Siapa yang ingin dilahirkan "istimewa" tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa pendengaran, tidak bisa bicara atau keterbatasan mental? Tidak ada. Namun orang tua mana yang tak kelu dan bersedih mendapati anaknya demikian, di Panti Asuhan Bhakti Asih Semarang bahkan dari 34 anak asuh, tak sampai 10 orang yang ditengok orang tuanya secara rutin, ada pula yang belasan tahun tak bertemu orang tua yang seharusnya merawatnya. Bukan anak yang salah mendapat keluarga, tetapi orang tua yang "membuang" anaknya sendiri.
Namun tak demikian dengan pasangan Eni (45) dan Bronto (57), pada tahun 1994 mereka dikaruniai anak yang cantik yang mereka beri nama Manila Kristin. Dua tahun kemudian Kristin mengalami sakit, "Lutut saya sakit kalau buat jalan, harus berhenti dulu baru jalan lagi" aku Kristin yang pada akhirnya divonis dokter tak lagi bisa berjalan. "Pokoknya saya minta kesembuhan, kesembuhan, mukjizat, mukjizat pada Tuhan. Bertahun-tahun saya menangis minta kesembuhan anak saya," kata Ibunda Kristin, Eni.
Meski Kristin terus bertumbuh dan berkembang, segala upaya tetap dilakukan Eni dan Bronto untuk kesembuhannya. "Dari upaya medis, herbal sampai klenik sudah dicoba semua," Eni bercerita ketika Kristin terjatuh dari kursi roda karena didorong temannya hingga tulang pinggulnya terlepas, selama satu setangah tahun Kristin mengalami kesakitan. "Untuk operasi butuh Rp 100.000.000 dengan jaminan kesembuhan hanya 30%, padahal kami kesana saja dengan sewa mobil butut," kenangnya. Tak mampu operasi, Kristin menjalani terapi dengan meminum air seninya, namun justru ia dirawat karena keracunan. Pernah pula dengan mandi dari air dari 7 sumur. "Kalau itu konyol sebenarnya, saya setiap jam 3 pagi mencuri air dari 7 sumur. Semua demi kesembuah Kristin," aku Eni.
Untuk kesembuhan Kristin pula Eni dan Bronto berjuang mati-matian. Selama 6 bulan Kristin harus difisioterapi. "Saya gendong dari rumah arah rumah sakit," kata Eni. "Saya nyepeda dari Bethesda arah rumah, sampai ketemu istri saya lalu boncengan bertiga ke rumah sakit," lanjut laki-laki yang telah 35 tahun bekerja di RS Bethesda ini. Bronto bercerita bahwa istrinya dulu berbadan kecil dan kurus tetapi harus menggendong dengan jarak yang tak dekat. "Kalau capek, saya cari sandaran apa saja, yang penting beban Kristin berkurang meski saya tetap berdiri," kenang Eni.
Karena fokus pada pengobatan Kristin, baru pada 2002 pasangan ini kembali dikaruniai momongan, Trivena Katrina namanya. Kehadiran Vena menjadi penghiburan bagi Eni dan Bron to, anak keduanya terlahir normal dan sehat. "Jarak kelahirannya jauh karena masih fokus dengan anak pertama dan keadaan ekonomi juga masih banyak keterbatasan," kata Eni. Kegembiraan itu pun sempat runtuh ketika pada kelas 3 SD, anak keduanya divonis hal yang sama seperti anak pertama. "Vena sempat bisa jalan, itu fotonya," tunjuk Eni pada sebuah foto anak kecil yang berdiri dengan berbusana daerah di dinding ruang tamunya.
Vonis pada Vena dirasa oleh Eni sebuah ketidakadilan. "Saya sudah melakukan kebaikan, rajin ke gereja, sudah melakukan semua kewajiban dengan baik. Kalau dikasih cobaan begini saya tidak mau, akhirnya saya sempat tidak gereja," aku Eni. Namun dukungan para sahabat membuat Eni kembali bangkit dan berani menghadapi kenyataan. "Kalau hampir menyerah saya selalu menyemangati diri dengan kata-kata 'Ayo Eni, semangat Eni. Ayo bangkit, kamu bisa, kamu kuat. Kamu pasti bisa melewati ini, karena Tuhan Yesus menyertai engkau'. Seperti bicara pada diri sendiri," terang Eni.
Eni juga merasa bangga dan bersyukur memiliki suami yang baik. "Suami saya the bestlah pokoknya. Sebagai laki-laki, yang punya pekerjaan dan dapat uang, bisa saja dia meninggalkan saya. Tetapi dengan setia menemani kami semua, dengan segala daya upaya. Kesatuan hati ini yang membuat kami bertahan," puji Eni.
Akhirnya ia merasa bahwa mengeluh dan protes pada Tuhan tidaklah merubah apapun, ia meyakini musti merubah pola pikir. "Anak-anak sakit dan kami sudah mengupayakan yang terbaik tetap tidak sembuh. Saya menerima, Tuhan mereka anak-anakmu yang istimewa, masa depan mereka cerah dan gemilang, aku yakin Engkau memberikan jalan," cerita Eni. Ia merasa hidup lebih gembira, perlahan semuanya semakin baik, dan banyak mukjizat yang terjadi dalam hidup keluarganya.
"Kesehatannya kami perhatikan tetapi pendidikannya juga harus yang terbaik, pokoknya anak-anak harus sekolah," kata Bronto. Ia menceritakan setiap kali mendaftarkan sekolah, ia harus sowanke sekolah untuk menceritakan kondisi anaknya. Meski sekolah musti menggelar rapat komite untuk mengambil keputusan, anak-anaknya selalu diterima untuk bersekolah dengan konsekuensi yang tak ringan bagi mereka. "Dari TK sampai SMP, saya antar, stand by,sampai pulang rumah lagi," jelas Eni. Bukan dengan kendaraan, tetapi menggendong dari rumah ke sekolah, dari kelas satu ke kelas lain di lantai tiga. "Tergantung pelajarannya, kadang bisa sampai 4 kali pindah kelas atau lab," papar Eni.
Keteguhan hati Eni agar anaknya sekolah selalu diterpa hinaan orang lain. "'Ngapain anak kayak gitu disekolahkan, mau jadi apa.' Sudah biasa saya dengar, bahkan dibilang kena azab lah, kutuk lah, pesugihan lah, macam-macam lah pokoknya. Meski saya sedih tapi saya tidak mau tunjukkan pada anak, saya anak saya kuat," ceritanya.