Sayup-sayup terdengar suara orang bercakap-cakap di dekatku. Makin lama suaranya makin jelas. Mataku masih terpejam. Tubuh terasa amat lemas.Â
Aku merasa di tanganku ada tusukan benda tajam. Kubukakan mata seketika. Aku terbaring di tempat tidur, ayah dan ibu berdiri di dekatku.Â
Sebuah selang infus dan jarum menempel di pergelangan tanganku. Tak seberapa langkah di belakang ayah dan ibu, berdiri sesosok lelaki gagah perkasa, berpakaian putih dengan alat pendengar detak jantung (stetoskop) di lehernya.Â
Menatap ke arahku dengan senyuman. Â Aku kenal wajah itu. Wajah yang membuat aku kehilangan kesadaran beberapa jam lalu. Ya, dr. Budiman Soesilo, seorang pemuda tampan yang bertugas beberapa tahun lalu pada puskesmas di desa kami.Â
Tampak di sampingnya duduk seorang wanita berparas ayu, yang sudah sangat familiar di mataku, Endang Kusuma.Â
Ia duduk termenung, menundukan muka seperti sedang meratapi sanak saudara yang berpulang kembali ke rahmatullah.
"Beristirahatlah Bon, tensimu belum normal. Kamu sangat kelelahan. Maklum, perjalananmu kemarin sangat menguras banyak waktu dan tenaga. Kamu harus beristirahat dan konsumsi banyak sayuran.Â
Kau tak ada riwayat penyakit yang berpengaruh pada kondisi saat ini. Kalau tensinya sudah normal, kau bisa pulang,"ucap dr. Budiman Soesilo.
Kata-katanya seperti tak bisa menembus kupingku. Panca inderaku telah terkunci. Pikiranku seperti menebar virus-virus saraf yang mematikan rasa. Kucoba menatap Endang dari sudut mataku. Bola matanya menatap dinding ruangan. Ia duduk mematung, bisu.Â
Wajahnya masih polos seperti lima tahun yang lalu. Apakah hatinya pun masih polos? Ah, sarafku kembali tegang. Hatiku bergejolak dengan berbagai pertanyaan asumsi.Â