Pada artikel sebelumnya, saya menulis tentang Kenapa Sih Banyak yang Benci Tukang Parkir? Dan kali ini saya membuat sulitnya bekerja di posisi tukang parkir.
Namun bukan saya tentunya yang mencoba untuk merasakan jadi tukang parkir, melainkan saya mewawancarai salah satu tukang parkir yang biasanya bertugas di salah satu daerah Industri, Jakarta Pusat.
Adalah Arief, seorang tukang parkir yang kebetulan saya dapatkan menjalankan tugasnya dengan baik, tidak seperti yang saya tukang parkir yang saya tuangkan di artikel sebelumnya.
Wajar, karena jika ada tukang parkir yang seperti yang saya ulas mengapa mereka banyak yang benci, saya yakin mereka tidak ada yang berani menjawab, bahkan tidak mau diwawancara.
Arief sendiri saat saya ingin mengambil gambarnya secara close up dan mewawancarainya sempat menolak karena merasa tidak enak atau malu.
Padahal, ia benar-benar bekerja dengan baik, yaitu membantu mengeluarkan motor dan menjaga di tempat yang seharusnya ia jaga.
Arief hanya bersedia difoto ketika sedang menjalankan tugasnya, jadi daripada tidak ada gambar saya pun mengikutinya demi memperlengkap artikel ini :D.
"Biasanya pendapatan yang saya dapat itu mingguan, jadi salam seminggu bisa dapatnya sekitar 60-70 ribuan, kalau hari Sabtu baru bisa 100 ribu," imbuh Arief.
"Jumlah ini juga saya harus setor, kurang lebih per minggunya saya harus bisa memberikan setoran 46 ribu rupiah," tambahnya.
Bisa dibayangkan Sones? Pendapatan yang diraih per minggu sekitar 70 ribu rupiah saja dan itupun masih harus ia setor ke pemimpinnya (mandor mungkin).
Padahal, mungkin diantara kita ada yang mengira jadi tukang parkir, terutama parkir motor cukup enak, karena jika satu motor dikenakan biaya dua ribu dan dikalikan dengan jumlah yang bisa mencapai puluhan parkiran bisa mencapai ratusan ribu rupiah.