Mohon tunggu...
Yohanes De Britto Wirajati
Yohanes De Britto Wirajati Mohon Tunggu... Penulis - Dosen Jurusan Seni Murni FSRD ISI Surakarta

Dosen/Peneliti/Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Orang-orang Tionghoa dan Peranakannya di Indonesia Era Orde Baru

29 Oktober 2020   22:46 Diperbarui: 29 Oktober 2020   22:54 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ben Anderson dan Kajian Peranakan

Dalam artikelnya yang berjudul "Tjino' di Indonesia", Ben Anderson memaparkan analisanya tentang akar dari tindakan diskriminatif dan kekerasan fisik yang dialami oleh orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia. Ben mengawali uraiannya dengan menuliskan, secara historis, posisi dari orang-orang Tionghoa dalam masyarakat di Indonesia melalui sebuah pembedaan dengan kondisi di Filipina.

Pada dasarnya, diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia dan Filipina berakar kepada perasaan terancam dan sekaligus ketergantungan Kumpeni (penjajah) terhadap mereka. Perasaan terancam muncul akibat jauhnya kampung halaman para Kumpeni dengan daerah jajahan mereka. 

Namun Kumpeni juga bergantung pada orang-orang Tionghoa dalam rangka meramaikan pusat-pusat perdagangan mereka di tanah jajahan. Kondisi tersebut kemudian membuat Kumpeni harus mengawasi betul aktifitas orang-orang Tionghoa demi kelancaran kepentingan Kumpeni di tanah jajahan.

Perbedaan muncul terkait masalah peranakan Tionghoa di Indonesia. Menurut Ben,  diskriminasi serta kekerasan yang dialami orang-orang Tionghoa dan peranakannya di Indonesia memiliki ciri khusus yang berbeda dengan di Filipina. Ciri khusus ini muncul akibat cara pandang Kumpeni Belanda terhadap orang-orang Tionghoa dan peranakannya itu. 

Didasari oleh  "alergi" Kumpeni Belanda terhadap segala macam percampuran, peranakan orang Tionghoa, yang lahir melalui perkawinan campur antara laki-laki Belanda dengan perempuan Tionghoa, statusnya bergantung pada mau atau tidaknya sang Ayah Belanda mengakuinya sebagai keturunannya. Hal ini kemudian menjadi hukum di tanah jajahan.

Selain hukum status peranakan, Kumpeni Belanda juga melakukan sistem ghettoisasi terhadapa orang-orang Tionghoa. Sistem tersebut dilakukan untuk memperkecil kemungkinan orang-orang Tionghoa beraliansi dan berasimilasi dengan pribumi. 

Bersatunya orang-orang pribumi dengan orang-orang Tionghoa tentunya akan sangat berbahaya bagi kepentingan Kumpeni Belanda, yang jumlah orangnya di tanah jajahan lebih sedikit. Orang-orang Tionghoa itu diatur sedemikian rupa supaya tidak melestarikan budaya Tionghoa (tidak boleh menyelenggarakan sekolah), namun juga dicegah untuk menyatu dengan pribumi, mereka dibentuk untuk menjadi "bantji" dalam berbagai aspek sosial.

Sebagai pembanding, diskrimansi dan kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa (disebut Sangley) di Filipina tidak sampai berimbas kepada keturunan mereka, yang lahir dari pernikahan antar etnis. Kelompok orang-orang peranakan yang disebut "mestizo" ini memiliki hak dan status yang berbeda di mata Kumpeni Spanyol di Filipina. 

Orang "mestizo" yang dibesarkan dalam budaya agama Katholik milik Ibunya (non Tionghoa) tidak lagi memahami budaya Tionghoa, bahkan tidak dapat berbahasa Tionghoa. Melalui mekanisme ini masyarakat Tionghoa atau Sangley tersebut dibatasi populasi dan gerak-geriknya.

Mata Rantai Kekerasan Terhadap Tionghoa Peranakan

Diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh orang-orang Tionghoa dan peranakannya di Indonesia pada zaman Kolonial, menurut Ben, muncul kembali di era Orde Baru. Dengan mekanisme yang masih sama persis dengan politik kolonial akhir abad 19, orang-orang Tionghoa dan peranakannya dibatasi ruang geraknya. Mereka di-bantji-kan kembali oleh pemerintahan Orde Baru.

Sebelum membahas lebih jauh tentang diskriminasi dan kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa dan peranakannya di era Orde Baru, hal pertama yang harus diingat adalah Orde Baru itu sendiri merupakan sebuah rezim pemerintahan yang lahir setelah terjadinya sebuah peristiwa kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa. 

Siauw Giok Tjhan, dalam bukunya G30S dan Kejahatan Negara, menuliskan bahwa pasca tragedi G30S berkembang sebuah doktrin anti-Tionghoa. Doktrin tersebut berangkat dari sebuah logika bahwa RRT (Republik Rakyat Tiongkok) sebagai negara yang berhaluan komunis berada dibalik tragedi G30S. Oleh sebab itu orang Tionghoa (yang dianggap mendukung RRT) secara otomatis juga mendukung komunisme dan harus segera diganyang. 

Dalam konstruksi sosial yang seperti inilah Orde Baru lahir. Saya Shiraishi menyusun sebuah teori dalam bukunya Pahlawan-pahlawan Belia terkait lahirnya Orde Baru. Ia menuliskan bahwa Orde Baru lahir dari keterlambatan Sukarno untuk membahasakan tragedi G30S dengan bahasanya sendiri, sehingga kacaunya kondisi sosial dan budaya  saat itu dapat dimanfaatkan Suharto untuk membangun rezim Orde Baru dengan bahasanya yang membutuhkan bapak, yaitu bahasa kosong.

James Siegel dalam artikelnya yang berjudul Berbahasa menuliskan bahwa "Tidak punya "bahasa". Maka berdiri di luar dunia budaya dan sosial."(hlm. 341). 

Berkaitan dengan pendapat Siegel tersebut, dalam sebuah poster di ruang kelas Palma, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, saya pernah membaca bahwa "Cultures comes through language". Berdasarkan kedua teori itu, dapat dipahami bahwa bahasa memegang peranan penting dalam sebuah proses kebudayaan. Tanpa bahasa, maka manusia dapat terpisah dari kebudayaannya, atau bahkan tidak berbudaya.

Sesuai dengan logika tersebut, maka menjadi terang permasalahan, mengapa di era Orde Baru orang-orang Tionghoa dilarang menyelenggarakan sekolah dan mendirikan pers nya sendiri. Melalui sekolah dan pers, bahasa memegang peranan vital dalam proses penyampaian informasi dan pembentukan pemahaman bersama. 

Tentunya pemahaman bersama yang dimaksud disini berkaitan erat dengan konteks budaya yang melekat pada individu-individu yang hidup bersama tersebut. 

Sekolah Tionghoa dan Pers Tionghoa akan membuat akar budaya Tionghoa (terutama melalui penggunaan bahasa) di Indonesia dapat menguat dan terus lestari, sehingga kesadaran akan hak-hak mereka dalam lingkungan sosial, budaya, dan juga politik dapat muncul. Hal ini jelas sebuah ancaman bagi stabilitas pemerintahan Indonesia, dari kaca mata rezim Orde Baru. 

Oleh sebab itu, semasa rezim Orde Baru berkuasa, Orang-orang Tionghoa dan peranakannya dialienasi dari dunia politik dan pertahanan keamanan. Bahkan praktek kebudayaan mereka juga dilarang; seperti peringatan Hari Raya Imlek dan pertunjukan Barong Sai. Nama-nama Tionghoa juga harus dikonversikan ke nama-nama Indonesia.

Diskriminasi, kekerasan dan alienasi yang dialami oleh orang-orang Tionghoa dan peranakannya di Indonesia tidak hanya terjadi di awal kelahiran dan di era berkuasanya rezim Orde Baru.  Seno Gumira Ajidarma, dalam cerpennya yang berjudul "Clara", memotret bentuk-bentuk kekerasan (penganiayaan dan perkosaan) yang diderita orang-orang Tionghoa dan peranakannya sewaktu pecah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. 

Saat pecahnya kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, yang menandai runtuhnya pemerintahan rezim Orde Baru, orang-orang Tionghoa menjadi obyek pelampiasan dari kondisi frustasi dan depresi yang dialami oleh kelompok massa di Jakarta akibat krisis moneter. Orang-orang Tionghoa yang dicap sebagai orang kaya, akibat konstruksi sosial yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, dijarah harta bendanya, dibakar rumah dan tokonya, serta tak jarang diperkosa dan dianiaya sampai mati di tempat.

James Siegel, dalam tulisannya yang berjudul Pikiran-Pikiran Awal Tentang Kekerasan 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta mencoba untuk menelusuri munculnya sebab-sebab ideologis dari aksi kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa dan peranakannya pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. 

Menurut Siegel, pada akhir masa berkuasanya Orde Baru, orang-orang Tionghoa dan peranakannya tidak lagi diidentifikasi melalui tempat kelahiran, nama, ataupun bahasa yang mereka gunakan. Orang Tionghoa bukan berarti harus lahir di Tiongkok, memiliki nama Tionghoa, dan berbahasa Mandarin. 

Namun pertama-tama orang-orang Tionghoa adalah orang kaya. Jika seseorang dipandang kaya, memiliki kulit putih, dan bermata sipit maka orang-orang pribumi akan mengganggapnya Tionghoa. Hal ini dibuktikan dengan pengalaman Siegel mewawancarai orang-orang pribumi pasca kerusuhan Mei 1998. Seluruh narasumber yang diwawancarainya rata-rata takut dikira Tionghoa, hanya karena kaya dan memeliki banyak harta. Mereka takut menjadi target penjarahan.          

Catatan Akhir

Melalui tulisan ini, ada dua hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, praktek diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh golongan orang-orang Tionghoa dan peranakannya di Indonesia selama Orde Baru berakibat pada terjadinya proses alienasi terhadap golongan tersebut. Orang-orang Tionghoa dan peranakannya kehilangan akses atas dunia politik dan pertahanan keamanan, seperti yang dituliskan oleh Ben Anderson dalam artikel Tjino' di Indonesia. 

Ben menuliskan bahwa "Aparat keamanan -- 50 tahun setelah Indonesia merdeka -- tetep 99% bersih dari warganegara jang "Tjino". Pada paragraf yang berbeda, Ben kembali menuliskan "...selama orde baru tidak pernah ada menteri atawa djenderal jang "djelas Tjino"...".

Kedua, berbagai data sejarah yang dihimpun oleh Ben anderson, Siauw Giok Thjan, James T. Siegel dan Seno Gumira Ajidarma menunjukkan bahwa imaji pribumi terhadap orang-orang Tionghoa dan peranakannya, pada masa kepemimpinan mantan presiden Suharto adalah konstruksi Kolonial yang dihidupkan kembali oleh rezim Orde Baru. Tentunya konstruksi imaji tersebut disesuaikan dengan kepentingan  penguasa semata, yaitu pemerintahan Orde Baru.

 

 

Sumber

Buku:

Seno Gumira Ajidarma, (1999), "Clara" dalam kumpulan cerpen Iblis Tak Pernah Mati.    Yogyakarta : Galang Press.

Shiraisi, Saya S. (2009). Pahlawan-pahlawan Belia : Keluarga Indonesia dalam Politik. Nalar :      Jakarta.

Siauw, Giok Thjan, (2015), G30S dan Kejahatan Negara. Bandung : Ultimus. 

Siegel, James T., (2008), "Pikiran-Pikiran Awal Tentang Kekerasan 13-14 Mei 1998 Di      Jakarta" dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. Yogyakarta : Kanisius-          Lembaga Studi Realino.

 

Artikel:

Anderson, Benedict, 'Tjino' di Indonesia. https://gatholotjo.wordpress.com. Di unduh :     5/11/2016.

Siegel, James T., (2009), "Berbahasa" dalam Sadur. Sejarah Terjemahan Di Indonesia Dan          Malaysia, Henri Chambert Loir (Ed.), Jakarta : K.P. Gramedia, Ecole Francaise         d'Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa, Universitas Padjadjaran. hlm.           339-342.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun