Mohon tunggu...
Yohanes Djanur
Yohanes Djanur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Penulis Lepas. Menyukai sastra dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Diskursus Pradigmatik: Jokowi "cawe-cawe"

2 Februari 2024   18:44 Diperbarui: 2 Februari 2024   19:13 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumen pribadi


Diskursus seputar politik  "cawe-cawe"Jokowi sebenarnya memantik daya kritis kita untuk menilai dan mengevaluasi kembali, sejauh mana keterlibatan presiden di dalam membentuk watak dan dinamika politik di level elite maupun akar rumput menjelang pilpres 14 Februari mendatang.  

Besarnya Kontribusi politik presiden Jokowi di dalam membentuk konfigurasi politik menjelang pilpres kali ini merupakan suatu hal yang sangat diperhitungkan serius, mengingat popularitas dan efektivitas politik pembangunan Jokowi terhitung di angka 70 sampai 80 persen dari angka kepuasan publik terhadap kinerja kerja Jokowi di periode akhir kepemimpinannya. Angka statistik ini setidaknya memberi pengendalian lebih terhadap dinamika elektoral yang sedang diperbutkan oleh masing-masing Paslon.

Dinamika politik "Cawe-cawe" Jokowi pada akhirnya melahirkan kontroversi di dalam diskursus ruang publik. Sebagian kalangan menilai bahwa politik "Cawe-cawe" Jokowi merupakan suatu bentuk pembangkangan terhadap asas netralitas pejabat negara di dalam pemilihan umum. Namun, tak sedikit pula yang menyetujui bahwa politik "Cawe-cawe" Jokowi merupakan hal yang biasa saja di dalam dinamika politik negara demokrasi.

Fenomena politik semacam ini tentu melahirkan dialektika pemikiran baru terkait eksistensi demokrasi di dalam sistem presidensil yang kuat dan dominan. Presiden di dalam sistem presidensialisme merupakan  suatu pemerintahan dimana kedudukan presiden tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada di luar pengawasan langsung parlemen. Presiden merupakan wilayah otonom tanpa ada relasi pertanggungjawaban kekuasaan secara kelembagaan.

Jabatan di dalam wewenang presiden justru semakin problematik dengan adanya sistem multi partai yang memiliki polarisasi dan fragmentasi yang kuat di dalam dinamika politik tanah air. Sistem multi partai mengharuskan seorang presiden untuk mampu beradaptasi serta mengelola komunikasi politik di dalam rangka mengartikulasikan sikap politiknya di tengah perbedaan dan keragaman pandangan politik masing-masing partai. Dalam tahap ini, presiden terkadang akan bermetamorfosis menjadi "monster" sekaligus "pedagang" kepentingan politik di balik tirai kekuasaan.  Tersanda atau disandera kepentingan pragmatisme politik.

Presidensialisme dan sistem multipartai bukan hanya merupakan "kombinasi yang sulit", melainkan juga membuka peluang terjadinya deadlock dalam relasi eksekutif dan legislatif yang kemudian berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial. Sistem multipartai acapkali tidak mengkondisikan pembentukan kekuatan oposisi yang diperlukan untuk menopang cek and balance, sehingga Kekuasaan presiden menjadi "obesitas" dan tak terkontrol.

Fenomena politik "Cawe-cawe" Jokowi merupakan suatu bentuk perilaku politik yang terbentuk dari ketiadaan cek and balance di dalam relasi kuasa eksekutif dan legislatif.   "Obesitas" di dalam ruang politik koalisi kabinet Jokowi setidaknya menjadi pelumas lajunya kepentingan politik pragmatis, namun di sisi yang lain tentu akan menjadi catatan hitam bagi perjalanan demokrasi Indonesia, di mana kekuasaan dikapitalisasi untuk mendukung kekuatan politik tertentu.

Koalisi " Gendut" Jokowi

Menyoal atau mempertanyakan eksistensi politik "Cawe-cawe" Jokowi setidaknya harus diawali dengan membaca peta kekuatan koalisi Jokowi di periode kedua masa jabatannya. Pasca dua kali mengalahkan rival nya Prabowo Subianto, Jokowi nampaknya memilih jalan "penyatuan" sebagai upaya rekonsiliasi politik pasca pilpres 2019.  

Bergabungnya Prabowo ke dalam kolasisi Indonesia Maju ternyata menambah daya gedor kekuatan politik Jokowi di kabinet maupun parlemen. Kekuasaan besar politik ini memberi dorongan yang kuat bagi akomodasi dan realisasi program-program strategis Jokowi, seperti Program infrastruktur Jalan, bendungan dan embung, food estate hingga IKN. Hingga Pemerintahan Jokowi berhasil keluar dari krisis kesehatan akibat COVID 19 2021 yang lalu.

Kolasisi "Gendut" Jokowi sepertinya menciptakan anomali kekuatan politik. Di satu sisi, sepenuhnya mendukung realisasi berbagai program strategis Jokowi, namun di sisi yang lain, justru melemahkan sistem cek and balance pihak oposisi. Hanya menyisakan satu partai oposisi, yakni PKS.

Modal kekuatan besar  ini menjadikan Jokowi melesat melampaui lawan-lawan politiknya. Popularitas Jokowi sebagai "pahlawan pembangunan" nyatanya sampai ke pelosok-pelosok negeri. Bahkan Jokowi merupakan satu-satunya presiden yang telah berhasil menciptakan fondasi kemajuan yang kokoh bagi Indonesia.

Kolasisi "gendut"  hingga faktor Popularitas Jokowi merupakan beberapa bahan utama bagiamana Jokowi berhasil merangkai gerbong kekuatan politiknya menuju pelpres 2024. Semenjak sudah pisah jalan dengan PDIP, Jokowi sepertinya telah mempertebal sikap politiknya untuk mendukung Paslon Prabowo-Gibran. Dari makan malam bersama Prabowo, hingga beberapa pertemuan dengan ketua umum partai pengusung parbowo-Gibran, setidaknya mengindikasikan bahwa Jokowi sudah pasti dan mantap mendukung parbowo Subianto sebagai presiden RI 2024-2029.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun