Mohon tunggu...
Yohanes Susanto
Yohanes Susanto Mohon Tunggu... -

Tidak terlalu jelek kalau dilihat dari belakang Lumayan tampan dilihat dari atas Dijamin Jatuh Hati jika dilihat dari depan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rahmat dan Penderitaan

12 Mei 2010   09:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:15 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

M

anusia adalah makhluk yang bertanya. Ia selalu bertanya. Apapun yang berhadapan dengannya selalu dipertanyakan. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah sampai. Tak ada pengetahuan apapun yang bisa membuatnya tidak mau bertanya lebih lanjut.[1] Keberadaan manusia sebagai pribadi yang nyata bereksistensi memaksa dirinya untuk tidak serta merta menerima apa yang tampak kelihatan sebagaimana adanya. Manusia selalu terdorong untuk melihat sesuatu yang lain di balik sesuatu yang riil demikian adanya.

Dapat diberikan sebuah permisalahan; sebuah daun gugur. Apakah demikian seharusnya daun itu gugur, ataukah daun gugur tercakup dalam sebuah rumusan sistem yang mengharuskan daun gugur, dan jika tidak sistem itu tidaklah dapat disebut sebagai sistem? Atau permisalahan lain, seekor semut merah merayap di atas sebuah bantal tidur dan mengigit seorang bocah, dan bocah menangis. Apakah gigitan semut merah ada dalam sebuah pola yang sudah semestinya terjadi, ataukah gigitan itu menunjukkan realitas lain yang tak sekedar dapat ditangkap dengan hanya memahami tok pada fakta gigitan semut merah itu?. Terdapat banyak hal yang sekiranya menunjukkan dengan gamblang, eksistensi manusia yang senantiasa mempertanyakan eksistensi dirinya dalam hubungannya dengan keterciptaan yang lain. Demikianlah akhirnya manusia mengenal sistem bepikir yang lebih sistematis dan koheren, dalam susunan filsafat yang awalnya berkembang baik di Yunani.

Kecenderungan macam inilah yang juga melekat pada benak manusia dalam mempertanyakan “penderitaan”. Penderitaan sebagai sebuah realitas dunia, yang nota bene melekat sebagai sebuah fakta keterciptaan, dipertanyakan dalam hubungannya dengan manusia itu sendiri yang nota bene juga merupakan sebuah hasil keterciptaan. Atas dasar pengetahuan bahwa ciptaan bersumber dari sebuah kualitas cinta positif, pihak keterciptaan (=manusia) justru mempertanyakan eksistensi dari kualifikasi kasih/cinta itu, jika toh yang ditemukan adalah sebuah fakta yang tampaknya amat jauh dari konsep kasih/cinta yang terpahami.

Berpijak dari kecenderungan eksistensial demikian terpapar di atas, maka berikut adalah sebuah paper yang sedikit mengulas realitas penderitaan itu dalam sudut pandang kekristenan (iman akan Yesus Kristus sebagai the Great Grace). Namun untuk sampai pada inti dari yang dimaksud, paper ini pertama-tama akan mengulas tentang bagaimana manusia akhirnya sampai pada sebuah keyakinan bahwa dibalik fakta pengalaman indrawi terdapat sebuah esse yang menjadi titik pusat yang akhirnya dipahami sebagai Yang Maha Kuasa itu.

Manusia Bereksistensi Sebagai Mahkluk Religius

Theo Huijbers[2] dalam bukunya “Mencari Allah” menyebutkan bahwa kepercayaan kepada Allah sama sekali tidak bertentangan dengan eksistensi manusia, sebab dalam diri manusia berlangsung pengalaman-pengalaman yang disebut religius, pengalaman-pengalaman yang menyentuh sesuatu yang transenden terhadap hal-hal dunia. Bahkan pengakuan adanya Allah amat cocok dengan eksisteni manusia, oleh karena di dalamnya terdapat kecenderungan yang riil ke arah sesuatu yang melebihi hal-hal duniawi.[3]

Thomas Aquinas mencoba membuktikan secara rasional bahwa memang benarlah bahwa, terdapat sesuatu yang lain yang melebihi sesuatu yang riil tampak biasa. Dalam “quinque viae” Thomas Aquinas memaparkan secara ilmiah tentang bukti adanya Tuhan.[4] Dan manusia fakta bahwa manusia bereksistensi sebagai makhluk religius tidaklah salah. Dari lima jalan yang dipaparkan oleh Thomas, paper ini hanya akan mengangkat tiga jalan pertama yang oleh Huijbers disebut sebagai bukti-bukti kosmologis. Tenang mengapa hanya memakai tiga dari lima jalan Thomas, disebabkan oleh fokus yang hendak dipakai oleh paper ini yang mengantar untuk sampai pada pemaparan mengenai “penderitaan”, sebagaimana dimaksudkan oleh paper ini.

Bukti-bukti Kosmologis[5]

Bukti Kosmologis[6] dikenakan pada ketiga jalan (quinque viae) pertama, karena ketiga jalan/bukti tersebut bertitik tolak dari salah satu aspek dunia (kosmos=dunia).[7] Sedangkan bukti/jalan yang keempat disebut bukti ontologis karena bertitik tolak dari yang ada (on=ada); yang kelima disebut jalan/bukti teleologis, karena bertolak dari aturan semesta alam dan tujuan aturannya (telos=tujuan).

Berikut ketiga bukti/jalan pertama yang disebut sebagai bukti kosmologis. Pertama-tama dipastikan suatu kenyataan dalam dunia hidup manusia. Adanya gerak di dunia ini (bukti I). Lantas dicari pengertian tentang kenyataan gerak yang ada dalam dunia ini. Misalnya, adanya jalan beraspal hanya dapat dimengerti jika dimengerti juga adanya mineral alam berupa aspal di perut bumi yang menghasilkan zat aspal sedemikian rupa. Itupun hanya dapat dimengerti jika jazat renik yang terkubur jutaan tahun di dasar bumi akhirnya membentuk unsur-unsur aspal tersebut, dan seterusnya dan seterusnya. Pula dapat dimengerti jalan beraspal jika dimengerti juga terdapatnya orang-orang yang bergerak dari hari ke hari untuk mengerjakan jalan tersebut.

Dan akhirnya semua itu akan menggiring sampai pada sebuah ketentuan bahwa: perlu adanya sesuatu yang mutlak yang membuat kenyataan-kenyataan itu tampil/tampak sebagaimana adanya. Dan demikianlah akhirnya ditarik sebuah pengertian bahwa yang mutlak itulah Tuhan/Allah. Bila prinsip semacam ini diterapkan pada hal-hal duniawi maka segala realita dan fenomena apapun yang terkait dengan dunia menunjuk pada Allah sebagai penciptanya.

Karl Rahner pun berbicara mengenai kesadaran akan Allah, dalam istilah Vorgriff[8]. Darinya Rahner memaparkan tiga gambaran yang setidaknya dapat membentuk kesadaran mengenai adanya Allah. Dan gambaran itu selalu dihubungkan dengan pemahaman atau pengetahuan kita akan sesuatu yang ada di dunia. Dari berbagai gambaran ini, dan dalam gambaran tentang gerakan, sinar, dan cakrawala, kita dapat merasakan apa yang menjadi tujuannya.[9]

Dalam gambaran tentang gerak Karl Rahner memaparkan mengenaikesadaran akan Allah itu. Rahner menggambarkan pikiran manusia sebagai sesuatu yang mampu menjangkau keluar dari suatu objek, segala benda yang ada di dunia – kursi atau meja – menuju yang tak terbatas dans elanjutnya menuju Allah. Baginya hanya dalam proses penjangkauan inilah sebuah benda tertentu dapat ditangkap dan dipahami. Pikiran memiliki suatu dinamisme, yang tak terbatas dan Allah, dan dinamisme ini merupakan suatu ‘syarat’ pengetahuan – di mana bila dorongan menuju ke “yang tak terbatas” tersebut tidak ada, maka “yang terbatas” tidak mungkin bisa diketahui.[10]

Penderitaan Sebagai Realitas Keterciptaan

Kontras dengan apa yang akan dipaparkan dalam bagian berikut ini, penderitaan hadir sebagai realitas keterciptaan yang membuat manusia kembali mengkaji hakekat keberimanannya, hakekat religiositasnya, hakekat kesadarannya akan adanya Allah. Bagian berikut ini akan memaparkan secara gamblang penderitaan dalam hubungannya dengan realitas alam ciptaan; kami akan mengambil satu realitas keterciptaan yang kerap menghasilkan kerusakan dan melahirkan fakta penderitaan bagi manusia.

Bencana alam dahstyat, gempa bumi berkekuatan 9,3 skala Richter yang disertai gelombang tsunami, telah mengisi memori Bangsa Indonesia di penghujung tahun 2004 yang lalu, Bencana itu telah mengakibatkan ratusan ribu jiwa raib di Aceh, Nias, dan Sumatera Utara, dan kerusakan pada infrastruktur yang sangat parah. Gempa dan gelombang tsunami itu bahkan oleh seorang pakar tsunami digambarkan sebagai bencana terdahsyat di dunia.[11] Indonesia sebagai bangsa religius, bencana alam ini melahirkan banyak perenungan, pertanyaan, dan juga kesadaran baru.; silih berganti para ulam, rohaniwan, tokoh-tokoh bangsa, menyampaikan kta-kata bijaknya. Beraneka ragam petuah yang telah disampaikan, namun kebanyakan intinya adalah mengajak untuk datang kepada yang maha kuasa, dan belajar hikmah yang besar yang Tuhanmau ajarkan melalui fakta keterciptaan ini.[12]

Bencana dahsyat itu bermula dari suatu tempat jauh di bawah dasar laut, 240 km lepas pantai Sumatera, pada perbatasan dua lempeng tektonik dunia, yaitu sebuah tubir laut sepanjang 1200 km yang dikenal dengan nama zona subduksi Andaman-Sumatera. Lempengan bagian bawah mengalami tumbukan ke bawah (subduksi) sehingga mengumpulkan tekanan yang sangat besar. Tekanan inilah yang kemudian dilepaskan pada tanggal 26 Desember 2004, yang berakibat gempa bumi dahsyat dari Aceh smpai Thailand dan bahkan Maldives.[13] Gempa bumi yang disebabkan oleh subduksi ini lebih dahsyat karena biasanya berlansung lebih lama. Gempa di Aceh dikabarkan berlangsung sampai delapan menit. Bisa dibayangkan berapa banyak kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh gempa selama itu, dan berapa banyak jiwa yang tewas. Di pulau Simeuleu, gmpa itu mengangkat beatuan koral dari dasar laut ke atas permukaan tanah. Gempa bumi itu kemudian melahirkan gelombang besar, yang melaju dari episentrum gempa menuju pantai-pantai sekitarnya. Pusat peringatan Tsunami di Pasifik (Pacific Tsunami Warning Center) di pulau Hawaii, menangkap pergerakan gelombang tersebut, adalah yang pertama diterjang gelombang itu, yang mencapai ketinggian 20 meter dan masuk hampir 1 km ke daratan, dan menewaskan 200000 jiwa.

Gelombang tersebut kemudian mengarah melintasi Laut Andaman menuju Thailand. Di Khao Lak, air laut tiba-tiba surut jauh ke tengah, namun kemudian disusul gelombang pasang setinggi 10 meter, dan mewaskan 5000 orang, kebanyakan wisatawan. Selanjutnya Sri Lanka. Gelombang pasang yangmembawa air sebesar 100 milyar ton meerjang pantai selatan negeri itu. Namun di sini gelombang tersebut mengalami perubahan arah, bagian depan gelombang tersebut melambat karena menemui perairan dangkal, namun bagian belakangnya berubah arah dan menghantam pantai barat daya Sri Lanka, sehingga menewaskan lebih 4000 jiwa di Galle. Gelombang ini lanjtas berlanjut ke India yang menewaskan 10000 jiwa. Kemudian di Maldives. Namun ajaibnya, walau 80 orang dikabarkan tewas, kerusakan di negeri ini hampir tidak terjadi. Diduga karena gugusan batuan karang di lepas pantainya, mengurangi kedahsyatan terjangan gelombang tersebut. Negara lain yang dihantam gelombang ini adalah Somalia yang menewaskan 300 jiwa. Kenya adalah tempat perhentian terakhir gelombangini, yang sudah melemah setelah melewati pulau-pulau Seychelles dan Diego Garcia. Di Kenya dikabarkan satu orang tewas.[14]

Demikian fakta alam yang dipaparkan secara detail di atas menunjukkan bagaimana penderitaan akhirnya dilihat sebagai efek keterciptaan itu. Bencana dahsyatyang melahirkan ratusan ribu korban jiwa entah yang dikategorikan “berdosa/tidak berdosa”, membuat manusia akhirnya kembali mempertanyakan apa sebenarnya hakekat keberimanan itu. Mana relevansi penyembahan pada sesuatu yang awalnya diyakini sebagai Tuhan yang serba Maha itu. Apakah kemahakuasaan Tuhan bersifat spacial dan temporal? Jika demikian tidaklah relevan kembali.

Pun, kita dapat juga membicarakan mengenai fakta penderitaan lainnya. Misalnya mengapa lantas di dunia ada pembunuhan, pemerkosaan, ada kematian orang yang tak bersalah, ada penyakit yang akhirnya mengantar pada kematian, mengapa ada begitu banyak realitas penderitaan, entah yang bersumber dari pola moralitas manusia pun yang bersumber dari fakta keterciptaan(fakta alamiah). Semua hal yang terkategorikan dalam penderitaan mencuatkan belbagai pandangan terhadap penderitaan. Semua hal itu kadang dicobakaitkan dengan adanya Tuhan. Bahkan kadangkala pandangan-pandangan itu mencoba membela posisi Tuhan yang kadang dipojokkan bahkan dipersalahkan.

Pandangan Kebanyakan Orang Terhadap Realitas Penderitaan

Berhadapan dengan realitas keterciptaan ini (Penderitaan), ditemukan pelbagai bentuk telaah, jawaban, permenungan pribadi/pun kelompok dalam rangka menjawab apa sebenarnya penderitaan itu. Banyaknya penjelasan-penjelasan yang ada, tampaknya berusaha untuk membela posisi Tuhan, atau membenarkan konsep Tuhan sebagai pribadi yang Maha, yang senantiasa dipersalahkan dan dianggap sebagai figur yang mutlak bertanggungjawab atas semua realita keterciptaan. Bahkan lebih ekstrim lagi, sampai pada rasa putus asa yang mendalam dan mengeluhkan “mengapa engkau menciptakan aku, jika yang akhirnya kutemukan dipenuhi dengan pelbagai kenyataan pahit?”. Selain membela posisi Tuhan, penjelasan mengenai penderitaan pun tampak lebih menyoroti kelemahan, keberdosaan, ketidakberdayaan manusia. Pihak manusia mencoba saling menghibur sesamanya yang bisa jadi “berangkat” dari pengertian yang kurang tepat tentang penderitaan itu.

Berikut adalah enam penjelasan-penjelasan yang kurang memadai tentang penderitaan sebagaimana yang disarikan oleh Toms Jacob dari entah bidang filsafat maupun teologi:[15]

1.Penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa-dosa orang yang bersangkutan. Pandangan bahwa penderitaan adalah hukuman dari Allah sepertinya tidak memperhatikan pihak-pihak yang ‘tidak semestinya’ dihukum. Penderitaan dalam konteks umum seperti bencana tsunami di Aceh, Pangandaran dll, tak serta merta dapat mengantar kita pada anggapan bahwa penderitaan itu hukuman. Tidaklah dapat diterima sebagai sebuah tanggapan iman, jika demi mereka yang berdosa dan bersalah, ribuan mereka yang tak bersalah harus sama nasibnya dengan yang bersalah. Pun, kita kembali dapat berpikir; mungkinkah dalam sebuah areal dengan ribuan jiwa manusia memiliki tingkat kesalahan/keberdosaan yang sama yang setimpal dengan sebuah hukuman yang demikian mengerikan, tsunami misalnya. Jika penjelasan ini yang dipakai dalam khasus penderitaan, rupanya konsep Allah masih harus dibenahi lagi dalam diri mereka yang menerima pandangan semacam itu.

2.Penderitaan di dunia ini akan mendapatkan ganjaran akhir di surga. Atau untuk mendapat upah di surga, manusia mesti melalui penderitaan. Tidaklah salah berpandangan semacam ini. Sebagai orang beriman kita tetap sah berpandangan bahwa terdapat kehidupan yang membahagiakan setelah kematian. Kita akan sampai pada zaman eskatologis. Di mana tidak lagi terdapat penderitaan, kesengsaraan yang ada hanya visio beatifica Dei. Agunglah pendapat semacam itu. Namun perlu disadari juga oleh kita orang beriman bahwa, lagi-lagi konsep kita tentang Allah janganlah terlalu naif. Kembali kita bertanya, dapatkah kita terima bahwa surga memerlukan syarat untuk dapat dimasuki. Benarkah bahwa Allah yang Maha Kasih itu justru memberi syaratyang demikian besar dan berat bagi manusia untuk dapat memandang wajahnya. Demikian mengasihi-kah Dia jika kita berpandangan seperti itu dan ternyata benar?. Pun sebagai manusia kita kadang bersedia untuk memberikan yang terbaik pada orang lain, entah sahabat, atau teman biasa tanpa menuntutnya memberikan sesuatu kepada kita terlebih dahulu. Dapatkah Tuhan tidak berlaku seperti itu, jika ciptaanNya saja mampu berbuat demikian.

3.Melalui penderitaan Allah mencobai mutu manusia; hanya manusia yang bertahan dalam penderitaan pantas untuk menerima kebahagiaan abadi di surga. Penjelasan semacam ini dapat benar dapat juga kurang benar. Sebab bagi sebagian orang, mungkin kita dapat menemukan tingkat kualitas keberimanan dan bertahan dalam penderitaan dan menunjukkan mutu hidup yang demikian berkelas. Namun jangan dilupa bahwa ada juga sebagian orang yang justru menjadi demikian terpuruk karena penderitaan itu sebab rupanya penderitaan yang dialami melebihi dari kapasitasnya untuk mengkaji penderitaan sebagai “cobaan”. Ada juga yang akhirnya justru demikian hancur dan tak dapat bangun sama sekali, bagaimana itu dapat disebut sebagai bahan ujian kualitas hidup manusia. Tidakkah Tuhan berpikir cara lain untuk mengenal mutu hidup manusia selain dengan mencoba-cobainya. Tidakkah Tuhan berpikir cara lain untuk mengenal kualitas seorang ibu/bapak tanpa harus membunuh anaknya, cucunya, membuatnya lumpuh seumur hidup, cacat buta dsb? Apakah Tuhan sedemikian kehabisan akal untuk lebih mengenal umatnya?

4.Penderitaan memurnikan hati , jadi bernilai secara moral. Dari penjelasan ini bagaimana menjelaskan sebuah penderitaan/penyiksaan yang terjadi di luar batas kemampuan manusia. Penderitaan di luar batas kemampuan manusia dapat menyebabkan kematian, palingkurang keterpurukan yang demikian dalam, lantas jika demikian, apa yang mesti lagi dimurnikan? Atau bagaimana melihat rahmat jika penderitaan yang dialami merupakan penyiksaan yang berujung kematian bagi dirinya. Akankah orang itu mampu untuk melihat rahmat itu?

5.Dunia dengan penderitaan lebih baik dari pada dunia tanpa penderitaan. Paham bernada utilitarian ini amat berbahaya dan terkesan merendahkan martabat manusia lain yang menjadi korban. Haruskah ada orang yang menderita untuk menciptakan lebih banyak orang bahagia. Pandangan bahwa penderitaan orang adalah mutlak harus ada demi kebahagiaan sebagian yang lain, oleh Aliosha tidak dapat diterima dan memang jahat karena kebahagiaan orang banyak seakan-akan mau dibeli dengan pederitaan sebagian orang yang lain.

6.Manusia tak berhak untuk protes, karena manusia tak setara kedudukannyadengan Tuhan. Anggapan atau penjelasan semacam ini, akhirnya melahirkan dua pertanyaan mendasar: 1). Dapatkah dibenarkan melarang orang untuk protes terhadap sesuatu yang dirasanya tidak adil, terjadi pada dirinya?, apakah sebuah anjuran dapat dibenarkan jika anjuran tersebut menekan hak untuk memaksa menerima apa yang oleh penganjur dirasa benar? 2). Bergunakah kita lantas mengatakan Allah itu mahakuasa, adil dan baik, jika sebenarnya Allah itu sama sekali lain dari manusia?

Pandangan-pandangan atau anjuran sebagaimana yang dikemukakan di atas kerap kali menghiasi setiap kotbah, renungan, penghiburan atau apapun dalam sebuah suasanadi mana orang diliputi keputusasaan, kegagalan, kejatuhan, setiap orang mengalami apa yang disebutnya sebagai penderitaan. Lantas bagaimanakah penderitaan itu harus kita pahami dan kita mengerti secara objektif benar dan dewasa. Bagaimanakah penderitaan dapat kita pandang sebagai rahmat, bagaimanakah penderitaan dapat kita letakkan dalam kerangka iman kita kepada Allah, atau dalam semangat iman kristiani, bagaimanakah penderitaan kita pahami/hubungkan dengan iman kristiani dalam hubungannya dengan Yesus Kristus, yang justru memilih jalan penderitaan?

Akan-kah kita sampai pada tahap di mana kita mampu melihat hal-hal yang kita sebut sebagai penderitaan sebagai sesuatu yang medewasakan kita, sebagai sesuatu yang bermakna, sebagai sesuatu yang berahmat? Untuk sampai pada pemahaman seperti itu tentulah tidak semudah kita memahami bagaimana seorang ibu mencintai anaknya, atau bagaimana seorang suami suka akan istrinya. Berikut akan sedikit diulas bagaimana kita sebenarnya masih memiliki konsep yang kekanak-kanakan terhadap pandangan baik dan buruk. Serta bagaimana juga seharusnya kita memahami realitas penderitaan pada dirinya. Sebab dari situlah akan lahir kelak sebuah pemahaman bahwa; “benar Tuhan bahwa penderitaan itu esensi dari hidup, tanpa penderitaan hidup bukanlah sebuah hidup. Hidup justru akan terasa berarti jika di dalamnya kita menemukan penderitaan. Apa akibatnya jika dalam hidup kita tak pernah berjumpa dengan rasa lapar, dengan rasa kantuk, dengan rasa sedih. Amatlah tersiksa batin seorang yang hidup abadi. Sebab, hidup hanya akan disebut sebagai hidup jika kita mengenal adanya dimensi lain yaitu kematian. Jadi esensi hidup tak dapat terlepas dari bereksistensinya kematian itu sendiri”.

Konsep Egoisitas Baik dan Buruk

Cara berpikir kebanyakan orang tentang sesuatu hal yang entah akhirnya disebutnya sebagai yang baik entah yang buruk, kerap didasari oleh sesuatu yang terbilang amat subjektif. Dapatlah secara sederhana kita mengangkat sebuah contoh berikut: seorang anak yang kerap diberi manisan oleh kakeknya tentu akan mengatakan dengan bangganya bahwa sang kakek itu adalah orang baik. Namun selang beberapa lama sang kakek tidak lagi memberi anak itu manisan, konsep baik yang semula dikenakan pada sang kakek akan diubah oleh anak tersebut menjadi bahwa sang kakek adalah orang jahat.

Dari sini tampaklah sebuah pemahaman yang baik dan yang buruk itu sebagai sebuah selera pribadi. Batasan antara yang baik yang buruk kerap dihubungkan dengan tingkat kepentingan pribadi dari si pemberi kualitas itu. Apakah suatu peristiwa akan merugikan saya, ataukah peristiwa itu menguntungkan saya; sambil tak ambil pusing dengan apa yang ditimbulkan pada orang lain dari peristiwa yang menguntungkan saya itu. Demikian konsep baik dan buruk kerap dipahami.

Cara berpikir demikian pula lah yang kerap dikenakan pada Tuhan. Umat beragama cenderung masih mengenakan konsep di atas (yang kekanak-kanakan itu) pada Tuhan yang mereka imani. Tuhan dianggap sebagai yang baik di saat sebuah peristiwa menguntungkan saya, dan Tuhan sebaliknya dianggap sebagai yang jahat di saat sebuah peristiwa merugikan saya. Pola beriman yang didasarkan atas rasa inilah yang justeru akhirnya membawa person pada sebuah kesimpulan yang begitu bertolak belakang dengan yang semula diyakininya; misalnya di saat sedang mengalami penderitaan.

Bukan masalah selera

Harold Kushner seorang penulis buku terkenal “When Bad Things happen to Good People” kerap memberikan contoh-contoh penderitaan semisal peristiwa Holocaust. Terhadap pembantaian lebih dari enam juta orang Yahudi di Jerman, tentu akan lahir rupa-rupa tanggapan negatif. Sulit ditemukan sebuah tanggapan positif dari peristiwa itu. Tidaklah mungkin seorang Yahudi yang hidup sesudahnya, akan membenarkan (tidak menilai salah) peristiwa yang dilakukan oleh Nazi itu. Namun dalam perspektif yang lain, secara prinsipiil apakah Nazi benar-benar dapat serta merta dipersalahkan, jika yang mereka lakukan berdasar sebuah prinsip/hukum yang mereka pertahankan sebagai benar? Apakah lantas kita akan menilai suatu perbuatan itu jahat dan buruk hanya perihal kita tidak menyukai perbuatan itu, sedang di lain pihak banyak orang justru membenarkan tindakan itu? Di sini hendak ditutuntut suatu cara berpikir yang dewasa terhadap pemberian stigma apakah sesuatu disebut baik dan buruk. Yang jelas adalah, penilaian sesuatu sebagai yang baik dan yang buruk tidak dapat hanya didasarkan pada ketidaksetujuan saya karena saya tidak berselera, atau anggapan tidak baik berdasarkan perasaan saya.

Atau bisa juga kita mengangkat sebuah contoh tragedi bencana alam semisal banjir atau tanah longsor. Dilihat dari sudut cara kerja alam, apakah dapat secara langsung kita menilai bahwa cara kerja alam itu buruk sedemikian hanya karena banjir itu merusak rumah kita atau memutuskan secara vatal relasi kita dengan sesama manusia lain? Tentunya sebagai person yang berpikir dewasa dan beriman secara dewasa dan bertanggungjawab, kita tak dapat serta merta langsung menyebutnya sebagai buruk/jahat. Berdasarkan prinsip kerja alam, alam semesta memiliki kemampuan dan akan memakai kemampuan itu untuk menyelamatkan dirinya dari sebuah kerusakan yang terjadi dan prinsip kerja itu mau tidak mau akan terjadi dan berlangsung, dan prinsip kerja itu yang kadang tak dipahami oleh manusia. Sebagai sebuah prinsip kerja apakah kita dapat memandang itu sebagai yang buruk/jahat, hanya karena kita tak senang dengan prinsip kerja itu. Sah-sah saja memang. Namun hendaknya keberimanan kita berada pada taraf yang demikian dewasa untuk tak semberono mengkaji ini sebagai baik dan itu sebagai buruk.

Tuhan itu satu dan mutlak

Dalam buku Ketika Manusia Membutuhkan Tuhan dipaparkan dengan baik bahwa masalah baik dan buruk itu justru ada perihal keberimanan kita yang monoteistik. Keberadaan Tuhan yang satu yang menghendaki adanya aturan moral-lah yang mengakibatkan lahirnya sesuatu yang akhirnya disebut baik dan disebut jahat/buruk. Tuhan menghendaki manusia untuk tidak mencuri. Sehingga masalah bahwa mencuri adalah buruk/jahat adalah permasalah moralitas yakni permasalah apakah saya akan melakukan tindakan mencuri atau tidak. Atau lebih jelasnya, jika Tuhan menghendaki manusia melakukan tindakan A maka tentunya ada tindakan yang lain dari kualitas A misalnya B (jahat/buruk).

Permasalahan ini akan jadi berbeda jika kita mengimani tuhan yang plural/jamak. Konsep baik dan buruk bukan terletak pada hekekat perbuatan itu. Misalnya mencuri adalah jahat/buruk karena memang pada dasarnya/hakekatnya perbuatan itu adalah buruk/jahat, melainkan pada apakah tindakan mencuri dilakukan untuk menyenangkan dia yang yang saya pilih sebagai yang saya sembah. Sedangkan allah-allah yang lain justru tak menghendaki tindakan mencuri karena merugikan diri mereka. Permasalahan bukan lagi terletak pada hekekat perbuatan, melainkan akibat perbuatan itu dalam hubungannya dengan diri saya dan dia yang saya sembah.

Dari sini kita mengenal bagaimana cara kita memandang sebuah per-masalahan/tindakandalam hubungannya dengan kualitas keberimanan kita pada Tuhan. Apakah penilaian kita pada sebuah perbuatan itu entah baik ataupun jahat/buruk didasarkan pada standar kemutlakan moral sebagaimana Tuhan itu satu dan mutlak, atau berdasar pada kecenderungan manusiawi kita yang masih berpihak pada “ilah-ilah” lain yang tercakup dalam selimut keegoisan kita.?

Mengenai sebuah perbuatan itu baik dan buruk, kita dapat melihatnya demikian. Tindakan bersepak bola di tengah jalan umum dianggap sebagai tindakan yang buruk berdasarkan sebuah kesepakatan kita untuk mengatakan bahwa itu buruk. Jadi letak permasalah bukan pada hakekat bermain bola itu melainkan pada ruang di mana aktifitas bersepak bola itu ditempatkan. Berbeda dengan memperkosa. Memperkosa entah disepakati oleh sebagian besar orang tertentu dan ditentang oleh sebagian yang lain toh tetap merupakan sebuah tindakan yang pada hakekatnya buruk/jahat. Sebab tindakan memperkosa kapanpun dan di manapun tetap mengandung sebuah kualifikasi negatif di dalamnya. Sehingga tindakan kepahlawanan Robin Hood dalam cerita rakya Inggris tidak dapat dibenarkan dalam perspektif ini. karena pada hakekatnya merampok, mencuri yang dilakukan oleh Robin Hood terhadap para bangsawan merupakan tindakan negatif meski dengan tujuan yang baik. Dari sini kualifikasi sebuah perbuatan itu disebut baik atau buruk, bukan berdasarkan sebuah kesepakatan atau konvensi sebaliknya berdasarkan sebuah standar moralitas yang mutlak.

Harolds Kushner mengibaratkan mutlaknya kualifikasi tindakan moral semisal membunuh atau mencuri atau apapun sejajar dengan mutlaknya bahwa api itu panas, air itu pada dasarnya bersifat basah. Kita tak mungkin mengubah untuk menghendaki bahwa siang itu gelap dan malam itu terang, atau musim kemarau itu seharusnya sejuk dan musim dingin seharusnya tak sedingin seperti yang seharusnya. Intinya ata sebuah prinsip mutlak sesuatu itu disebut baik atau buruk bukan terletak pada masalah selera pribadi atau perasaan kita semata.

Penderitaan Sebagai Fakta Alam

Salah satu ciri khas dari keberimanan manusia adalah menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan sang Pencipta. Sebuah pemahaman yang wajar adanya, karena demikianlah kita ditarik untuk sampai pada keyakinan bahwa tak ada satu hal ikhwal pun yang luput dari Tuhan sebagai Sang Pencipta itu. Dan campur tangan Tuhan itu selalu bernada positif. Namun pemahaman demikian justru menjadi hilang dan berubah menjadi naif tatkala konsep baik dan buruk yang egois itu juga ditempatkan dalam skema berpikir tentang Tuhan. Misalnya, suatu hal terjadi karena Tuhan tak menghendaki sesuatu hal lain terjadi. Bpk. Tommy meninggal karena Tuhan lebih suka/menyayangi Bpk. Daud. Lantas bagiamanakah dapat kita meluruskan kembali pemahaman mengenai campur tangan-nya Tuhan dalam ciptaan ini, atau bagaimanakah kita dapat memahami secara benar pandangan umat beriman mengenai intervensi Tuhan dalam setiap gerak laku manusia.

Adakah Jawaban?

Satu keyakinan yang mesti dipegang erat sehubungan dengan tema penderitaan dan dijadikan dasar di mana setiap argumen/penjelasan harus berkiblat adalah bahwa Tuhan tak pernah menghendaki adanya nasib buruk/penderitaan terjadi pada manusia. Lantas bagaimana hendak dijelaskan adanya penderitaan itu. Apakah adanya hal buruk/pen-deritaan hanya soal kebetulan belaka dan tak ada yang hendak bertanggungjawab di dalamnya, termasuk Tuhan yang diyakini sebagai yang Maha itu?

Beberapa hal dapat dipaparkan berikut. Sulit untuk menjawab mengapa harus pesawat dengan nomor terbang tertentu yang mengalami peristiwa naas dan bukan pesawat dengan nomor penerbangan tertentu lain. Dan mengapa harus sepasang pengantin baru yang ada di dalam pesawat naas itu, bukan sepasang kakek-nenek yang sakit-sakitan. Atau pada saat badai listrik melanda daerah tertentu, mengapa harus bocah SMP A yang tersambar petir dan bukan bocah SMP B yang juga berada di tempat yang sama. Pada saat perampokan Bank yang menewaskan seorang sekuriti; mengapa harus sekuriti A yang tewas padahal untuk jaga pagi di hari itu sekuriti A selalu ditemani sekuriti B, dan mengapa sang istri dari sekuriti B justru menghidangkan nasi goreng pagi itu dan membuat sekuriti B menambah se-porsi lagi dibanding hari-hari sebelumnya yang hanya seporsi. Sehingga mengakibatkan sekuriti B terlambat hadir pagi itu. Mengapa semua tampak seperti kebetulan? Dan memang kerap tindakan manusia dihiasi dengan pelbagai keputusan-keputusan yang tidak disadari. Misalnya mengapa sekuriti A tadi harus memutuskan bangun dan datang lebih pagi hari itu, sedangkan hari-hari sebelumnya ia terbiasa dengan datang terlambat?

Mengapa harus pasangan D dan G yang dianugerahi anak dengan tingkat IQ rendah dibanding dengan pasangan keluarga lainnya yang melahirkan anak dan menjadi seorang dokter spesialis? Apakah sudah merupakan kehendak Tuhan hal tersebut berlaku demikian, apakah Tuhan yang menghendaki bahwa salah satu sel sperma dari jutaan sel sperma milik pria D yang harus bertemu dengan salah satu dari jutaan juga sel telur dari perempuan G?, yang akhirnya melahirkan anak dengan tingkat IQ rendah. Apakah benar Tuhan menghendaki seorang Pastor selamat dari bencana tanah longsor yang menimpa pastorannya dan menimbun tiga rekan pastor lainnya hanya karena malam itu ia harus keluar pastoran, mengambil motor hanya untuk membeli sesacet Capucino di warung sebelah, dan mengapa persediaan Capucino di lemari pastoran harus habis tepat pada malam itu, atau mengapa pastor itu sedemikian inginnya meminum Capucino sacet dibanding tiga rekan lainnya, atau mengapa harus si pastor itu? Adakah Tuhan mempunyai rencana tertentu kepada si pastor itu dan tidak kepada tiga rekan pastor yang tertimbun itu? Harrold Kushner menulis “jika benar, maka saya harus merasa takjub pada pesan macam apa yang dikirimkan Tuhan bagi kita lewat tindakanNya yang tampak sewenang-wenang dengan menghukum dan menyelematkan manusia sesuai dengan keinginanNya”.

Terhadap bencana alam semisal Tsunami yang terjadi di Sumatera Utara. Adanya pergeseran lempeng tektonik serta merta dapat menimbulkan badai atau gempa bumi yang mengakibatkan gelombang. Itu sebuah fakta alam, namun tidaklah termuat pesan khusus bagi manusia dari Tuhan tentang, mengapa harus Sumatera Utara yang terkena gelombang pasang tersebut, bukan daerah lain atau mengapa gelombang pasang tersebut harus mengarah pada bagian bumi yang dihuni oleh penduduk dengan tingkat kepadatan yang tinggi?.

Perlakuan terhadap para demonstrans pada 11 Mei 1998. Mengapa peluru tertentu yang dilepaskan oleh seorang polisi harus mengenai seorang demonstran tertentu dan bukan yang lain?, dan mengapa demonstran itu harus ikut berdemo padahal sebelumnya ia paling menentang aksi demonstrasi yang menurutnya kadang brutal? Memang mengenai terlepasnya peluru dan menewaskan orang dapat dipahami dan dilihat sebagai hukum fisika, namun yang tidak mudah dijelaskan adalah, mengapa harus demonstran A yang terkena peluru itu, bukan demonstran B, C, atau D? Lantas dapatkah dibenarkan jika dari beberapa contoh kejadian di atas kita menyimpulkan sesuatu yakni; seseorang yang luput dari kematian itu lebih berharga di mata Tuhan ketimbang mereka yang tidak lolos dari kematian, dan Tuhan menghendaki ia tetap hidup dan Tuhan menghendaki yang lain meninggal atas cara demikian?

Tuhan menganugerahkan dunia yang menakjubkan

Apa yang dimaksud dengan dunia yang menakjubkan? Tuhan menganugerahkan sesuatu kepada manusia dengan menempatkan manusia pada ke-tertakjuban tersebut. Unsur menakjubkan juga berlaku bagi manusia yang tak lain adalah bagian dari dunia ciptaan, yang berarti pada manusia juga berlaku prinsip apa yang berlaku pada ciptaan yang lain. Dunia Ciptaan mengandung prinsip-prinsip mutlak yang mencerminkan ketertakjuban itu.

Matahari pada hakekatnya panas, hujan itu pada prinsipnya bersifat basah. Cahaya mengakibatkan adanya terang, dan kegelapan adalah efek dari tidak adanya cahaya. Makhluk hidup apapun itu memerlukan makanan atau nutrisi, jika tidak maka akan berhenti kehidupannya. Adanya gravitasi pada bumi membuat segala sesuatu harus jatuh ke arah bawah, bukan ke atas. Itu juga yang membuat mengapa air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Sesuatu yang terisi penuh akan tumpah. Api dapat menyala karena ada oksigen. Air akan medidih pada suhu 100 derajat Calcius dan akan membeku pada 0 derajat Celcius. Para makhluk hidup memiliki kemampuan untuk bertahan terhadap ancaman yang datang dari luar dirinya. Terdapat juga hukum kimia; campuran antara unsur-unsur tertentu dengan proporsi yang sama selalu mendapatkan hasil yang sama sehingga dokte dapat membuat resep dan tahu apa yang akan terjadi. Matahari memiliki prinsip yang jelas bahwa jika berada pada satu garis lurus dengan bulan akan menciptakan gerhana matahari. Terdapat banyak sekali hukum/prinsip dalam alam ciptaan ini dan setiap prinsip/hukum itu menggambarkan betapa menakjubkannya dunia ciptaan ini.

Mengenai orang jatuh sakit, meninggal dan lain-lain merupakan bukti bahwa alam bekerja dengan prinsip dan hukumnya. Dan alam sedemikian bebas menggunakan prinsip kerjanya tanpa pandang bulu. Alam jelas-jelas bekerja semisal pada peristiwa gunung meletus. Pada prinsipnya sesuatu yang penuh akan tumpah demikianlah yang terjadi pada peristiwa tersebut. Atau pada Tsunami; pergeseran dasar laut akan mengakibatkan bobot air di atasnya bergejolak dan menciptakan gelombang. Atau pada fenomena kepala botak. Pada prinsipnya sesuatu akan tetap hidup/eksis jika diberi makan, sehingga rambut rontok dan menyebabkan kebotakan adalah gambaran kerja prinsip alam tersebut.

Manusia tak mungkin dapat menghindar dari fakta alam. Manusia tak mungkin tidak jatuh jika berdiri pada ketinggian tertentu tanpa berpijak pada sesuatu. Atau kerap kita mengeluh mengapa harus ada rasa gatal jika digigit nyamuk. Pada prinsipnya nyamuk memang harus mengkonsumsi darah. Tanpa perintah Tuhanpun ia akan tetap mencari darah untuk bertahan hidup. Intinya manusia tak mungkin mengelak dari hakekat keterciptaan ini. Manusia sebagai yang ada di dalamnya dan menyandang juga atribut sebagai yang diciptakan, juga mengenal baik semua kerja/prinsip alam ciptaan itu. Pada prinsipnya hukum alam berlaku pada semua yang ada yang menyandang atribut sebagai yang tercipta. Siapapun dia jika ditembusi peluru akan merasakan sakit dan bisa saja mati jika mengena pada bagian vital kehidupan.

Maka ciptaan tidak lagi dapat disebut sebagai ciptaan jika memiliki kekecualian-kekecualian tertentu. Misalnya seorang A tidak bisa mati jika ditembusi peluru, seorang presiden tidak akan pernah merasa lapar sehingga dapat fokus seratus persen pada urusan pemerintahannya. Atau seorang pastor tidak akan basah kehujanan setelah ia pulang dari pelayanan orang sakit. Atau seorang pendeta tak akan mati jika ditenggelamkan dalam air selama 10 menit. Manusia bukanlah benda mati yang tidak memiliki rasa untuk dikeluhkan. Sebuah batu akan menerima begitu saja prinsip kerja alam. Sehingga bekerja atau tidaknya sebuah prinsip alam tidak akan digubris oleh sebongkah batu kali. Manusia bukanlah demikian. Manusia disebut sebagai makhluk hidup, justru karena ia mengenal ada fakta tentang kematian. Apakah hidup masih dapat disebut sebagai hidup jika esensi hidup seperti cuatan-cuatan rasa sakit, sedih, kecewa dll, tidak bereksistensi dalam kehidupan itu? Dan manusia tidak lagi dapat disebut sebagai bagian dari keterciptaan jika eksistensinya berlawanan dengan prinsip hukum yang berlaku di dunia ciptaan.

Realitas keterciptaan tentang adanya penderitaan merupakan realitas juga yang ada pada level binatang. Namun hanya manusia yang mampu melihat makna lain di balik penderitaannya. Setidaknya bagi manusia penderitaan merupakan harga mati yang harus dibayar untuk sebuah kehidupan. Dalam “When Bad Things Happen to Good People” Kushner menulis:

“pertanyaan harusnya kita ubah dari “Mengapa kita harus merasakan penderitaan?” menjadi “Apa yang dapat kita lakukan dengan penderitaan sehingga menjadi bermakna dan tidak hanya sekedar penderitaan tanpa makna? Bagaimana kita mengubah pengalaman penderitaaan dalam kehidupan kita menjadi “penderitaan melahirkan” atau penderitaan yang bertumbuh?” Mungkin kita tidak akan pernah mengerti alasan kita menderita atau mengapa kita dapat mengontrol hal-hal yang membuat kita menderita. Tetapi, kita mempunyai banyak hal yang ingin kita bicarkan tentang apa yang penderitaan lakukan pada kita dan menjadi orang macam apa kita setelah melwati penderitaan tersebut.”

Di mana Tuhan

Untuk memulai bagian ini saya hendak sedikit mengangkat sebuah sharing dari seorang perempuan berusia 19 tahun kepada saya tentang bagaimana ia mengkaji setiap kejadian pahit yang kerap menimpanya. Ia hidup di tengah keluarga yang mapan dari segi ekonomi dan tak berkekurangan apapun. Sedari kecil ia dididik dalam lingkungan yang berada, dan segala kebutuhannya tak satupun yang tak ditanggapi oleh kedua orang tuanya. Namun ditengah kemapanan ekonomi yang demikian, terdapat konflik hebat antara ayah dan ibunya yang akhirnya membuat kedua orang tuanya bercerai. Sejak saat itu, di usia tiga setengah tahun, ia tidak lagi tinggal bersama ibu kandungnya. Peristiwa demi peristiwa dalam keluarga barunya ia jalani dengan penuh tekanan, terlebih dari pihak ibu tirinya yang seolah tak menghendaki kehadirannya. Pelbagai perlakuan tak layak kerap diperlakukan terhadapnya. Di sela-sela kepedihan hidup itu, lagi-lagi ia harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa ibu kandungnya meninggal karena kanker hati. Dalam usia-usia menjelang remaja ia kerap menyesali keberadaan dirinya di dunia ini. “Mengapa papa dan mama itu sempat-sempatnya bercinta dan menghasilkan aku, padahal sementara berada dalam konflik keluarga?, mengapa mama masih mau melahirkan aku, kenapa tidak digugurkan saja kalau toh yang aku rasakan sekarang seperti ini”. Namun kemudian setelah cukup dewasa dan setelah menamatkan pendidikan tingkat SLTA-nya ia menemukan sesuatu yang baru dari semua peristiwa itu, “sekarang aku bersyukur, aku boleh mengalami semua itu. Aku berterima-kasih pada Tuhan karena boleh merasakan bagian dari kehidupan dunia. Aku boleh tahu bagaimana rasanya konflik keluarga, aku boleh tahu bagaimana rasanya ditinggal oleh ibu”

Sulit sekali untuk menelusuri apa penyebab hadirnya kesadaran, pemahaman sedalam itu pada seorang gadis yang baru menginjak dewasa muda. Sulit sekali mengkaji apa yang membuatnya justru mensyukuri penderitaan, sulit melihat adanya peristiwa ajaib yang mengubah cara pandangnya selama itu. Di tengah rasa kagum akan kedewasaannya dalam memahami penderitaan, spontan saya bergeming; seandainya saja orang-orang beragama dapat sampai pada pemahaman sedalam itu. Mengubah yang semula disesali, dikeluhkan dan ditolak menjadi sesuatu yang disyukuri, dan diterima.

Berangkat dari sharing gadis tersebut di atas, baiklah kita sekarang sedikit menyelami misteri penderitaan itu dari balik keberimanan kita pada Tuhan sang Pencipta dunia ini. Atas pertanyaan tentang penderitaan, kita dapat mengemukakan lagi pertanyaan akan penderitaan seperti ini; mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia tanpa penderitaan, mengapa Tuhan tak menciptakan manusia dalam sebuah situasi yang hanya diliputi rasa bahagia, mengapa harus di dunia, jika toh Dia tahu benar tentang esensi ciptaanNya yang dapat menghasilkan “penderitaan”?.

Sekarang anda harus setuju jika saya mengatakan bahwa pertanyaan yang sengaja saya tampilkan di atas merupakan pertanyaan yang mengindikasikan kedangkalan pemahaman kita akan Tuhan. Pertanyaan yang terpapar di atas tidak lain adalah sebuah indikasi yang menunjukkan betapa manusia sama sekali tak paham akan apa sebenarnya esensi dari hidup itu. Dalam sebuah peristiwa kematian, pihak yang kehilangan bisa jadi telah menerima bahwa itu adalah fakta alam. Namun sulit sekali baginya untuk menerima kenyataan bahwa anak/istri/suami/ayah yang harus mati. Mengapa bukan orang lain, mengapa harus dia. Dan baiklah jika akhirnya si kehilangan itu mengerti tentang keputusan-keputusan yang kerap diambil manusia yang kadang bertabrakan dengan hukum alam. Namun jika demikian si kehilangan akan lagi mengeluhkan “lantas mengapa Tuhan harus memberikan dia yang akhirnya mati pada saya, bukan pada orang lain, mengapa Tuhan harus memberikan dia yang akhirnya justru membuat saya merasa sedih, dan terpuruk seperti ini”. Dan jika sekali lagi ia masih harus mempertanyakan fakta kematian itu, ia akan sampai pada pertanyaan tentang mengapa Tuhan harus memberi kehidupan, jika Ia tahu tentang apa akibat dari kehidupan.

Dan lihat atas fakta kematian itu, kita dengan gamblang dapat melihat letak konsep baik-buruk yang egois sebagaimana telah diuraikan di atas. Dan lihat juga, bahwa atas konsep baik-buruk yang egois itu, lahir pertanyaan tentang mengapa Tuhan menciptakan dunia yang seperti ini. Tidak bisakah Tuhan menciptakan yang lain. Kita tentu dapat dengan bebas berandai-andai tentang kemungkinan bahwa Tuhan sebaiknya menciptakan dunia yang begini dan begitu. Tapi bagi saya pertanyaan itu hanya akan membuang-buang waktu dan sebaliknya justru membuat kita kehilangan banyak waktu untuk mengagumi keberadaan yang telah ada.

Hukum Alam Sebagai Ekspresi Kesempurnaan

Tuhan tentulah menciptakan dunia ini baik adanya. Tuhan tidak sembarangan menciptakan dunia dan menempatkan manusia di dalamnya. Tuhan tidak asal-asalan menciptakan alam semesta, bumi dan segala isinya termasuk manusia. Saya senang untuk mengutip apa yang ditulisoleh John Powell, SJ dalam buku “Visi Kristiani”;

Tuhan mengenal Anda dan saya sebelum Dia membentukkita dalam rahim ibu kita (lih. Mzm 139: 13-16; Yer 1:4-5), Dia mengetahui siang dan malam hari kita. Dia tahu akan terjadinya saat-saat cerah dan saat-saat gelap dengan derita yang kesepian. Dia tahu akan terjadi saat-saat yang dipenuhi ekstasi manusiawi dan saat-saat lain pada waktu kita merasa sangat sendiri, dan saat-saat akan bertanya-tanya apakah sungguh-sungguh ada Tuhan yang memperhatikan kita. Dia tahu bahwa anugerah kebebasan mengandung kemungkinan dan terjadinya dosa. Dia tahu bahwa kejahatan akan menyentuh hidup Anda dan saya. Dia tahu bahwa Dia akan memberikan rahmat untuk mengatasi percobaan, tetapi Dia tahu juga bahwa kita kadang-kadang akan menolak pemberian rahmat Nya. Dia tahu bahwa Dia akan menulis dengan kelenturan kita. Dia tahu bahwa Dia akan menulis lurus dalam kebengkokan kita.”

Pengetahuan Tuhan tentang ciptaanNya saya artikan bukan sebagai bahwa Tuhan menghendaki semua itu terjadi termasuk kemurtadan kita, termasuk keberdosaan kita, termasuk kelalaian kita, termasuk penderitaan kita. Pengetahuan Tuhan lebih menunjuk prinsip kerja alam ciptaan yang sempurna adanya sebagaimana yang Tuhan kehendaki mereka bekerja. Misalnya gravitasi bumi secara sempurna bekerja untuk membuat air sungai mengalir, meja-kursi dapat dipakai dan berada pada posisinya, seluruh benda dapat berada pada posisi yang tepat sesuai yang diharapkan dll. Panas matahari membuat angin bertiup dan menerbangkan layang-layang, memutar kincir angin dll. Hewan karnivora memangsa hewan lain, hewan herbivora memakan tetumbuhan, tetumbuhan memakan renik-renik dari jasad hewan atau tumbuhan lain yang mati.

Pelbagai prinsip kerja alam yang sempurna (ciptaan Nya) itulah yang membuat Tuhan mengenal setiap gerak ciptaanNya, bahkan sebelum “ia dilahirkan”. Pengetahuan Tuhan akan ciptaanNya hendak mengatakan bahwa tak ada satu ciptaanNya pun yang dapat terhindar dari prinsip kerjanya yang sempurna itu. Makhluk hidup apapun itu tak dapat menghindari rasa lapar. Apapun itu tak bisa tidak harus basah jika terkena siraman air. Apapun itu harus kenyang jika sudah makan. Apapun itu harus/pasti akan sampai pada titik jenuh atau titik rapuh. Dan tak ada satupun yang dapat lolos dari kesempurnaan Tuhan itu, yang melekat pada tiap-tiap ciptaan; manusia, hewan, tumbuhan, dan benda mati. Selain itu setiap prinsip, bekerja masing-masing tanpa tergantung satu dengan yang lainnya. Matahari bersinar kapanpun, tak akan peduli apakah di tengah padang gurun itu ada orang sementara melintas atau tidak. Esensi api tetaplah panas tak peduli apakah susunan syaraf pada tangan manusia bekerja atau tidak. Semua prinsip alam (entah yang ada di alam raya maupun dalam diri manusia) bekerja dengan sempurnanya, dan tak tergantung dengan yang lainnya. Keberadaan itu mutlak adanya.

Fakta alam yang bekerja sempurna itu yang memungkinkan kehidupan terus berlanjut. Susunan syaraf pada seekor Bunglon akan tetap dapat bekerja untuk membuat seekor Bunglon tetap waspada tak mengenal apakah si ular tali yang ada di pohon yang di mana Bunglon itu berdiam dalam keadaan lapar atau tidak. Bekerjanya prinsip alam inilah bingkai kesempurnaan itu hendaknya dipahami. Manusia dianugerahi rahmat berupa rasionalitas untuk tetap melangsungkan fakta kehidupannya di tengah belbagai fakta alam lainnya. Fakta bahwa manusia hanya dapat bernafas di udara bebas bukan di dalam air, mempekerjakan rasio untuk memutuskan agar tidak berlama-lama berdiam diri di dalam air. Pelbagai contoh lain masih dapat diulas dan dibahas di sini, yang jelas adalah, pada prinsipnya setiap ciptaan bekerja dengan sempurna berdasarkan prinsip-prinsip asalinya.

Lantas bagaimana memahami kesempurnaan prinsip kerja rasionalitas manusia, jika pada kenyataannya sering ditemukan kegagalan ini dan itu yang justru dibuat oleh manusia?Pertama hendak dikatakan bahwa kegagalan itupun prinsip kerja alam yang menampilkan kesempurnaan, dan manusialah yang membahasakan itu dengan kualifikasi gagal atau berhasil. Sebab prinsip kerja alam adalah bekerja pada prinsipnya. Pada prinsipnya sebuah peluru akan melukai sasarannya. Itu sebuah prinsip, tak ada yang dapat menyangkal prinsip kerja itu. Tubuh tidak akan mengeluarkan darah jika tidak digores dengan benda tajam. Itu sebuah prinsip kerja dan tak ada yang akan menyangkalnya. Dan mengapa manusia, seorang frater berkaul yang berasio ini justru mengambil keputusan untuk membelot dari aturan selibater dengan sengaja bersetubuh? Apakah dapat terlihat kesempurnaan di situ?. Jawabannya adalah Ya. Untuk contoh ini kita dapat berbincang pajang lebar tentang pembentukan karakter, tentang penanaman gen, tentang pembentukan tingkat kemampuan intelektual frater yang bersangkutan mulai dari orang tuanya bahkan beberapa keturunan sebelumnya. Sesuatu yang pasti adalah dalam setiap kejadian apapun prinsip alam tetap bekerja di situ. Satu ditambah satu selalu menghasilkan dua. Demikian yang berlaku untuk benda mati dan benda hidup. Dan prinsip kerja satu ditambah satu menghasilkan dua itulah kesempurnaan. Satu ditambah satu sama dengan dua berlaku pada manusia (pada frater, pastor), pada hewan, pada tumbuhan, pada benda-benda mati, pun pada hubungan keempat kategori itu satu dengan yang lainnya.

Yang kadang membingungkan kita adalah banyaknya tanggapan bahkan definisi tak resmi yang menyebut suatu tingkat keberhasilan tertentu adalah kehendak Tuhan. Misalnya seorang frater yang ditahbiskan menjadi seorang imam disebut sebagai jalan hidup yang Tuhan kehendaki baginya. Dengan demikian, realita bahwa ada frater yang akhirnya keluar entah karena alasan apapun, dicoba-pahami sebagai jalan-jalan Tuhan. Atas belbagai uraian di atas dapatkah dibenarkan anggapan, atau kesimpulan demikian. Benarlah pada dasarnya sebagai makhluk religius manusia selalu akan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang melebihi fakta empiris/yang dapat ditangkap dengan panca indera. Namun cara berkesimpulan demikian hendaknya perlu dipahami dalam konteks yang lebih manusiawi. Sebab dengan berpikir dan berkesimpulan demikian (bahwa yang tertahbis adalah yang dikehendaki Tuhan) secara tak langsung dapat menunjuk pada mereka yang gagal dalam pendidikan calon imam sebagai yang tak dikehendaki Tuhan untuk menjadi imamNya. Dengan demikian pula, kita merumuskan Allah sebagai yang mengkotak-kotakkan ciptaan, ada yang diciptakan untuk memenuhi kehendakNya dan ada yang diciptakan untuk tidak memenuhi kehendakNya.

Berdasarkan perspektif bahwa segala realita dunia ini, apapun itu merupakan prinsip kesempurnaan dari kerja alam, maka entah tertahbis atau tidak (gagal), merupakan prinsip kerja alam. Tuhan tak pernah memberi penggolongan terhadap bentuk kehendakNya, bahwa untuk bentuk kehendak A hanya diperuntukkan bagi kelompok A, sehingga siapapun jika tak masuk dalam kelompok A meski telah bersusah payah berusaha tidak akan dapat mencapai kehendak A itu. Secara pribadi saya tak habis pikir jika Tuhan yang selama ini saya imani ternyata demikian adanya.

Realitas tertahbis atau tidak merupakan fakta alam yang tak ada sangkut pautnya dengan kehendak subyektif Tuhan. Saya sangat yakin bahwa Tuhan tidak demikian semena-mena terhadap ciptaanNya. Tuhan memiliki kehendak yang satu, dan universal serta mutlak. Apakah kehendak satu, universal dan mutlak itu? Yakni bahwa ciptaan (manusia, hewan dan tumbuhan dan benda-benda mati) bekerja sebagaimana prinsip kerja yang telah Tuhan ciptakan. Di situlah letak kehendak Tuhan. Tuhan tak pernah membelokkan sebuah prinsip alam tertentu demi kehendakNya agar seorang frater harus (mau tidak mau) ditahbiskan karena saya lebih menghendaki dia ketimbang sahabatnya. Demi seorang frater A itu, Tuhan membuat pesawat yang ia tumpangi tidak mengalami musibah meski telah kehabisan bahan bakar sewaktu di udara. Demi sorang imam/pastor A, Tuhan rela menghentikan banjir besar agar sewaktu ia melintasi sungai itu imam/pastor itu tidak hanyut terbawa arus sungai. Demi seorang Uskup A, Tuhan membuat perut seekor ikan paus tidak bekerja baik karena Tuhan menghendaki uskup A itu tetap hidup. Tuhan tidak demikian. Prinsip alam tetap berlaku bagi siapapun, dan bekerjanya prinsip alam itu apa adanya-lah gambaran bahwa Tuhan itu menciptakan dengan sempurna (baik adanya). Apakah demi seorang frater A yang berkaul, Tuhan membuat fungsi seksual pada tubuhnya tidak berfungsi, dengan alasan karena Tuhan menghendakinya kelak ditahbiskan menjadi imamNya.

Dan agar si frater B tidak tertahbis karena Tuhan tak menghendakinya tertahbis, maka Tuhan membuat nafsu birahinya tiba-tiba meledak-ledak dan menyebabkannya mati jika tak berhubungan badan? Tentu tidak. Atau karena Tuhan tak menghendaki si frater C menjadi imam maka Tuhan membuatnya berkeinginan kuat untuk memiliki HP sedangkan aturan komunitas melarang penggunaan barang tersebut? Tentu tidak. Atau karena si imam/pastor B yang tidak lagi dikehendaki Tuhan untuk tetap menjadi imamnya, maka Tuhan membuatnya tiba-tiba mengalami gagal ginjal yang parah yang fatal? Tentu tidak. Pun dalam sebuah mobil yang ditumpangi oleh tiga orang biarawan yang mengalami kecelakaan dan menewaskan dua biarawan lainnya adalah indikasi bahwa Tuhan lebih menghendaki satu biarawan itu untuk tetap hidup dan menjadi biarawanNya ketimbang dua temannya? Tentu tidak.

Lantas bagaimana memahami semua itu? Pertama-tama perlulah kita kembali mengenali setiap prinsip kerja alam bahwa satu ditambah satu sama dengan dua. Tertahbis atau tidak tertahbis tetap memuat prinsip kerja alam ini yakni satu ditambah satu sama dengan dua. Fakta bahwa, seorang frater yang mengikuti setiap aturan biara/komunitas dengan baik akan mendapatkan hasil sebagaimana satu ditambah satu sama dengan dua. Fakta jugalah bahwa, seorang frater yang kedapatan menggunakan HP akhirnya diminta untuk mengundurkan diri. Prinsip satu ditambah satu sama dengan dua berlaku juga dalam kasus ini. Setiap prinsip adalah baik adanya dan sempurna, sebagaimana satu ditambah satu sama dengan dua, satu ditambah dua sama dengan tiga, tiga ditambah empat sama dengan dua belas. Hasil itu mutlak dan baik adanya, itulah kesempurnaan ciptaan itu. Dan tak ada kualifikasi bahwa penjumlahan yang menghasilakan bilangan dua adalah lebih baik dari hasil penjumlahan yang menghasilkan bilangan tiga. Atau hasil penjumlahan yang menghasilkan bilangan empat lebih baik dari pada penjumlahan yang menghasilkan bilangan lima dst. Demikian juga berlaku bagi realita tertahbis atau tidak.

Prinsip kerja alam yang membuahkan seorang tertahbis adalah sama baiknya dengan prinsip kerja alam yang membuat seorang akhirnya tidak tertahbis. Prinsip kerja alam yang membuat seorang pastor/imam selamat dalam sebuah kecelakaan mobil sama baiknya dengan prinsip kerja alam yang membuat dua orang imam lainnya meninggal. Tak ada yang lebih baik atau lebih buruk dari kedua fakta yang kontras itu. Dari sini saya mengajak untuk perlunya kembali merenungkan sebuah kesimpulan bahwa sebuah keberhasilan atau kegagalan adalah yang Tuhan kehendaki bagi saya secara khusus. Jika pembahasaan itu menunjuk pada prinsip kerja alam yang sempurna tak ada salahnya, namun naif-lah bila pembahasaan itu merujuk pada anggapan bahwa keberhasilan saya lebih baik karena dikehendaki Tuhan ketimbang kamu. Karena itu wajarlah bila kamu mengalami kegagalan. Maka kembali lagi diperlukan pemurnian diri dari pengaruh konsep baik dan buruk yang egois itu.

Lalu apakah Tuhan sama sekali tidak bertindak dalam jalan yang tampak begitu religius dan luhur itu? Tindakan Tuhan tidak seperti sebagaimana yang kita pikirkan dan kehendaki. Tindakan Tuhan itu adalah kebaikan yang satu, kebaikan yang universal dan kebaikan yang mutlak. Seorang tertahbis atau tidak tetap menampakkan kebaikan Tuhan yang satu, yang univeral dan yang mutlak itu.

Jika demikian pemahaman mengenai seorang tertahbis atau tidak, bagaimana kita bisa memahami sebutan imamat sebagai panggilan Tuhan atas diri seorang manusia? Atau bagaimana memahami sebutan imamat sebagai rahmat Tuhan? Bagaimana memahami Sabda Yesus “Bukan kamu yang memilih Aku melainkan Akulah yang memilih kamu”. Pertama-tama perlu kita menyadari hakekat religiositas kita sebagaima makhluk manusia, yang selalu menghubungkan dirinya dengan Sang Pencipta, apapun namanya. Jika hendak mengulas kembali bagaimana para filsuf Yunani kuno (Aristoteles, Plato, Plotinos, Parmenides dll) mencoba menalar Tuhan itu, maka kita akan menemukan bahwa segala hal ikhwal di dunia ini memiliki satu sumber utama, yang mutlak, dan universal. Kajian ini membuat manusia tertarik untuk mendekati yang sempurna itu. Karenanya segala bentuk upaya yang membuat dirinya semakin mendekati yang sempurna itu akan dilakukannya. Sebutan bahwa seorang tertahbis akhirnya disebut sebagai yang menerima rahmat panggilan khusus itu mendasarkan pembahasaannya pada kecenderungan manusiawi ini, yakni setiap manusia adalah makhluk religius yang condong untuk menghubungkan dirinya dengan Sang Pencipta dan mengarahkan diri untuk mendekatiNya. Atas pemahaman bahwa ada sesuatu yang Baik yang Universal dan Mutlak-lah yang membuat makhluk manusia memiliki kualifikasi-kualifikasi itu.

Lalu bagaimanakah kita memahami bahwa “Bukan kamu yang memilih Aku melainkan Akulah yang memilih kamu?” Tentu pernyataan Yesus ini harus dilihat dalam konteks-konteks tertentu yang dapat ditelaah melalui metode-metode tertentu dalam kajian eksegese. Namun kerap manusia beriman (kristen) memahami ini sebagai panggilan khusus orang-orang tertentu yang dikehendaki Tuhan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu sesuai dengan yang dikehendakiNya. Saya tak akan membahas lagi mengenai bekerjanya prinsip-prinsip alam, melainkan yang hendak saya tekankan adalah mengenai universalitas kehendakTuhan dalam tata ciptaanNya. Di manakah ke-universalitasan dari kehendak Tuhan itu? Cinta adalah wujud universalitas kehendak Tuhan itu. Cinta yang terwahyukan dalam diri manusia yang memungkinkan manusia mengetahui suatu tindakan itu terkategori baik dan buruk/jahat. Cintalah yang membuat manusia memiliki kriteria moral atas setiap tindakannya. Mengapa Tuhan mengintervensi ciptaanNya sedemikian?, sebab Tuhan melalui ciptaanNya mau berbagi hakekat diriNya, Tuhan melalui ciptaanNya mau menularkan esensi dari keberadaanNya. Karenanya, seorang yang berzinah (pelacur) tak menyebut profesi itu sebagai bentuk panggilan Tuhan yang Tuhan kehendaki pada dirinya. Atau menyebut bukan aku yang memilih menjadi pelacur, melainkan Dialah yang memilih aku menjadi pelacur, tidak demikian.

Sehingga intervensi Tuhan dalam bentuk Cinta yang atas Cinta itupula manusia tertarik menanggapinya, yang dapat diartikan sebagai “bukan kamu yang memilih Aku melainkan Akulah yang memilih kamu”, tanpa intervensi Cinta tak mungkin akan ada pernyataan demikian dari Yesus sang Cinta itu. Dengan demikian seorang suami yang baik, seorang frater yang baik yang akhirnya tertahbis, dengan bangga menyebut bentuk hidupnya itu sebagai panggilan khusus Tuhan baginya. Kualifikasi baik dalam tindakan manusia yang hendak disejajarkan dengan kualitas baik dalam diri Tuhan-lah yang memungkinkan manusia bisa berkata bahwa ini rahmat Tuhan bagi saya.

Keberadaan Sebagai Rahmat Allah

Tentang manusia sebagai ekspresi kesempurnaan, kita akhirnya tidak lagi patut untuk bertanya mengapa manusia harus diciptakan di dunia ini dengan seabrek fakta ciptaan yang dihiasi oleh prinsip-prinsipnya. Selain karena pertanyaan itu sia-sia dan membuat kita justru semakin tertinggal untuk mengagumi dunia ciptaan ini, pertanyaan ini tak membawa kita sampai pada kesadaran bahwa keberadaan adalah rahmat Allah yang sangat nampak.

Saya kini dapat memahami keberadaan saya sebagai fakta alam, sebagai hasil bekerjanya prinsip alam. Yakni bahwa saya adalah buah dari persatuan kromoson dari sperma dan sel telur. Saya terbentuk dari sel yang merupakan buah dari menyatunya sel telur dan sperma, yang di dalamnya tersertakan pelbagai gen hasil bentukan atau evolusi selama bertahun-tahun. Saya memahami keberadaan saya sebagai hasil dari kerja alam tersebut. Dan cara kerja alam kini menghasilkan saya sebagai sosok manusia yang seperti ini; dengan rambut ikal, hidung yang cukup mancung, kulit sawo matang, berpostur tinggi seukuran normal orang asia, dan pelbagai ciri fisik maupun psikis yang lainnya.

Namun yang saya tidak bisa pahami adalah mengapa harus ada makhluk manusia, atau mengapa harus ada kelahiran, mengapa harus ada ciptaan. Saya tak hendak mempermasalahkan mengapa Tuhan menciptakan (atas dasar kasih) jika yang hadir akhirnya penderitaan, bukan. Saya hanya tak paham akan penjelasan bahwa kasihlah dasar Tuhan menciptakan. Ketakpahaman saya ini tidak mengantar saya pada penyangkalan hakekat Tuhan yang adalah Kasih itu. Namun bergulat dalam pertanyaan filosofis ini justru hanya akan mengantar kita pada kebutaan akan rahmat Allah. Yang jelas adalah saya bersyukur bahwa kehadiran saya sebagai fakta alam adalah bentuk ekspresi dari Dia yang sempurna itu. Saya bersyukur menjadi bagian dari fakta alam di mana di dalamnya terekspresikan dengan jelas kemahakuasaan, kemahasempurnaan Tuhan. Saya tak memiliki jawaban (bukan berarti tak ada jawaban) tentang mengapa harus saya (=manusia) yang diciptakan Tuhan, atau mengapa alam ini yang diciptakan Tuhan. Sebab saya hanya bisa memahami Tuhan dari apa yang terekspresikan (yang nampak dari dalam ke luar). Karenanya saya bersyukur atas keberadaan saya, atas bisa-nya saya mengambil bagian dalam kesempurnaan Tuhan itu.

Dari sini, hal utama yang hendaknya dipegang oleh setiap umat beriman dalam memahami ciptaan adalah menyadari keberadaan itu sebagai rahmat Allah, sadari segala hal ikhwal tentang dunia sebagai bagian kemahakuasaan Tuhan/ekspresi IlahiNya. Sehingga adanya gempa bumi perlu dipandang sebagai bukti bahwa Allah bekerja secara sempurna dalam lempengan bumi, adanya kelahiran sebagai bukti bahwa Allah bekerja secara sempurna dalam setiap sel telur dan sel sperma, adanya kematian sebagai bukti bahwa Allah bekerja secara sempurna dalam susunan syaraf makhluk hidup, dll. Dan halangan terbesar dari mengagumi kesempurnaan Tuhan adalah egoisitas baik dan buruk. Kita cenderung memahami kesempurnaan/setuju dengan konsep kesempurnaan yang sesuai dengan harapan subyektif kita. Yang baik menurut saya sajalah yang menggambarkan Kesempurnaan Tuhan itu.

Kesempurnaan Tuhan Melampaui Pemahaman Subyektif

Jika demikian baiklah sekarang kita harus beranjak lebih jauh untuk menyadari bahwa kesempurnaan Tuhan harus dipahami sebagai kesempurnaan yang melewati batasan-batasan kemanusiaan pribadi manusia. Kesempurnaan Tuhan pun perlu dilihat sebagai kesempurnaan universal, yang melulu tidak berhenti pada pemahaman subyektif. Sebuah tragedi gunung meletus pada hakekatnya adalah bentuk kesempurnaan kerja ciptaan, yang nota bene merupakan ekspresi dari yang menciptakannya. Dan karena pemahaman subyektif yang sempit itu manusia jatuh pada keluhan tentang “tidak bisakah Tuhan bertindak untuk tidak menghentikannya, karena saya sekarang menderita?”. Sedangkan pada prinsipnya fakta gunung meletus, kematian, sakit, frustasi, serta apapun fakta alam, adalah bukti dari kesempurnaan ciptaanNya. Dan sekali lagi kita menilai itu sebagai yang negatif karena kita jatuh pada pandangan baik dan buruk tadi.

Perlu dilihat lebih jauh lagi, bahwa kesempurnaan itu tidak mentok pada apa yang kita pikirkan sebagai baik dan buruk menurut yang subyektif saja, melainkan sebaliknya. Fakta alam/hasil kerja alam ciptaan yang demikian, misalnya Tsunami, akhirnya menampakkan banyak fakta alam ciptaan yang lain entah itu yang oleh manusia nanti dalam kajian moral disebut sebagai tindakan baik dan tindakan buruk. Dalam sebuah tragedi kecelakaan prinsip alam bekerja tidak hanya dalam satu sisi saja. Seorang yang tertabrak sepeda motor akhirnya mengalami pendarahan hebat, di situ tampak bahwa fungsi syaraf bekerja secara sempurna, prinsip mekanik pada mesin motorpun berjalan sesuai hukum fisika, dll adalah bekerja secara sempurna. Tidak sampai disitu, keterlibatan manusia lain untuk menolong, mengantar yang tertabrak ke rumah sakit, ada fakta orang menangis, menyumbang, ada yang berteriak minta tolong, dll harus juga dipahami sebagai kerja prinsip alam yang sama sempurnanya. Sehingga kesempurnaan Tuhan tidak berhenti untuk setiap hal yang secara moral terkaji atau terdefinisikan sebagai yang baik menurut ukuran saya saja. Dan sekali lagi perlu ditekankan bahwa kesempurnaan ciptaan hanyalah ekspresi dari kesempurnaan yang Ilahi/Tuhan itu. Apa yang terekspresi tidak dapat menggambarkan secara mutlak dan tepat apa yang sebenarnya.

Hadirnya ribuan bahkan jutaan orang untuk turut berprihatin dan menolong para korban bencan alam adalah gambaran real betapa sempurnanya kerja alam ciptaan dalam diri manusia-manusia itu. Fakta bahwa panca indra merespon sebuah realitas berdasarkan kerja susunan syaraf pusat dan mengubahnya menjadi tanggapan berupa tindakan menolong, membantah, dll adalah bukti bahwa ciptaan apapun itu memiliki prinsip kerja yang sempurna adanya. Seorang yang lapar akhirnya makan, merupakan fakta alam, merupakan prinsip kerja alam. Caranya dia makan dengan mencuri makanan milik orang lain juga adalah prinsip kerja alam. Bagaimana itu dapat dijelaskan? Manusia A mengambil makanan yang bukan miliknya adalah perbuatan berdasarkan kerja dari susunan syaraf manusia itu, yang terbentuk berdasarkan latar belakang genetis maupun lingkungan tertentu yang akhirnya membentuk rasionya sedemikian rupa sehingga pada suatu waktu menghasilkan perbuatan mengambil barang yang bukan miliknya. Cara kerja alam itu sempurna adanya.

Jika semua hal-ikhwal yang berhubungan dengan dunia ini apapun adalah fakta penciptaan, adalah prinsip kerja alam yang sempurna, maka apakah “dosa” pun merupakan prinsip kerja alam yang sempurna, sehingga kita tak harus berisau-risau tentang dosa dan melecehkan karya penyelamatan Tuhan?

Dosa Sebagai Fakta Kesempurnaan Ciptaan?

Benarlah segala hal yang bernama ciptaan ini dapat diterangkan dengan sebuah kesimpulan bahwa itu adalah prinsip kerja alam yang menampakkan kesempurnaanNya. Apapun; mencinta, berdusta, berkhianat, menyangkal, menolong dll entah tindakan/prilaku manusia ataupun hukum-hukum alam adalah fakta-fakta yang menunjukkan ciptaan yang bekerja secara sempurna. Dengan demikian jalan pemikiran logis yang diambil sesudahnya adalah: adanya fakta dosa adalah bukti kesempurnaan Tuhan dalam alam ciptaan ini. Manusia berdosa adalah tanda kesempurnaan ciptaan. Bahwa seorang suami mampu untuk selingkuh adalah fakta kesempurnaan baik secara psikis maupun biologis. Justru menjadi pertanyaan jika seorang suami/istri tidak mampu berselingkuh. Jika demikian apa relevansi penyelamatan Tuhan bagi manusia. Karena toh segalanya adalah prinsip kerja alam yang tak bisa dipersalahkan, demikianlah seharusnya ciptaan mengada diri.

Baik sebelum membahas relevansi penyelematan, perlu dipahami apa itu dosa. Dosa adalah sebuah pembahasaan orang beriman dalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Hanya yang berelasi dengan Sang Pencipta sajalah yang dapat mengutarakan sebuah tindakan terkategorikan sebagai dosa atau bukan. Mengapa demikian? Perlu diketahui kembali bahwa fakta membunuh tidak bisa dipandang sebagai tindakan dosa jika pandangan tentang yang baik dan yang jahat itu tidak ada. Tindakan membunuh akan dilihat sebagai gejala manusiawi yang terjadi akibat susunan syaraf dan prinsip kerja kehidupan bahwa yang hidup tentu bisa mati dan ada kemungkinan untuk mati. Tidak terdapat kualifikasi baik dan buruk dalam tindakan membunuh. Seekor singa tidak memandang tindakan menerkamkancil sebagai tindakan buruk, karena pada dasarnya tindakan menerkam adalah tindakan sebagai hasil kerja susunan syarafnya. Dan itu sangat sesuai dengan prinsip kerja ciptaan. Demikianlah tindakan membunuh hanya terkualifikasi ke dalam sebutan tindakan berdosa karena manusia mendasarkan dirinya pada Tuhan sebagai Sang Pencipta. Dan hanya manusia yang mampu memiliki dan memilah tindakan dalam kualifikasi-kualifikasinya.

Dan perlu diingat sebagaimana dipaparkan pada bagian awal paper ini, bahwa manusia adalah makhluk religius yang selalu menghubungkan realitas dirinya dengan sang Pencipta/Tuhan. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hubungan inilah yang membuat manusia memiliki pelbagai kualifikasi baik dan buruk dalam setiap prinsip kerja alam. Prinsip kerja alam yang pada hakekatnya adalah baik dan merupakan ekspresi kesempurnaan itu, oleh manusia diberi tekanan berbeda. Di sinilah letak keunikan manusia sebagai ciptaan. Intervensi Tuhan yang membuahkan relasi dengan manusia-lah yang membuat akhirnya dunia mengenal apa itu baik dan apa itu buruk. Karya Tuhan melalui rasionalitas manusia – yang oleh Thomas Aquinas disebut sebagai Rahmat Ilahi – itulah yang membuat pelbagai peraturan moral, kajian moral ada dan menjadi kriteria baik dan buruknya sebuah tindakan. Dari sini manusia akhirnya berkata bahwa adanya kualifikasi perbuatan disebut baik dan buruk adalah cirikhas manusia yang merupakan anugerah Tuhan (Rahmat Ilahi). Fakta bahwa manusia bisa untuk berkata A (tidak benar) dan fakta bahwa manusia mampu berkata B (benar) adalah cermin kesempurnaan ciptaan; dua kekuatan yang berfungsi secara sempurna. Tidak ada yang salah dalam prinsip itu. Namun dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia beriman menyadari bahwa Tuhan mewahyukan diriNya dalam rasionalitas manusia, dalam kehendak manusia, yang memungkinkan manusia mengenal apa yang baik dan apa yang buruk. Dan membentuk kriteria-kriteria moral untuk mengarahkan hidupnya pada arah yang baik itu. Karya Tuhanlah yang mampu membuat manusia berbeda dengan binatang. Maka manusia memiliki dua kesimpulan sederhana tentang Tuhan: 1) Tuhan secara sempurna bekerja dalam makhluk ciptaan, yakni dalam prinsip-prinsip kerja yang sempurna itu. 2) Dalam diri manusia Tuhan tidak hanya sekedar bekerja dalam prinsip alamiahnya, namun mewahyukan diri dalam rasionalitasnya untuk memberi pencerahan dan membentuknya memiliki kriteria moral antara yang baik dan yang jahat. Hanya atas dasar pola pikir seperti inilah kita dapat berbicara tentang relevansi keselamatan.

Yohanes Susanto

25 Mei 2009

[1] Lih. Magnis S. Franz. Menalar Tuhan. Kanisius 2006. hlm.17.

[2] Seorang Dosen Etika di Unika Atma Jaya Jakarta, juga berkerja sebagai dosen tetap di Universitas Kristen Indonesia. Dr. Theo Huijbers berkebangsaan Belanda yang telah menulis banyak buku mengenai filsafat: Manusia mencari Allah, suatu filsafat ketuhanan (1982), Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (1982), Manusia merenungkan dunianya (1986), dan Filsafat Hukum (1990).

[3] Lih. Huijbers Theo. Mencari Allah. Pengantar ke dalam filsafat ketuhann. Pustaka Filsafat. Kanisius 1992. hlm. 115.

[4] Jalan Pertama; argumen berdasarkan gerak. Jalan kedua; argumen berdasarkan penyebab efisien. Jalan ketiga: argumen berdasarkan kemungkinan dan keniscayaan. Jalan keempat: argumen berdasarkan tingkat kesempurnaan. Jalan kelima: argumen berdasarkan ketertiban alam semesta. Lima penjelasan tentang eksistensi Tuhan yang dikemukakan oleh Aquinas memiliki dua karakteristik dasar: 1) kelimany berawal dari atau berdasar pada pengalaman inderawi, dan 2) semua bersandar pada kekuatan prinsip kausalitas. Selanjutnya, tiga jalan yang pertama sebenarnya tidak secara meyakinkan meyakinkan berakhir pada konsep Tuhan yang personal. Tetapi hal ini sebenarnya membuktikan bahwa Aquinas menghubungkan secara tak terpisahkan filsafat dengan pengertian Tuhan menurut imannya. Dan kelima jalan itu dikemukakan dalam konteks teologi. (Catatan Kuliah Selasa 28 April 2009. Mata Kuliah Filsafat Abad Pertengahan oleh Dosen: Pst. Yong Ohitimur MSC)

[5] (1). Argumen mengenai eksistensi Allah. Argumen ini dimulai dari fakta-fakta mengenai alam semst yang diamati, seprti gerak, sebab, kontingensi, keteraturan. Berdasarkan fakta ini orang sampai pada kesimpulan bahwa Allah ada sebagai asalmula dan dasar bagi fakta-fakta ini. Berdasarkan itu pula Allah disebut “penggerak pertama”, “penyebab pertama”, “ada yang niscaya (mutlak)”, “pengatur”. Mulai dari suatu analisis tentang eksistensi segala sesuatu ke eksistensi Allah dan ke salah satu atribut Allah atau lebih. (2) Argumenkosmologis dapat mengacu pada setiap argumen mengenai eksistensi Allah yang didsasarkan atas hakikat alam semesta yang diasalkan dan atergntung pada sesuatu yang lain dari dirinya sendiri; yang didsasrakan atas kontingensi alam semsesta dan ketergantungannya pada apa yang niscaya (Allah). Dalmhalini Allah diterima sebagaiyangmemulai, menunjan danmemeliharanya. Semua argumen kosmologis menekankan: a) kegiatan dari apa yang niscaya yang tidak kelihatan dan b) bahwa ada yang niscaya (Allah) itu berbeda dari alam semesta dalam ciri-ciri pokok. Allah tidak tergantung, sedangkan alam semesta tergantung pada Allah. Allah menggerakkan diri sendiri, sedangkan alam semdsta mempunyai gerak yang diberikankepadanya. Allah itu kekal, sedangkan alam semesta mempunyai awal dalam waktu. Allah itu aktual pada dirinya, sedangkan alam semesta berada dalam suatu keadaaan potensial yang diaktualkan sebagaian dalam waktu. allah tidak dapat diubah, sedangkan alam semesta berada dalam suatu perubahan terus menerus. Lih. Bagus Lorens dalam Kamus Filsafat. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2002.

[6] Bukti/argumen kosmologis bertolak dari rasa heran tentang dunia: Manusia yang mengamati dunia ini lalu merenungkannya, dapat sampai pada pertanyaan yang fundamental: mengapa dunia ini ada, mengapa tidak tidak ada? Ternyata dunia ini ada, tetapi apa sebabnya; mana syarat-syarat adanya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini merenagkan bahwa manusia tidak puas dengan kenyataan-kenyataan sebagaimana adanya. Dengan kata lain: manusia tidak melihat alasan yang cukup sehingga dunia ini ada, jika manusia hanya melihat kenyataan-kenyataan saja.Dalam situasi semacam ini, seorang yang menjujunjung tinggi daya pikri, akan menyimpulkan bahwa jika dasar adanya sesuatu hal tidak ditemukan dalam hal itu sendiri, maka pastilah ada yang mendasari dan hal itu bereksistensi secara lain. Yang lain itulah yang mempunyai dasar adanya dalam diri sendiri. dan yang Ada itulah yang akhirnya didefinisikan sebagai Yang Mutlak: Allah. Bdk. Huijbers Theo. Mencari Allah. Pengantar ke dalam filsafat ketuhann. Pustaka Filsafat. Kanisius 1992. hlm. 116-17.

[7] Ibid. hlm 116

[8] Arti terjemahan kata ini ke dalam bahasa inggris sampai saat ini masih dalam perdebatan (dua calon terjemahan yang paling mendekati adalah pre-apprehension (pra-pemahaman) dan anticipation (antisipasi).

[9] Karen Kilby. Rahner Karl. Tokoh Pemikir Kristen.Editor Seri: Peter Vardy. Kanisius2001. hlm. 18.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun