Mohon tunggu...
Yohanes Andrianto Sir
Yohanes Andrianto Sir Mohon Tunggu... Desainer - Sebuah Catatan Perjalanan

Ingin berbagi dengan dunia; belajar menuangkan sebuah perjalanan ke media tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wong Jowo Ojo Ilang Jowone (Orang Jawa Jangan Kehilangan Jati Dirinya)

15 Februari 2022   08:03 Diperbarui: 15 Februari 2022   08:11 8561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bancak'an Weton wujud rasa syukur dan refleksi diri *Dokumentasi Pribadi

"Wong Jowo, Ojo Ilang Jowone". Ungkapan ini sering didengar oleh masyarakat Jawa, termasuk saya. Kalimat tersebut memberi maksud dan pengertian bahwa jangan pernah kehilangan jati diri sebagai orang Jawa dimanapun kita berada. Saat ini saya merantau hampir sepuluh tahun jauh di bagian Timur wilayah Indonesia, ungkapan terebut kini benar-benar saya rasakan. Didikan dari nenek saya sungguh sangat melekat; bagaimana sejatinya orang Jawa seharusnya berakar dan bertumbuh dimana saja seperti "Telo" (Ubi Jalar) yang dapat "survive" dimanapun Ia berada. Terkadang rasa rindu akan masakan Jawa yang manis dan gurihpun tak ter'elakkan hingga berakhir pada eksperimen di dapur rumah.
Saya teringat, kala itu nenek saya sering membuatkan Bancakan Weto (syukuran atau selamatan dalam penanggalan / tradisi Jawa) yang sarat makna dan budi pekerti yang luhur. Ingatan masa kecil itulah yang membuat saya mencoba untuk merekonstruksi makanan yang penuh filososi dan makna itu, walaupun sedang berada jauh di tanah rantau.


Refleksi Diri serta Mengharapkan Pertolongan dari Tuhan
Bancak'an Weton biasanya terdiri dari tiga kelompok hidangan yaitu Bubur Merah / Putih, Buah dan Jajan Pasar, serta Tumpeng yang masing-masing memiliki filosofinya tersendiri. Bubur Merah / Putih berjumlah Tujuh buah wujud bertemunya dua insan manusia (kedua orang tua kita) yang saling mengasihi, hingga  melahirkan kita ke dunia. Bubur ini mengisyaratkan untuk senantiasa menghormati kedua orang tua kita, dan sebagai refleksi diri bahwasanya kita tidak dapat terlahir ke dunia ini tanpa melalui perantara ke dua orang tua kita. 

Ubo Rampe berikutnya adalah Pisang Raja, Buah-Buahan, Umbi-Umbian dan penganan manis / gurih lainnya yang bisa kita temukan di pasar rakyat. Dua buah pisang yang terbuka ke atas beserta buah Nanas ibarat kedua tangan kita yang sedang menengadah; memanjatkan rasa syukur kepada "yang di atas"  Tuhan YME atas berkat serta karunia'nya. Selanjutnya dilengkapi dengan Polo Gumantung (buah yang bergelantung)  dan Polo Kependem (buah / umbian yang terpendam di tanah). Kebetulan yang saya dapatkan adalah Buah Jambu, Jeruk dan Kacang Tanah memberi arti bahwasanya kita harus Gumantung (bergantung) kepada Tuhan YME serta memiliki sifat / watak Kependem (terpedam) atau down to earth. Kependem / terpendam mengingatkan kita untuk tidak memiliki sifat pendendam, namun hidup sejatinya harus ikhlas dan berhati lapang. Selain itu Kependem juga merefleksi bahwa apa yang kita makan tumbuh dari tanah dan segala sesuatu yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Jajan pasar sendiri saya beli masing-masing berjumlah sebelas, yang mengandung arti Welas Asih / mengharapkan belas kasihan dari Yang Maha Esa.
 Tumpeng yang saya buat terdiri dari Pitu (Tujuh) buah sayuran. Pitu sendiri adalah penggalan dari kata Pitulungan (Pertolongan), sejatinya kita hanya mengharapkan pertolongan dari Tuhan. Pada puncak tumpeng terdapat satu buah telur yang berdiri diatas bawang merah serta cabai merah panjang di atasnya. Hidup kita ibarat timbangan yang tidak stabil, penuh dengan cobaan dan tantangan hidup. Sudah seharusnya kita terus bergantung kepada yang di atas untuk setiap masalah dan cobaan yang kita alami, memohon petunjuk serta jalan keluar kepada yang maha tinggi sehingga tercipta keseimbangan hidup.
Makanan yang penuh filosofi ini tidak hanya sebagai wujud ungkapan syukur saja, namun mengandung arti bahwasanya kita harus senantiasa menghormati orang tua, bergantung kepada Tuhan, serta hidup selaras antara manusia dengan sesamanya; serta manusia dengan Tuhan.

*Tulisan ini berdasarkan tradisi lisan / tulisan yang saya peroleh dari berbagai sumber termasuk Almrh. Nenek saya. Pengertian / filosofi mengenai makanan dalam Bancakan Weton yang saya tulis dapat ditafsirkan berbeda menurut masing-masing orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun