Tapi petani Indonesia belum siap menerima kondisi seperti itu karena sudah mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk kimia dan yang terutama pola ekonomi yang belum mempersiapkan diri menghadapi perubahan yang berbeda.
Di satu pihak, perubahan yang dimaksud malah ditanggapi oleh kebijakan pemerintah menggunakan jalur subsidi yang di kurangi dengan alasan isu internasional itu. Sehingga pola ekonomi petani Indonesia mengalami penurunan drastis dan rawan akan mengarah kepada kondisi penindasanya. Seperti peralihan tanah yang dengan alasan tidak produktif tadi dialihfungsikan menjadi aktivitas yang lain dan dianggap berguna. Dan tanah pertanian tidak bisa di kelola oleh petani lagi.
Pergeseran masyarakat pertanian menuju masyarakat industri beresiko kepada kasus agraria di babak terbaru. Pada waktu dulu sistem agraria dipaksakan bercocok tanam sesuai dengan kebutuhan dagang para pemangku kekuasaan. Semua harus bekerja dengan tanaman yang dipaksa dan di tanam karena akan ada sangsi apabila tidak dilakukan. Seperti pada sistem tanam paksa dahulu.
Perkembangan pemaksaan dengan alasan kebaikan bersama itu terjadi kemudian di masa orde baru. Sepertinya program ini juga dilakukan dengan paksaan tertentu. Tentu situasi makro menjadi gambaran utama pemerintah daripada situasi mikronya. Karena saat inipun yang diperhitungkan adalah situasi makro ekonomi Negara yang didepan mata dunia mengalami kondisi positif terutama dengan lirikan investor untuk percaya terhadap kondisi ekonomi negeri ini.Â
Pertanian saat itu serentak di program untuk mengangkat pemenuhan kebutuhan pangan dunia dengan keberhasilan di swasembada beras. Logikanya bahwa, apabila ekonomi dunia merasa bisa dipenuhi dengan ekspor Indonesia, berarti kebutuhan pangan atau beras di dalam negeri Indonesia mengalami surplus. Seperti itu kira-kira hukum ekonominya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H