Banyak agama atau pandangan moral yang menyatakan uang menjadi masalah kehidupan. Di samping sangat di butuhkan untuk kehidupan. Ketetapan ukuran nilai ekonomi pada uang telah berjalan ratusan tahun sehingga sekarang tetap fungsinya menjadi alat ukur untuk semuanya.Â
Dikatakan semuanya karena nilai di luar ekonomi menjadi bagian untuk penentuan nilai alat ukurnya. Coba kita melihat perang suku di dataran kawasan papua yang tidak akan pernah habis saling bunuh apabila salah satu anggota sukunya tewas, akan semakin saling membalas. justu perang suku itu bisa diselesaikan  dengan denda dengan nilai uang diatas ratusan juta.Â
Seperti yang diberitakan viva.co.id 13 januari 2022, dua kelompok warga dari suku nduga dan lanny jaya yang terlibat bentrok di wamena, papua, sepakat berdamai dengan membayar denda Rp 2,5 miliar dan 20 ekor babi ( dengan perkiraan harga babi di wamena Papua minimal Rp 13 juta ).Â
Dan belis untuk perkawinan adat NTT, yang sempat beberapa kalangan mengkritik atau di uji cobakan dalam rencana peraturan daerah Sumba Barat untuk mengurangi penyembelihan hewan. Dengan di ajukanya Raperda hidup hemat yang akhirnya ditolak oleh DPRD sumba barat dengan alasan hak asasi manusia dan kebudayaan ( poskupang.com 7 juli 2019 ) tradisi ini dari satu sisi memberikan kesempatan penghamburan uang. Tapi di sisi lain Ada nilai keberhargaan diatas nilai besar uang. Sehingga apabila di nilai dengan uang sangat besar.
Sama seperti mereka yang berprofesi sebagai abdi dalem keraton Jogjakarta, bagaimana mereka mengorbankan menurut adat budaya setempat adalah nilai sakral sebagai simbol penghormatan.Â
Nilai dirinya dalam ekonomi untuk tunduk terhadap nilai lain yang mereka anggap lebih berharga dalam kehidupan bisa mengorbankan pendapatan sebagai pekerja normal bernilai jutaan setiap bulan. Karena tradisi feodal pada waktu dulu stigma keraton adalah wujud kewibawaan apabila keraton tidak terurus kebanggaan rakyat akan turun.Â
Seperti pernah di ceritakan dalam buku max havelar oleh multatuli atau eduard douwes dekker, rakyat yang disebut kawula rela meninggalkan pekerjaanya sementara, hanya untuk bekerja gratis kepada pemimpinya.
Pengertian nilai itu adalah harga dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai. Dan oleh karena itu nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama pula karena penilaian seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan. ( akhmad sudrajat 9 februari 2008 ). Hakikat dan relativitas tidak menentukan bahwa semua di tentukan oleh harga yang pasti karena nilai bisa berubah setiap saat.
Tapi kajianya disini, apakah nilai tadi, alat ukuran pasti untuk menentukan nilai ide seperti moral dan kebaikan seperti pada penentuan ekonomi di ukuran harga uang. Karena di Kekuasaan pengadilanpun akhirnya mau tidak mau menentukan ukuran besaran hukuman dengan alat yang sama.Â
Memang ada penjara sebagai tempat khusus untuk menghukum seseorang tapi ada nilai lain yaitu nilai jera di perhitungkan dengan berapa lama di kurung sementara harus dihidupi dengan fasilitas ekonomi juga di penjara, belum denda ekonomi yang tidak mampu dibayar harus dibayar dengan penambahan masa kurungan.
Begitu pula hutang budi yang didapat dari nilai pembalasan bantuan kepada orang lain yang telah membantu yang sering disebut ikhlas, sehingga yang terjadi adalah rasa segan bukan rasa takut lagi. Rasa takut itu timbul dari anggapan, bahwa hutang budi itu ada kewajiban untuk di balas karena pemberi hutang budi ada hasrat untuk menagihnya. Tapi di nilai segan, tidak ada tekanan dari pihak itu untuk menagihnya, tapi tekanan karena rasa malu dari dirinya untuk melakukanya.Â