Oleh: Yohanes Manhitu
Roda-roda waktu terus berputar
dan enggan diam, bagai sebuah arca.
Segalanya berpindah, segalanya berjalan,
dari stasiun masa teramat sederhana
dengan kecepatan tak berubah.
Segalanya bergerak seakan-akan
yang ada hanyalah keabadian,
dan tiada yang hilang, atau terbuang.
Benak dan hati manusia serupa
dengan layar film, yang disinggahi
gambar kehidupan beraneka warna.
Tiap babak, yang pancing gelak tawa,
yang undang tangis, menghiasi layar.
Lalu cepat, atau lambat, berlalu juga.
Masih banyak yang mesti dipelajari
agar hidup sebernas bulir padi sejati
dan sedekat kita dengan embusan napas.
Masih banyak yang harus ditunaikan
agar tak sia-sia segala butir talenta
yang tak dibiarkan ditelan bumi.
Selama masih ada masa,
lekaslah kawan kita berpadu
'tuk pulihkan luka-luka lama,
tegakkan pilar-pilar keadilan,
suburkan lembah hati yang gersang,
dan basuh diri di kolam embun pagi.
Kita, para penumpang, yang berjejer
dalam kereta waktu, tak mungkin
terus membisu di atas roda-roda
tak diam. Sekali diam, berarti
selamanya 'kan membisu kita.
Yogyakarta, 10 Oktober 2005
-------------------- Â
Catatan: Puisi ini dan beberapa puisi lain oleh saya dan penulis-penulis NTT terbit di Ratapan Laut Sawu: Antologi Puisi Penyair NTT (Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2014).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI