Goa 'Aung ihing beli me a'ung luring.
Ketika masih berumur 6-7 tahun, sering kali saya mendengar suatu ungkapan yang diungkapkan oleh ayah saya: "Goa 'Aung ihing beli me a'ung luring" (bahasa Sikka, Maumere Flores, NTT). Kalimat ini secara umum jika diindonesiakan memiliki pengertian "silahkan makan dagingnya, lalu beri anak saya tulangnya". Ungkapan ini bagi masyarakat Sikka pada khususnya merupakan ungkapan yang tidak asing terdengar. Ungkapan ini biasa diucapkan ketika gigi susu milik seorang anak (berumur kisaran 6-7 tahun) lepas dari gusinya. Biasanya gigi susu yang sudah waktunya untuk terlepas itu tidak begitu saja dibuang, seperti halnya ketika kita membuang barang-barang yang bagi kita tidak lagi berguna. Gigi tersebut biasanya akan dilemparkan ke atas atap rumah (jika yang terlepas adalah gigi bawah) atau ke bawah rumah (jika yang terlepas adalah gigi atas) oleh si orang tua dari si anak sambil mengucapkan kalimat tadi "Goa 'Aung ihing beli me a'u luring". Ungkapan ini oleh para orang tua ditujukan kepada binatang-binatang rumah yang sering kali tinggal menetap tanpa diundang di rumah kita (bisa juga dalam hal ini adalah binatang Tikus).
Praktik pembuangan Gigi susu ke atas atap atau ke bawah rumah ini menjadi suatu kebiasaan yang diyakini oleh masyarakat Sikka membantu proses pertumbuhan gigi baru (gigi tetap/permanen) bagi Sang anak. Tikus yang dalam hal ini memakan gigi susu tadi, pada tempat selanjutnya akan memberikan tulang baru bagi si anak. Sehingga gusi Si Anak yang sebelumnya sempat ditinggal pergi oleh "penghuni lama" yakni gigi susu, kembali mendapat "penghuni baru", yakni gigi baru (gigi tetap/permanen).
Dalam hal ini, sejatinya tanpa disadari ungkapan "Goa 'Aung ihing beli me a'ung luring" memuat pengertian yang sarat akan makna. Dari sudut sintaksis saja misalnya, kalimat "Goa 'Aung ihing beli me a'ung luring" berada dalam satu rangkaian kalimat yang bermakna perintah yang ditujukan kepada binatang. Perintah yang dimaksudkan di sini pun bukanlah perintah bermuatan keuntungan sepihak, melainkan suatu perintah yang bermakna simbiosis mutualisme. Lalu dari sudut semantik, kalimat tersebut bermuatan causalitas (sebab dan akibat). Karena si Tikus mendapat gigi lama (gigi susu) untuk dimakan, maka akibat yang ditimbulkan adalah si anak mendapat kelancaran dalam proses pertumbuhan gigi baru.
Dua sudut pandang tersebut pada tempat selanjutnya juga membenarkan apa yang tertulis di dalam Injil Matius mengenai aturan emas: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.." (bdk Mat. 7:12). Bahwa jika kamu ingin dikasihi, maka kasihilah sesamamu. Jika ingin dihargai maka belajarlah untuk menghargai. Apa yang tidak kamu sukai, jangan kamu lakukan terhadap sesamamu (bdk. Tob 4:15). Bahwa sesuatu yang keluar tulus dari hati, dan dipersembahkan dengan penuh keikhlasan pada dasarnya akan menghasilkan suatu keuntungan tersendiri bagi diri kita. Sedangkan jika Sesuatu yang keluar dari diri kita itu dikeluarkan tidak dengan ketulusan hati, maka yang dilahirkan ialah suatu kerugian (dosa). Suatu dosa timbul karena manusia mengesampingkan yang baik. Manusia tahu bahwa sesuatu itu jahat, tapi disaat yang sama ia tetap melakukan dan manusia tahu bahwa itu baik, tapi tidak dilaksanakan, maka di saat itulah dosa akan menghampiri manusia dan kerugian juga turut serta mengikutinya.
Namun hey, ini cuma pendapat saya. Bisa benar bisa salah. Jika tak setuju jangan diikuti. Tapi yang pasti ini bukan sudut pandang, karena memandang masalah tidak perlu saling menyudutkan.
Salam Literasi, Yohanes Lagadoni....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H