RUU Pilkada kini sudah menjadi undang-undang yang sah oleh anggota DPR RI. Tampaknya ada yang patut dipertanyakan dari pengesahan RUU Pilkada ini. Alasan pengesahan RUU Pilkada ini adalah maraknya politik uang dan pengerahan massa pada masa kampanye. Alasan yang lain yang juga patut dipertanyakan adalah pendasaran RUU Pilkada ini kepada sila keempat, yakni "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan."
Politik uang bisa terjadi dimana saja. Langsung atau tidaknya pelaksanaan Pilkada bukan merupakan sebuah jaminan bahwa politik uang bisa dihilangkan. Tetapi bukan berarti jika Pilkada dilangsungkan secara tertutup atau dipilih langsung oleh anggota DPRD, maka mekanisme transparansi memang menjadi tertutup. Dengan adanya sistem tertutup seperti ini maka tidak mungkin apabila korupsi atau tindak pidana penyuapan akan terjadi dan menjamur.
Untuk pengerahan massa dan kasus penyerangan ketika masa kampanye terjadi, itu memang seutuhnya tanggungjawab dan dampak yang tidak bisa dihindari dari adanya kampanye terbuka. Yang harus dilakukan bukan mengubah sistem Pilkada menjadi tidak langsung. Yang harus dilakukan dan penting untuk disimak adalah adanya pendidikan politik sedari dini untuk semua pendukung partai ataupun calon kepala daerah. Menurut saya pengubahan sistem Pilkada menjadi tertutup tidak akan mendewasakan masyarakat kita sendiri.
Lalu alasan yang terakhir adalah alasan dimana pancasila kita merupakan demokrasi yang "permusyawaratan perwakilan". Ini merupakan alasan paling bodoh yang pernah saya dengar. Saya juga tak habis pikir darimana datangnya wahyu yang keliru atau interpretasi yang keliru total atas sila keempat ini. Demokrasi modern dicetuskan oleh filsuf Perancis, J.J. Rosseau dengan trias politicanya. Adanya tiga lembaga sebagai bentuk demokrasi itu sendiri adalah perwujudan konkrit dari demokrasi modern. Memang mustahil apabila kita harus melaksanakan demokrasi murni. Tetapi pada prinsipnya, rakyat memiliki porsi paling besar dalam penentuan arah dan dasar negara. Istilah singkatnya, negara adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Ketika ada alasan bahwa sebuah "permusyawaratan perwakilan" harus menentukan kepala daerah, ada hal yang tidak bisa ditemukan silogismenya. Yang pasti, partisipasi rakyat dalam melaksnakan demokrasi menjadi sempit dan hampir mustahil. Ini sebagai akibat dari gagal memahami sila keempat, terutama pada bagian hikmat kebijaksanaan.
Saya khawatir era demokrasi kita sudah berhenti. Sejak tahun 1999, kita terus menerus memperbaiki sistem demokrasi kita. Tapi pada hari inilah kita melihat bahwa sebenarnya ada beberapa orang yang ternyata gagal move on dari ORBA. Demokrasi kita tampaknya "gagal move on" dari bayang-bayang ORBA. Rakyat mulai dipaksa lagi untuk menyaksikan drama politik dari orang orang partai yang tampaknya gagal move on dari ORBA. Setelah pilpres yang mengeluarkan hasil bahwa pak Jokowi-JK adalah pemenangnya, tampaknya orang-orang yang gagal move on ini malah mengajak rakyat untuk tetap di tempat dan ikut-ikut move on. Orang-orang partai ini tidak mau jika mereka harus galau sendiri.Dengan adanya orang-orang seperti mereka ini, saya rasa jangan harap rakyat mau berpartisipasi lagi dalam acara-acara politik. Rakyat ingin move on dari ORBA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H