Mohon tunggu...
Yohanes FDR Lagadoni
Yohanes FDR Lagadoni Mohon Tunggu... Mahasiswa - AM✒️ - Yohanes Filioenis de Res Lagadoni (Jo Filio), lahir di Samarinda, 30 Juli 1999. Giat menulis Puisi, opini dan artikel di beberapa media. Sekarang sedang menjalani masa pendidikan S1 Filsafat di salah satu Sekolah Tinggi yang ada di Jawa Timur.

Mengejar Langit Yang Tak Kunjung Amin

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Manusia Ingin Berubah

26 Maret 2022   12:39 Diperbarui: 26 Maret 2022   12:45 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiap akhir tahun, kerap kita berjumpa dengan berbagai macam harapan akan pembaruan/perubahan diri di tahun yang baru, yang dilontarkan oleh hampir setiap orang di seluruh penjuru dunia. Dalam ketidakpastian orang selalu menggantungkan harapan mereka "semoga di tahun yang baru, saya bisa menjadi lebih baik...", "semoga di tahun yang baru, saya bisa mendapat pekerjaan...", "semoga tahun depan, saya tidak jomblo lagi..." dan lain-lain. Dan ini merupakan kebiasaan yang sudah permanen tertanam dalam ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa manusia adalah makhluk yang melekat dengan harapan akan perubahan. Ini tidaklah salah. Sebab kebiasaan ini adalah suatu kebiasaan yang baik. Sebab hal ini menunjukkan bahwa manusia masih menggunakan akal sehatnya untuk mengarahkan dirinya pada satu kegiatan "melampaui" dirinya sendiri. Namun yang menjadi enigma dari fenomena ini adalah bahwa untuk mencapai harapan akan perubahan itu tidaklah mudah. Semangat untuk tiba pada suatu perubahan terkadang hanya bertahan satu sampai tujuh hari. Sisanya orang akan kembali kepada kebiasaanya yang lama, yang kemudian membuatnya hanya mampu berdiri tegak di atas dirinya yang rapuh tanpa perubahan. 

Maka pertanyaan yang patut diberikan dari fenomena ini adalah mengapa harapan akan perubahan itu sulit untuk dicapai? Penyebab apa yang kemudian membuatnya menjadi sulit? Lalu seberapa pentingkah manusia menaruh harapan akan perubahan? Jika tidak pernah terwujud masih pentingkah manusia menaruh harapan untuk sampai pada perubahan?    

Sebagai makhluk hidup yang bergenus homo dan berspesies sapiens, manusia tidak pernah lekang dari harapan untuk berubah. Dengan keberadaan dirinya sebagai homo sapiens, manusia mampu memikirkan apa dan bagaimana dirinya, baik di masa lalu, masa sekarang, maupun masa depan. Hal ini dipacu karena kerinduan manusia sendiri untuk mencapai sesuatu yang mampu "membahagiakan" dirinya. "Kebahagiaan" ini pun kemudian menghantarkan manusia pada satu tindakan yakni harapan akan perubahan. Perubahan sebagai sesuatu yang diharapkan dan serentak diinginkan oleh manusia yang sifatnya "melampaui" ini, perlu disadari bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Ketidakmudahan itu timbul karena "perubahan" bukan merupakan sesuatu yang sudah melekat erat; dan sudah biasa dilakukan oleh manusia. Perubahan berarti mengandaikan adanya kerelaan diri untuk keluar dari "rumah"nya dan masuk ke dalam situasi "asing". Maka adalah benar, bahwa perubahan merupakan keadaan dilematis bagi manusia. Sebab manusia dipaksa pergi dari situasi lama yang memberi rasa nyaman menuju ke situasi yang baru sama sekali.
 

Marcus Aurelius dan Perubahannya

Marcus Aurelius, Kaisar Romawi, dengan pengalamannya, barangkali dapat memberi kepada kita sebuah jawaban atas "misteri" dari sebuah perubahan. Marcus adalah seorang raja yang dibesarkan dari sebuah keluarga yang punya otoritas tinggi. Keadaan ini kemudian membuat ia hidup dalam kebiasaan yang berbeda dari orang-orang romawi semasa hidupnya. Tidak seperti Imannuel Kant yang selalu bangun pagi lebih awal (05.00), Marcus Aurelius bagaikan seorang pemalas. Ia senang rebah-rebahan, dan melakukan aktivitasnya pada sore hari sesudah tidur siang. Dengan kata lain, hampir sebagian besar aktivitas Marcus Aurelius adalah rebahan. 

Namun kebiasaan buruk ini bukanlah kebiasaan yang diharapkan oleh Marcus Aurelius. Ia menjadi penyuka rebah-rebahan karena saat itu dia menderita sakit perut dan dada yang tidak diketahui apa penyebabnya. Hal ini pun kemudian menggangu kesehatannya. Waktu istirahat menjadi tidak lagi stabil, karena kesulitan tidur yang ia alami.

Melihat kenyataan ini, ia pun terus berupaya untuk melakukan perubahan pada diri; mengubah diri dari kebiasaan rebahan selama berjam-jam. Dan siapa sangka, orang seperti Marcus Aurelius nyatanya mengalami kesulitan yang sama dengan manusia zaman sekarang; sulit untuk beralih dari situasi lama yang memberi rasa nyaman menuju ke situasi yang baru sama sekali; dari situasi rebahan menuju situasi bangun dari rebahan. Namun kesulitan itu tidak menjadi penghalang baginya untuk terus berusaha lebih agar ia dapat sampai tepat pada apa yang menjadi harapannya; perubahan diri. Ia terus berusaha, sampai pada akhirnya ia mampu memaksimalkan waktunya dengan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat dari pada hanya sekedar tidur-tiduran. Ia menjadi orang yang selalu diandalkan dalam segala keperluan lewat tanggung jawab dan kekuasaan resmi yang diberikan kepadanya serta terus berkembang menjadi orang kepercayaan Kaisar Antonius Pius. Tidak hanya itu ia pun dikenal sebagai kaisar yang bijaksana bagi Kekaisaran Romawi

Mengkontekstualiasasikan Harapan akan Perubahan

Setelah melihat persoalan yang dialami oleh Marcus Aurelius dan penanganannya yang dibuat, kunci utama dari terwujudnya "perubahan" secara nyata adalah diri manusia itu sendiri. Yang membuat Marcus Aurelius itu mampu keluar dari kenyamanannya atas rebah-rebahan yang tidak terkontrol dan memampukannya menjadi orang yang sangat berpengaruh di Kekaisaran Romawi, bukan karena orang-orang di sekitarnya, bukan pula karena kemewahan dan kekuasaan yang ia miliki, melainkan kesadaran dari dirinya sendiri untuk mau menanggapi perubahan yang sudah ia harapkan. Ketika manusia mengalami kesulitan, musuh terbesar yang menyulitkannya bukan pengaruh-pengaruh yang tercipta dari luar dirinya. Musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. 

Proyeksi-proyeksi yang kerap tercipta begitu liar membuat manusia terus menerus gagal untuk menggapai perubahan diri yang ia harapkan. Perubahan hanya akan tercipta secara permanen, jika manusia mau meninggalkan proyeksi-proyeksinya yang liar. Artisnya bahwa dalam melakukan perubahan mesti ada kerelaan diri untuk keluar dari "rumah"nya dan masuk ke dalam situasi "asing". Karena masuk ke dalam situasi "asing", maka perubahan itu harus dialami dan dirasakan secara terus menerus dari waktu ke waktu, tanpa berhenti, bukan hanya satu dua hari yang kemudian hilang begitu saja ditelan bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun