Mohon tunggu...
Yohanes Marino
Yohanes Marino Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Wordsmith, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, Guru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Curhatan Seorang Guru Muda

18 September 2015   09:25 Diperbarui: 18 September 2015   09:56 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ada yang sedikit berbeda ketika seorang guru muda mengajar di kelas. Mereka dan muridnya hampir terlihat sama. Mereka tampak seperti seusia dan malahan seperti seorang saudara, yaitu kakak dan adik. Bahkan ada beberapa murid yang tidak mau memanggil muridnya "pak". "terlalu tua....mas saja ya?" begitu seloroh seorang murid saya. Tetapi saya tetap memaksa mereka untuk memanggil saya "pak". "Ini adalah latihan supaya mental dan kejiwaan saya siap untuk menjadi pak guru dan bukan kak guru."

Berbeda lagi dengan kondisi kelas yang mungkin diajar oleh guru-guru senior. Banyak guru senior yang lucu, bisa berbagi cerita di dalam kelas dan bisa berbagi pengalaman untuk para murid. Tapi banyak pula guru senior yang malah melupakan masa-masa ceria ketika mereka masih menjadi seorang guru muda. Untuk guru yang mungkin lambat laun kehilangan tenaga untuk tetap berkreasi, murid-murid akan lebih mudah kehilangan konsentrasi mereka ketika berada di dalam kelas.

Saya mencoba menganalisa situasi ini. Saya tak ingin mengatakan jika guru muda lebih kreatif, toh banyak pula guru muda yang malah membiarkan muridnya tersesat dalam kebingungan dan malah mengurusi usaha sampingannya sendiri yang lebih menjanjikan. Yang ingin saya katakan adalah bagaimana murid menanggapi situasi yang ada. Murid sangat mudah terpengaruh oleh apa yang dibawa oleh guru. Dalam bahasa pak S.T Kartono, murid itu akan mengingat apa yang gurunya lakukan ketimbang apa yang gurunya katakan.

Murid sebenarnya rentan untuk disusupi oleh ideologi apapun. Ada juga guru-guru yang mengajarkan untuk duduk manis dan mencatat setiap perkataan guru di dalam kelas. Untuk situasi yang demikian, ingin rasanya saya berkata, "murid bukan seorang notulis yang mencatat bagaimana kelas itu berlangsung. Justru mereka harus mengalami "kelas" bukan mencatatnya."

Di lain waktu pula, saya acapkali kehabisan energi ketika ingin mengajarkan sesuatu. Pikiran saya terbelah antara mendiskusikan hal-hal sosial dan bersifat komunal dan membahas mengenai pelajaran itu sendiri. Porsi saya selama ini adalah 60% untuk berdiskusi dan 40% untuk murni pelajaran. Di kelas pun saya juga sering lemah dalam menentukan keputusan mengenai pengelolaan kelas. Betapa kurang pengalamannya saya.

Tapi saya boleh berbangga. Saya sudah bisa berbicara dengan murid dari hati ke hati. Saya mau duduk diam dan mendengarkan murid bercerita mengenai kehidupannya. Di saat guru lain sibuk mengoreksi ulangan dan sibuk mencari cari murid yang tidak mengerjakan tugas, saya malah duduk dengan murid-murid yang memiliki nilai terjelek di kelas. Saya sering membayangkan bahwa murid itu adalah saya di masa lalu di mana saya termasuk golongan marginal nilai.

Saya masih terlalu jauh untuk dikatakan sebagai guru inspiratif. Bagi saya pribadi, karir saya menjadi guru barulah seumur jagung. Belum ada pembuktian mengenai kualitas saya sebagai guru. Tapi kembali lagi, asyik rasanya ketika kita bisa bercerita dengan para murid dan belajar lebih jauh mengenai kehidupan itu sendiri tanpa harus memikirkan RPP dan silabus yang buat saya belum berguna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun