Oleh: Yohanes Manhitu*
MASYARAKAT Indonesia dewasa ini pada umumnya bersifat dwibahasa (bilingual), artinya menggunakan dua buah bahasa secara bergantian dalam kehidupannnya sehari-hari. Barangkali di dalam keluarga, seseorang menggunakan bahasa daerah dan ketika berbicara dengan orang yang berlainan suku alias orang luar, ia menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi tidak sedikit orang yang hidup dengan satu bahasa saja sepanjang hayatnya.Â
Pernahkan Anda membayangkan hidup sebagai seseorang yang ekabahasa (monolingual)? Bagi Anda yang sudah telanjur menjadi bilingual, tidak ada lagi kemungkinan untuk kembali menjadi monolingual, kecuali bahasa-bahasa yang lain dihapus dari otak.Â
Di Indonesia, dewasa ini sudah banyak anak yang bilingual atau bahkan trilingual sejak masa kanak-kanak, tidak seperti kakek atau nenek mereka yang barangkali sepanjang hidup hanya mengenal bahasa daerah.Â
Hal ini sangat mungkin apabila seorang anak memiliki orang tua yang berasal dari suatu suku dan kemudian tinggal di tempat lain sehingga si anak lahir dan tumbuh di sana.Â
Jika mereka sepakat untuk mengajarkan bahasa ibu mereka ditambah dengan bahasa setempat dan bahasa nasional, si anak akan menjadi penutur tiga bahasa. Bahkan jika tak diajar secara langsung pun, dalam diri si anak akan tumbuh benih-benih poliglot (pengguna banyak bahasa) selama kedua orang tuanya terus-menerus menggunakan bahasa ibu mereka.
Di banyak negara maju, keekabahasaan (monolingualisme) bukan hal baru dan tidak menjadi masalah serius apabila bahasa yang digunakan adalah bahasa-bahasa mayor seperti bahasa Inggris atau bahasa Prancis karena keadaan tersebut tidak akan menghambat mereka untuk memperoleh informasi dan pengetahuan (modern).Â
Hal ini sejajar dengan kondisi Indonesia yang hanya menggunakan bahasa Indonesia, tanpa memiliki kemampuan bahasa daerah atau pun bahasa asing. Tetapi akan lain ceritanya apabila bahasa yang digunakan secara monolingual adalah salah satu bahasa 'minor' di Indonesia yang ruang lingkup penggunaannya (amat) sangat terbatas. Dapat dibayangkan betapa miskinnya akses informasi bagi kepentingan dan kemajuan hidup penutur tersebut. Tidak sekadar itu.Â
Di Indonesia, umumnya orang-orang yang hanya menggunakan bahasa daerah - tanpa sedikit pun bahasa Indonesia atau bahasa asing - adalah orang-orang yang masih buta aksara alias tak bisa baca-tulis. Dan 'monolingualisme lokal' indentik dengan keterbelakangan dan kemiskinan, paling tidak pada tataran intelektual.Â
Oleh karena itu, pemerintah perlu terus-menerus menggenjot usaha pemberantasan buta aksara guna mengikis kebutaaksaraan di tingkat masyarakat yang paling rendah. Namun bila program ini sukses dan orang-orang belajar tersebut mulai dapat menggunakan bahasa Indonesia, maka dapat dipastikan bahwa jumlah orang yang monolingual akan berkurang. Sekali seseorang sanggup menggunakan bahasa kedua, dia tidak lagi menjadi monolingual, tetapi bilingual.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan tersebut di atas, marilah kita secara sekilas melihat keunggulan-keunggulan yang terkandung dalam 'monolingualisme lokal' ini. Seseorang yang monolingual biasanya merupakan pengguna intensif bahasa lokalnya karena tidak ada bahasa alternatif sebagai media ungkap. Dan bila orang tersebut berdiam di daerah yang sangat terpencil dan tidak memungkinkan kontak sosial dengan orang luar, kemurnian bahasanya relatif masih terjamin - belum tercemar oleh bahasa asing yang memungkinkan adanya bahasa gado-gado. Kondisi seperti ini sudah semakin berkurang pada zaman modern ini. Menurut hemat saya, keadaan ini menguntungkan para pemburu 'bahasa perawan'.