Mohon tunggu...
Yohanes Paulus Dewa
Yohanes Paulus Dewa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Seminaris Tingkat 1 SMA Seminari Menengah Mertoyudan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pengalaman Seorang Seminaris

26 September 2024   12:11 Diperbarui: 26 September 2024   12:17 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Halo semuanya, selamat datang di halaman saya. Nama saya adalah Raya, nama lengkap saya adalah Yohanes Paulus Dewa Made Mazmur Nusantara Raya. Saya adalah seorang remaja, kelahiran 2009, di Kota Surabaya. Pada saat ini, jenjang pendidikan saya adalah SMA, dan saya bersekolah di SMA Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan, sebuah sekolah pembinaan bagi para calon pastor Gereja Katolik. Pada kesempatan ini, saya ingin membagikan pengalaman saya, apa yang paling berkesan bagi saya di Seminari Mertoyudan (panggilan akrab bagi sekolah saya), sebagai anak baru. 

Bagi Anda sekalian yang tidak mengerti, apa itu SMA Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan? Terlebih, apa itu Seminari? Seminari adalah sebuah tempat, yang menjadi tempat pengembangan, bagi para laki-laki Katolik, yang memiliki ketertarikan untuk menjadi seorang pastor, yaitu pemuka agama untuk agama Katolik. Selayaknya untuk menjadi tentara perlu masuk ke sebuah akademi militer, demikian juga untuk menjadi seorang pastor, perlu untuk masuk ke sebuah "akademi" untuk calon pastor. "Akademi" tersebut, bernama "Seminari," yang diambil dari bahasa Latin: "semen," yang berarti benih. Di mana, di "seminari" ini, benih-benih panggilan untuk menjadi pastor, dirawat dan dikembangkan, hingga akhirnya dapat melanjutkan perjalanannya untuk menjadi pastor. 

Di Indonesia, terdapat banyak seminari yang tersebar di setiap pulaunya. Di Pulau Jawa, terdapat beberapa seminari menengah, salah satunya adalah Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan, yang terletak di Kecamatan Mertoyudan, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Meskipun jauh dari daerah asal saya, namun saya memutuskan untuk masuk ke seminari ini, karena kualitas yang dimilikinya. Namun, pada tulisan saya ini, yang ingin saya bagikan adalah mengenai pengalaman saya, selama menjadi bagian dari seminari ini. 

Tahun 2024 adalah tahun pertama saya masuk ke seminari ini. Saya masuk, tepat pada 21 Juli 2024, yang mana itu adalah 2 bulan yang lalu sejak tulisan ini dibuat. Selama 2 bulan itu, saya sudah melalui banyak hal. Hari-hari pertama saya masuk ke seminari ini, saya anggap sebagai "masa-masa krusial," karena hari-hari awal tersebutlah yang menentukan seberapa tangguh, seberapa dapat, kami bertahan di sini. Hari-hari awal saya di seminari ini berat. Saya berpisah dari orangtua dan keluarga yang sudah kurang lebih 15 tahun hidup bersama-sama. Dan, berpisah dengan jarak yang jauh untuk waktu yang lama itu tidak mudah. Saya harus beradaptasi dengan lingkungan, teman-teman, dan pergaulan, yang benar-benar asing bagi saya. Saya lahir dan besar di Jawa Timur, dengan budaya Jawa Timur. Ketika saya berpindah ke seminari yang terletak di Jawa Tengah ini, saya harus beradaptasi dengan budaya yang baru, yang cukup mengejutkan bagi saya. Namun, saya dapat melalui hal-hal tersebut dengan baik dan tangguh, berkat teman-teman dan lingkungan yang "menerima" saya dengan baik.

Bagi kami, para "seminaris" baru (sebutan untuk mereka yang belajar di seminari), khususnya di Seminari Mertoyudan, kami "diisolasi" selama 40 hari. Selama 40 hari itu, kami diajak untuk menjadi kerasan di atmosfer yang sangat amat baru dan asing bagi kami. Setelah masa 40 hari itu, kami benar-benar terisolir dari dunia luar. Kami tidak boleh berkomunikasi dengan orangtua kita dalam bentuk apapun, kami tidak boleh keluar dari seminari, dan kami masih belum boleh menikmati seluruh fasilitas yang tersedia di seminari ini. Namun, selama 40 hari yang cukup "menyiksa" bagi kami, para seminaris baru, kami menantikan sebuah hari ketika tepat 40 hari tersebut. Sebuah hari, di mana kami sudah tidak lagi "dikekang," di mana kami boleh kembali bertemu dengan orangtua kami masing-masing. Hari tersebut adalah Hari Orangtua. Hari yang paling kami cita-citakan, dan itu sangat berkesan bagi saya. pribadi. Pada hari tersebut, saya pertama kalinya menangis di seminari ini. Saya menangis, karena saya rindu sekali dengan orangtua dan keluarga saya, dan saya juga senang, karena dapat bertemu dengan mereka lagi, dalam kondisi yang baik. Di hari itu, saya bercerita banyak kepada orangtua saya. Sungguh hari yang amat membahagiakan. 

Ketika Hari Orangtua telah selesai, ketika orangtua saya telah kembali, terdapat rasa sedih, di mana kami harus berpisah lagi. Namun, di saat itu, saya sadar. Bahwa, itu menjadi awal bagi saya, untuk memulai perjalanan saya di seminari ini. Saya jadikan pengalaman Hari Orangtua tersebut, sebagai motivasi bagi saya, untuk bersemangat dalam menjalani proses di Seminari Mertoyudan ini, untuk menjadi seorang pastor.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun