Oleh: Yohanes Manhitu*
DISADARI ataupun tidak, ternyata tradisi keluarga ikut memegang peranan penting dalam pembentukan watak anak. Bila tradisi itu dapat memberi pengaruh positif terhadap perkembangan mental seorang anak, hasil perkembangan itu akan bersifat positif. Tetapi sebaliknya, bila negatif, hasilnya pun negatif.
Ada anak yang mampu melepaskan segala pengaruh negatif dari lingkungan keluarga, tempat ia dibesarkan, setelah menjadi dewasa. Si anak, setelah dewasa, sadar bahwa ia harus berubah. Karena itu, ia terus belajar untuk berubah walaupun itu seringkali sulit dan memerlukan pengorbanan waktu dan perasaan yang tidak sedikit.
Tidak sedikit pula yang terus terbelenggu olehnya dan membutuhkan waktu yang sangat lama dan bahkan seringkali gagal dalam usahanya untuk berubah. Hal ini disebabkan oleh pengaruh yang sangat kuat dari lingkungan keluarga, tempat ia tumbuh sebelumnya dan kurangnya motivasi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya untuk berubah.
Tulisan ini bertujuan untuk memberi sedikit "kesaksian" tentang betapa sulitnya seorang anak yang dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga yang "menyakralkan" kebiasaan-kebiasaan tertentu demi alasan sopan santun. Tetapi justru kebiasaan-kebiasaan itu sangat merugikan si anak di masa depannya.
Kebiasaan-kebiasaan, misalnya, makan bersama pada saat ada tamu, mengungkapkan pendapat dengan sopan dalam pertemuan keluarga, dan tampil di depan banyak orang pada acara keluarga seringkali tidak mendapat perhatian serius dalam keluarga, terlebih bagi keluarga yang berpendapat bahwa kebiasaan-kebiasaan itu bertentangan dengan sopan santun atau nilai-nilai yang diyakini benar tanpa reserve dalam masyarakatnya.
Umumnya, kenyataan di atas dapat kita temui di keluarga bertradisi ketimuran yang terlalu kaku dan enggan menyesuaikan diri dengan perubahan nilai-nilai sosial universal.
Sebut saja Ricky. Pada masa kecil dan remajanya, ia tidak pernah diajak makan bersama bila ada tamu yang berkunjung di rumah mereka. Alasannya, anak-anak kecil harus makan di belakang, karena makan bersama tamu dinilai tidak sopan. Hanya orang-orang dewasa yang dipandang layak untuk itu.
Setelah dewasa, Ricky harus berusaha sekeras mungkin untuk mencoba makan bersama dengan orang lainmakan semeja. Memang ia akhirnya berhasil setelah melalui usaha yang tidak sedikit. Awalnya, pada saat makan bersama, tangannya gemetar, sehingga untuk memegang sendok dan garpu saja ia seperti tidak sanggup, apalagi untuk menatap mata orang lain dan bercakap-cakap dengan mereka.
Akibatnya, saat makan bersama tidak menjadi saat yang menyenangkan, tetapi justru sangat menyiksa bagi dirinya. Andaikan saja ia sudah terbiasa makan bersama dalam keluarga sejak kecil, ia tidak akan menderita karena keadaan seperti ini. Dan seandainya ia perlu menyesuaikan diri, hal itu bisa bersifat sangat minor.