Masyarakat Indonesia tidak bisa berpaling dari nilai supranatural dengan mengandalkan rasionalitas, karena masyarakat Indonesia sudah berpedoman kepada dua hal yang saling mengimbangi antara rasionalitas dari ilmu pengetahuan dan supranatural dari agama dan tradisi kearifan lokal yang mempengaruhi budaya.Â
Pendidikan Indonesia tanpa sadar membuat konsep tentang pola keseimbangan ini. Ilmu pengetahuan yang diajarkan di pendidikan formal di sekolah akan diimbangi pendidikan etika moral yang didapatkan dari agama dan kebiasaan adat yang dilandasi keyakinan tertentu.Â
Sehingga sikap ultra sekuler, tidak bisa mencapai posisinya karena sikap sekuler ini akan selalu dibayangi ketakutan terhadap nilai spiritual agama dan budaya sebagai sandaran moral etikanya.
Kemungkinan orang beridentitas ateis di Indonesia tidak ada, karena selama ini identitas itu diberikan kepada orang atau kelompok yang meyakini ketuhanan di luar agama resmi yang diakui oleh pemerintah.Â
Sampai akhirnya keyakinan lokal diakui negara sebagai salah satu keyakinan yang disebut sebagai Penghayat Kepercayaan yang terlihat terbukti menyingkirkan arti ateismenya menurut tuduhan lama. Kalaupun ada itupun memang ateisme produk import yang biasanya berdasarkan dua versi, ateis dengan landasan filsafat atau ateis berlandaskan  saintifis.
Landasan filsafat lebih tua umurnya semenjak manusia penasaran tentang keberadaan adanya tuhan yang melalui teori-teori seperti filsafat eksistensialisme yang terus berkembang.Â
Landasan saintis akan menyandarkan dirinya kepada pembuktian sains untuk menunjukan tentang ketuhanan, inipun cenderung kepada orang yang belajar sains serta ada lingkungan yang mendukungnya, seperti pernah tinggal di Negara yang memberikan pilihan ateis karena perlindungan yang besar terhadap privasi manusia dan keyakinan spiritual menjadi urusan privasi tadi.
Apabila memang dilakukan penelitian mengenai usahawan atau pebisnis yang tidak menggunakan sama sekali dukungan gaib melalui profesional di bidang tersebut di Indonesia terutama, dirasa sedikit sekali yang melakukanya.Â
Kemungkinan hanya orang dengan berwirausaha, sementara mereka masih mempunyai pekerjaan utama dengan pendapatan ekonomis yang masih diandalkan dari pekerjaan utama itu. Biasanya tipe wirausahawan seperti ini ingin mencoba coba keluar dari zona amanya, tetapi masih tidak terlalu peduli dengan keuntungan dan kerugian dari usaha bisnisnya yang baru, melihat pendapatan utamanya yang cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H