Mohon tunggu...
Yohanes Budi Cahyono
Yohanes Budi Cahyono Mohon Tunggu... -

Senang menulis tentang apa saja... Beberapa tulisan pernah dimuat di majalah, proseeding seminar, jurnal internasional, buku, dll. Saya menyukai penggunaan beberapa istilah dalam Bahasa Jawa dalam setiap tulisan untuk mempertegas makna yang saya maksud, termasuk dengan gaya guyonan... ;-)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Filosofi “Notonegoro”: Teruji atau Terhenti?

11 Juni 2014   19:02 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:13 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konon, menurut sesepuh kita dulu, negara kita Indonesia tidak bisa lepas dari ramalan Sri Aji Joyoboyo (Raja Kediri) melalui pemaknaan filosofii “NOTONOGORO” atau “NOTONAGORO” atau “NOTONEGORO”.. Pemaknaan yang dikenal selama ini, filosofi NOTOGORO/NATAGARA/NOTONEGORO/NOTONAGORO/NATANAGARA berasal dari  penggalan suku kata dari unsur nama presiden Indonesia NO-TO-NO-GO-RO. Dalam bahasa Jawa kuna (baca: tulisan dan pengucapan HaNaCaRaKa), penulisan NO/NA/NI/NU/NE atau TO/TA/TI/TU/TE dianggap sama, tinggal “dipangku” atau “dipepet” atau “taling tarung” atau "atau "taling" atau "diwulu" atau "disuku". Selain pemaknaan tersebut, tidak ada lainnya. Tidak sedikit orang yang berpendapat sinis atas pemaknaan tersebut. Katanya: “Ah, itu kan bisa-bisanya orang Jawa saja, digathuk-gathukke”. Setiap orang boleh berpendapat, bebas, selama ada dasar argumentasinya. Memang sekilas tampak “dipaksakan” namun sebenarnya ada benarnya juga, berikut buktinya:

1.Presiden ke-1 : soekarNO

2.Presiden ke-2 : soeharTO

3.Presiden ke-3 :bacharuddiNO jusuf habibie

4.Presiden ke-4 : abdurrahmaNO wachid

5.Presiden ke-5 : megawaTI soekarnoputri

6.Presiden ke-6 : bambang susilo yudoyoNO

7.Presiden ke-7 : ???

Apakah itu sebuah kebetulan ? Bisa iya, bisa tidak. Tulisan ini pernah saya publish ketika sedang berlangsung kampanye PilPres 2004 dan saat itu saya berani memprediksi bahwa yang menang adalah susilo bambang yudoyoNO. Dan ternyata benar, NO berikutnya adalah unsur nama yudoyoNO. Lalu bagaimana dengan PilPres 2014 sekarang ? Kita ketahui bersama bahwa semula cukup banyak para Bakal Calon Kandidat Presiden RI. Sebut saja: giTA, subiyanTO, wiranTO, PramoN(O) Edhi, Anies BaswedaN(O), DiNO Patti Djalal, EndriartoN(O), HayoN(O) IsmaN,  Sutarto,dahlaN, hidayaT(O) nur wahid, Irman GusmaN(O), marzuKI aLi, aburizaL, yuszriL, ali masykuR(O), suryadarMA, joko widoDO, rhoma, sinYO haris sarundajang, surya paloH, mahfuD. Dari sekian banyak nama, pada akhirnya mengerucut menjadi 2 nama, yaitu prabowo subiyanTO dan joko widoDO.

Lho, kok nama joko widoDO bisa masuk ? Itulah yang namanya seleksi alam. Tidak ada yang bisa mengatur kenapa penyandang kedua nama itu yang akhirnya bertarung pada PilPres 2014. Kembali ke judul di atas, pada PilPres 2014 ini filosofi NOTONOGORO akankah TERUJI kembali atau TERHENTI ? Tidak ada yang tahu. Kehadiran Joko Widodo dalam pentas PilPres sekarang memang sangat fenomenal namun apakah beliau yang akan menang ? Hingga sekarangpun tidak ada yang bisa memastikan. Begitu juga dengan Prabowo Subiyanto, apakah yang kelak memimpin negeri ini untuk periode 2014-2019 ? Lagi-lagi, tidak ada yang bisa menjawab. Seleksi alam masih terus berlangsung.

Sementara kita abaikan “polemik” atas kedua nama tersebut. Marilah kita tengok pemaknaan yang lain, yang tak kalah “seram”. Pemaknaan berikut sebenarnya selalu terbukti kebenarannya sejak dulu, hanya kita (khususnya orang Jawa) dan para penghayat kepercayaan Tuhan YME tidak pernah menelaah lebih lanjut. Filosofi NO-TO-NO-GO-RO sesungguhnya memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekedar “otak-atik” suku kata dari nama seseorang. Mari kita simak:

1.NOTO NOGORO = nata negara = menata negara (mengurus/mengatur negara). Mengarah pada konstruktif: pesan kepada pemimpin untuk aktif menata negara (Terbukti: munculnya penamaan: Kabinet Pembangunan, Kabinet Gotong-Royong, Kabinet Indonesia Bersatu)

2.NATANEGARA = berasal dari kata Tata Negara (aturan hukum negara). Mengarah pada makna konstruktif:  ketatanegaraan sebuah negara yang berdaulat (Terbukti: amandemen pasal-pasal UUD 1945 dan atauran hukum di bawahnya)

3.NOTONO GORO = natana gara-gara = tatalah kerusuhan (ada kerusuhan terus). Mengarah pada makna destruktif: ada perintah untuk menata kerusuhan sepanjang masa. (Terbukti: teroris, kelompok sipil bersenjata, milisi)

4.NATANE GORO = nata negara karo gara-gara = menata negara dengan kerusuhan. Mengarah pada makna dekstruktif: adanya perebutan kekuasaan dalam rangka menata negara melalui kerusuhan (Terbukti: tragedi 1965-1966 dan 1998)

5.ANA TATA, ANA GORO-GORO = ada keteraturan, ada kekacauan (hukum yin-yang). Mengarah pada makna homeostatis: keseimbangan dalam dinamika hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dimana ada upaya perbaikan. Disitu pula ada upaya perusakan. Ketika ada upaya untuk kebaikan, saat itu pula terjadi tindak kejahatan. (Terbukti: kejujuran vs korupsi; loyalitas vs pengkhianatan; transparansi vs kolusi-nepotisme)

6.NOTO NOGO RO = menata naga = naga bisa diatur-kah ? = ada kekuatan besar yang melingkupi Indonesia. Mengarah pada makna destruktif: kekuatan asing yang terus mengancam/menguasai Indonesia mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik, seni, budaya, moral, kesehatan, lingkungan dan pertahanan keamanan (Terbukti: globalisasi, gurita produk China, pengakuan negara asing terhadap warisan leluhur, narkoba, pornografi, pemanasan global, virus HIV/flu burung, masuknya paham terrorism, kehilangan pulau)

Apabila kedua pemaknaan tersebut dikolaborasikan, maka hingga sekarang susunan 2 huruf nama Presiden RI yang pernah ada, masih membentuk kata NOTO-NOTO NO, yang artinya menata-nata/mengatur-atur. Jadi, belum sampai pada kondisi adil makmur apalagi sejahtera. Lalu kapankah bangsa Indonesia dapat menikmati keadilan, kemakmuran, kesejahteraan sosial ekonomi yang sebenarnya ? Saat ini 2 kandidat Presiden: Prabowo dan Joko Widodo, sama-sama sedang memperjuangkannya, yang tercermin dalam visi-misi mereka. Yang pasti, salah satu dari mereka akan tampil sebagai pemenang dan kita doakan berhasil membawa bangsa ini menjadi lebih baik.

Namun demikian, filosofi “NOTONOGORO” bukan tanpa resiko. Ada kemungkinan pertarungan pada PilPres 2014 ini justru membuka jalan terjadinya GORO-GORO. Tentunya kita tidak menghendaki hal itu terjadi karena kalau terjadi berarti kemunduran dalam demokrasi di Indonesia. Tapi bolehlah jika kita mengetahui lebih dulu kemungkinan-kemungkinan itu seraya mengupayakan antisipasinya agar tidak terjadi.

1.JIKA filosofi NOTONOGORO masih teruji, maka bisa dipastikan Prabowo SubiyanTO yang akan menjadi Presiden RI ke-7. Namun suku kata pada penggalan namanya masih membentuk makna “NOTO-NOTO”. Ini bisa dimaknai bahwa Prabowo belum akan berhasil membawa bangsa Indonesia pada cita-cita kemerdekaan sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Prabowo masih mengambil peran sama seperti presiden-presiden sebelumnya, yaitu TATA-TATA = mengatur-atur segala sesuatunya, membuka jalan bagi presiden berikutnya agar cita-cita kemedekaan dapat terwujud.

2.JIKA filosofi NOTONOGORO akan terhenti, maka bisa dipastikan Joko Widodo yang akan menjadi Presiden RI ke-7. Namun suku kata pada penggalan namanya akan membentuk “NOTONO DO” atau “NOTONO JO”. Ini bisa dimaknai bahwa Joko Widodo mendapat perintah untuk menata negara. Artinya, sama saja. Cita-cita kemerdekaan RI masih diupayakan oleh Joko Widodo. Beliau hanya mempersiapkan kehadiran presiden berikutnya dengan menata negara lebih baik dari sekarang.

3.Baik Prabowo atau Joko Widodo yang menjadi presiden RI ke-7, keduanya bukanlah merupakan sosok “Ratu Adil” yang sebenarnya, yang “konon” ditunggu-tunggu kedatangannya di bumi Indonesia.

4.Kemunculan fenomena GORO menjadi teka-teki tersendiri. “GO” dan “RO” bisa jadi akan muncul sendiri-sendiri, bisa juga muncul bersamaan. Jika muncul sendiri, akankah “GO” dan “RO” mewakili nama seseorang yang kelak akan tampil sebagai pemimpin bangsa Indonesia ? Tidak ada yang tahu. Jika “GO dan RO” muncul bersamaan, akankah itu pertanda terjadinya peristiwa yang tidak kita kehendaki, yaitu GORO-GORO di Pilpres 2014 ini ? Semoga tidak.

Jika kita mencermati “atmosfir politik” pada saat ini tampak bahwa “perang urat syaraf” antara kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kalla terjadi setiap detik, baik warung-warung kopi, angkutan umum, di media sosial maupun media elektronik. Kenyataan ini cukup membuat miris sebagian besar rakyat Indonesia yang merindukan kampanye yang sehat, yang menjunjung tinggi sportifitas, yang cerdas, yang memberi nuansa kesejukan penuh harapan, yang mengedepankan kualitas akal bukan okol,  yang merepresentasikan visi dan misi bukan janji atau opini, yang melihat ke depan bukan menengok ke belakang, yang menampilkan program bukan sindiran, yang mendasarkan pada prinsip “takut akan Tuhan” bukan “berkawan dengan setan” dan yang tetap memelihara kesetiakawanan sebagai sesama anak bangsa dalam koridor jalinan perdamaian.

Semoga gejolak politik yang menggelegak saat ini bukanlah menjadi pertanda buruk dalam rangka menyongsong terjadinya GORO-GORO di negeri yang kita cintai ini…karena kita semua tidak ingin bangsa ini tercerai-berai oleh kerakusan kekuasaan, tercabik-cabik oleh kedangkalan spiritual dan terjajah lagi oleh bangsa asing dan bangsa sendiri. Pada muaranya, kita serahkan ending PilPres 2014 hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan prinsip: “Yang KAUpanggil, belum tentu KAUpilih”.

Salam Damai untuk Indonesia,

Yohanes Budi Cahyono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun