orang tua untuk selamanya adalah momen kehilangan yang paling mendalam yang pernah saya rasakan.  Apalagi bagi saya yang merantau beda domisili yang jauh dari keluarga. Saat ayah dikabarkan berpulang, tidak memungkinkan bagi saya untuk segera kembali. Tentu saja karena jadwal penerbangan yang tidak bisa kita atur menurut  keadaan yang kita alami sekalipun dalam keadaan berduka.Â
Hari ini tepat satu tahun ibu saya meninggal, sebelumnya ayah saya juga telah dipanggil Tuhan  terlebih dahulu yaitu tiga tahun yang lalu. KepergianSetibanya di rumah, apa daya, almarhum ayah sudah dikebumikan. Hanya doa yang bisa saya haturkan di pusara ayah serta mengikuti jalanannya ibadah penghiburan yang dilaksanakan seminggu penuh bagi kami keluarga yang tengah berduka.Sepeninggal ayah, ibu juga sedang berjuang rawat jalan dengan sakit yang tengah dideritanya. Momen campur aduk adalah ketika tiba-tiba mendapat kabar dari adik bahwa ibu sedang dalam keadaan kritis di ICU. Sebagai anak rantau yang lagi-lagi jauh dari keluarga, perasaan kalut sangat saya rasakan karena tidak bisa mendampingi orang tua yang terbaring sakit.  Selera makan hilang, pikiran kemana-mana, akankah kali ini ibu bisa bertahan? Setelah beberapa hari dalam keadaan kritis, batin seorang anak sulung berkata "sepertinya aku harus pulang".Â
Tanpa berpikir lama, segera mengajukan libur dan memesan tiket untuk pulang.  Sebagai manusia biasa yang bisa merasakan sedih dan khawatir, indera penglihatan merespon dengan mengeluarkan tetesannya. Ya, saya menangis sepanjang perjalan pulang. Setibanya di kota kelahiran saya, rupanya saudara sudah  menunggu di bandara. Segera kami bergegas ke Rumah Sakit dan ya.. Ibu saya sudah terbaring lemah di ruang ICU. Tidak berapa lama, Ibu saya meninggalkan kami untuk selamanya.Â
Jika saat itu saya tidak memutuskan untuk pulang, mungkin akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidup saya. Dan saya percaya bahwa semua ini sudah jalan Tuhan.Bagi kami umat Kristiani, menggunakan pakaian bersih dan rapi adalah cara kami menghadap Tuhan. Dengan kondisi yang tanpa "persiapan" inilah membuat kami putra-putri'nya mencari apa yang sekiranya ada di almari pakaian orang tua untuk bisa dikenakan disaat terkahirnya. Semua opsi sudah dicoba namun pilihan jatuh pada kain songket yang pernah saya belikan untuk almarhum saat perjalanan saya ke Medan 12 tahun yang lalu.
Seminggu berselang, dalam keadaan berduka saya dan kedua adik saling menguatkan. Dan saat kami bercerita tentang kepergian ayah, ternyata ayah juga menggunakan sepatu pemberian saya saat menghadap Yang Kuasa. Siapa sangka selembar kain songket dan sepatu pantofel coklat dari putra sulung'nya ternyata berguna di hari terakhir orang tua yang dikasihinya. Kematian datang begitu cepat tanpa diundang, tanpa rencana, tanpa persiapan. Kita tidak tau akan meninggal dengan cara apa, bagaimana dan kapan, semua itu adalah rahasia Tuhan. Yang bisa kita lakukan adalah berserah pada Tuhan dengan beribadah menurut kepercayaan masing-masing, melakakukan kewajiban serta menjauhi segala larangannya. Hanya amal kebajikan yang akan menjadi "pakaian terakhir" kita untuk menghadap Sang Khalik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H