarana partai menguasai daerah dan meraup dana dari calon kepala daerah.
Genderang perang selanjutnya adalah revisi UU KPK. DPR berencana mengadakan revisi terhadap UU KPK yang tahun ini akan berusia 10 tahun. Banyaknya isu yang menyerang KPK selama ini, digunakan sebagai dalih revisi. Padahal jelas, DPR merasa KPK menjadi ancaman bagi praktek mafia anggaran yang melibatkan sejumlah legislator dan politisi. Genderang perang UU KPK ini tidak hanya melibatkan partai politik, tetapi juga sejumlah LSM anti korupsi.
Sejumlah UU lain seperti UU Keistimewaan Jogja, UU Susduk (MD3) dan beragam UU lainnya akan menjadi genderang perang lain yang nyaring terdengar dari Senayan. Kepentingan politis dan pencitraan akan mewarnai pembahasan sejumlah UU tersebut.
Selain itu, masalah Century akan tetap menjadi genderang perang yang ditabuh sepanjang tahun ini. KPK, rasanya tetap akan kesulitan untuk meringkus Boediono dan Sri Mulyani. Akibatnya, parpol pengusung hak angket akan terus menabuh genderang. Sementara Demokrat akan membalas dengan sejumlah kasus yang melibatkan kader-kader parpol penentangnya. Genderang ini akan semakin nyaring hingga pemilu 2014.
Akibatnya, rakyat yang menjadi korban. Bukan hanya pekak oleh genderang perang parpol, tetapi rakyat menjadi salah satu instrumen yang ditabuh untuk kepentingan parpol. Padahal, rakyat berharap ada seruling yang ditiup di Senayan. Seruling merdu itu adalah konsistensi DPR dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, ketekunan DPR dalam melahirkan UU Konstitusional yang Pro Rakyat, serta kegigihan DPR menentang kebijakan pro-asing dan pro-swasta. Tapi, rasanya itu hanya harapan. Yang akan didengar rakyat tahun ini dari Senayan, bukan seruling, tapi genderang perang.
#Judul ini terinspirasi dari buku Erastus Sabdono, namun dengan topik bahasan yang sama sekali berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H