Mohon tunggu...
Yohanes Tegar Krisnanda
Yohanes Tegar Krisnanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hello there

Just a regular boy living a regular life

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nasionalisme Buta dan Kaitannya dengan Sila ke-3

13 Desember 2022   18:43 Diperbarui: 13 Desember 2022   19:00 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sila Ke=3 yang berbunyi "Persatuan Indonesia" merupakan seruan bahwa warga dari berbagai etnis yang berada di Indonesia harus bersatu demi terwujudnya negara Indonesia. Sila ini memiliki implikasi bahwa suku dan kebudayaan yang beragam memiliki identitas yang sama dibawah satu negara yaitu Indonesia. Suatu identitas kolektif tidak dapat tercipta tanpa adanya pemahaman dan rasa cinta terhadap negara tersebut. Namun sayangnya, kita dapat melihat beberapa pihak menggunakan nasionalisme dan identitas bangsa bukan untuk mempersatukan namun untuk agenda tertentu yang menguntukan diri sendiri maupun kelompoknya.

Salah satu bentuk seruan persatuan yang menurut saya kehilangan maknanya dan dipergunakan untuk agenda pribadi atau kelompok merupakan slogan"NKRI Harga Mati". Sejarah slogan tersebut dapat ditelusur pada seorang pengasuh pondok pesantren yang kerap disebut Mbah Liem. 

Nama lengkap beliau adalah K.H Muslim Rifai Imampuro dan berprofesi sebagai pengasuh Pondok Pesantren al-Muttaqien Pancasila Sakti. Pertama tercetusnya "NKRI Harga Mati" pada tahun 1980-an dikarenakan mulai munculnya ideologi islam radikal di Indonesia. Mbah Liem mengutarakan slogan tersebut untuk melestarikan simbol-simbol nasionalisme dikala ramainya kelompok islam radikal.

Slogan "NKRI Harga Mati" pada dasarnya bersifat baik dan merupakan sebuah seruan untuk mempertahankan kesatuan Indonesia. Hal tersebut selaras dengan sila ke-3 Pancasila yang berbunyi "Persatuan Indonesia". Namun sayangnya, kita kerap melihat slogan tersebut disalahgunakan untuk memancing nasionalisme buta masyarakat Indonesia. Salah satu contoh kasus yang baru ini terjadi merupakan kasus sengketa pulau pasir.

Dilansir dari Kompas.com, sengketa ini berawal dari negara Australia yang mengeklaim bahwapulau pasir merupakan pulau yang dimiliki oleh Australia. Hal tersebut dibantah oleh Ferdi Tanoni yang merupakan pemegang mandat hak ulayat masyarakat adat Laut Timor yang mengeklaim bahwa Pulai Pasir masuk wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menegaskan bahwa pulau pasir merupakan milik Australia dikarenakan wilayah NKRI dibatasi oleh wilayah bekas Hindia Belanda. 

Menurut Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika kemenlu Abdul Kadir Jaelani, pulau pasir tidak pernah menjadi bagian Hindia Belanda. Meski begitu, sengketa pulau pasir ini ramai di media sosial dan mengundang berbagai informasi keliru serta tokoh-tokoh yang menyatakan bahwa pulau pasir harus diperjuangkan demi persatuan Indonesia lengkap dengan slogan "NKRI Harga Mati".

Sikap tersebut dapat digolongkan sebagai nasionalisme buta. Tentu maksud dan tujuan masyarakat dan tokoh-tokoh yang mengutarakan "NKRI Harga Mati" adalah memperjuangkan kesatuan Indonesia. Namun sayangnya, mereka tidak melakukan riset terlebih dahulu terhadap kasus tersebut dan terkesan hanya ikut-ikutan menyerukan slogan ini. Untuk memahami mengapa fenomena ini dapat terjadi, penulis akan menggunakan perspektif dari Social Identity Theory yang dikemukakan oleh Tajfel dan Turner. 

Teori ini berasumsi bahwa beberapa individu yang tergolong dalam satu kelompok akan membentuk identitas kelompok yang seiring waktu diasimilasi menjadi identitas pribadinya. Selain itu, teori ini juga berasumsi bahwa salah satu faktor yang mendorong terbentuknya kelompok ini adalah kebutuhan individu untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.

Ketika kita melihat kasus sengketa pulau pasir dan banyaknya warga yang menyerukan "NKRI Harga Mati", kita dapat melihat bahwa suatu identitas kelompok telah terbentuk sebagai "Warga NKRI". Identitas ini mendorong masyarakat Indonesia untuk bersatu dan membela negara Indonesia untuk tetap dalam kondisi "persatuan".

Sikap ini dapat dilihat juga sebagai sikap nasionalisme yang sayangnya terkesan fanatik. Nasionalisme buta ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun salah satu faktor tersebar yang berkontribusi terhadap sikap ini adalah kurangnya literasi dan niat masyarakat untuk melakukan konfirmasi terhadap fakta yang ada.

Identitas kelompok yang terbentuk dari nasionalisme buta ini menciptakan suatu kerancuan dalam tatanan masyarakat Indonesia. Berbagai kalangan masyarakat berdebat melalui media sosial tentang kebenaran klaim pulau pasir tersebut. 

Kubu yang setuju bahwa pulau pasir adalah milik Indonesia seringkali menyerukan slogan "NKRI Harga Mati" sebagai justifikasinya. Sikap nasionalisme buta ini menjadi sikap yang patut diprihatinkan sebab sikap ini berkaitan juga dengan kemampuan masyarakat untuk memilah fakta dan hoaks. Penulis beropini bahwa nasionalisme buta dengan iming-iming "NKRI Harga Mati" yang juga menyangkut sila "Persatuan Indonesia" dapat dikoreksi melalui pembehanan niat baca dan kemampuan mengulik fakta dalam masyarakat Indonesia melalui pendidikan dan penyuluhan yang memadai.


Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun