Bahaya Perang Nuklir bagi Peradaban
Penggunaan nuklir untuk peperangan pertama kali tercatat dalam sejarah pada Perang Dunia II. Kala perang dimulai memang belum ditemukan senjata nuklir, namun ketika Jepang luluh lantak dihantam bom atom, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir (Baum, 11/05/2022). Periset dari Global Catastrophic Risk Institute yang berbasis di Amerika Serikat, Seth Baum menyampaikan bahwa dampak dari penggunaan nuklir dalam peperangan sulit untuk bisa diprediksi secara presisi (BBC, 11/05/2022). Sulitnya memprediksi dampak nuklir ini dikarenakan minimnya data yang bisa membantu perhitungannya. Baum (BBC, 11/05/2022) mengungkapkan bahwa satu-satunya data yang dimiliki adalah data bom Nagasaki dan Hiroshima, yang terjadi hampir 77 tahun yang lalu dan menjadikannya data yang kurang valid. Satu yang bisa dipastikan adalah nuklir yang meledak akan menghancurkan peradaban dengan dampak kehancuran yang berbeda-beda di tiap radiusnya. Kondisi ini jelas tidak main-main.
Dalam perspektif kajian Hukum Humaniter Internasional, Penasihat Hukum International Committee of the Red Cross (ICRS) Christian Donny Putranto pernah menyampaikan dalam sebuah webinar di tahun 2020 bahwa kepemilikan senjata nuklir jelas melanggar tiga prinsip Hukum Humaniter Internasional, yaitu precautions, distinction serta proportionality (Hernawan, 31/08/2020). Oleh karena ancamannya bagi keselamatan penduduk dunia sangatlah besar, maka senjata nuklir sudah sepatutnya tidak lagi dipermaklumkan sebagai alat mempertahankan kedaulatan sebuah negara.
Dari perspektif Hukum Internasional, beberapa perjanjian antar negara tentang pengurangan senjata strategis memang telah banyak ditandatangani. Dari contoh kasus Perang Dingin Amerika Serikat -- Rusia saja sudah ada dua kesepatan yang pernah ditandatangani, yaitu the Strategic Arms Reduction Treaties, yang disingkat START I (1991) dan START II (1993) (Cahyo Utomo, 2011). Namun, oleh karena strategi proxy war masih terus berjalan maka celah pengadaan senjata nuklir tetap terbuka lebar, seperti pada kasus Korea Selatan -- Korea Utara. Â
Negara Republik Indonesia sendiri telah menyatakan pendiriannya terkait senjata nuklir pada forum International Conference on Nuclear Security (ICONS 2024) di Wina, Austria tanggal 20-24 Mei 2024 silam. Dalam forum tersebut, delegasi Republik Indonesia menegaskan bahwa perlucutan senjata nuklir adalah kunci menjaga keamanan penggunaan nuklir di dunia (kemlu.go.id, 23/05/2024). Oleh karena itu, untuk mencapai kesepakatan bersama menjaga keamanan nuklir dunia, maka memperkuat kerjasama melalui berbagai forum antar negara adalah langkah paling strategis.
Mencegah Peradaban Meluncur Menuju Malapetaka
Nuklir merupakan pedang bermata dua. Penemuan dan pemanfaatannya sebagai tenaga pembangkit pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan warga dunia. Namun, dibalik semua itu, nuklir punya dampak serius bagi manusia dan lingkungannya. Sekali saja meledak, maka peradaban dunia akan meluncur menuju malapetaka. Oleh karena itu, para stakeholder perdamaian dunia perlu merumuskan secara serius tentang perlucutan senjata nuklir, mengingat tensi di Semenanjung Korea yang kian meningkat.
Sejarah telah mengajarkan, kerusakan karena penggunaan senjata nuklir harus ditebus tidak hanya dengan materi semata, namun juga tangis, darah, rasa sakit dan hancurnya generasi penerus. Pastinya penduduk dunia bukanlah keledai yang mau jatuh dua kali pada ceruk lubang yang serupa. Kiranya manusia zaman sekarang, yang memiliki akses informasi tak terbatas, mampu membuka mata (hati) untuk melihat bahwa senjata nuklir bukan jawaban dari upaya mempertahankan kedaulatan. Lebih dari itu, nuklir adalah pemusnah massal dan tak ada alasan kuat untuk mempergunakannya terus menerus sebagai senjata. Taka ada bukti bahwa perdamaian lahir dari hulu ledak nuklir. Â Â
Referensi
Arms Control Association. (Juni 2024). Arms Control and Proliferation Profile: North Korea. https://www.armscontrol.org/factsheets/arms-control-and-proliferation-profile-north-korea. Diakses 12 Agustus 2024.
Armstrong, Charles K. (2005). Divided Korea at Sixty. History Compass Volume 3, Edisi 1, 1-5. https://doi.org/10.1111/j.1478-0542.2005.00104.x.