Â
Melihat politik "cawe cawe" ala Jokowi tentu berbagai perspektif yang berkeliaran di sana. Saya justru melihat realitas politik Cawe-cawe  ini dari perspektif dialektika pemikiran Jokowi terkait momentum transformasi politik pembangunan 'ala Jokowi' di masa depan. Â
Dialektika pemikiran Jokowi ini merupakan suatu glombang kejut politik bagi sejarah perpolitikan Indonesia, sebab poros keberlanjutan pembangunan sebagaimana yang telah diperjuangkan selama kurang lebih dua periode kepemimpinannya, terlihat samar-samar. PDIP sebagai perhau induk politik pembangunan Jokowi nyata-nyatanya agak setengah hati untuk memobilisasi berbagai program strategis nasional, beberapa contoh seperti IKN, program Hilirisasi hingga Food estate. Hingga penyelenggaraan World Cup U 20 di Indonesia beberapa waktu lalu, ternyata ditentang habis-habisan oleh PDIP.
Ekses defisit dukungan PDIP terhadap berbagai program dan kebijakan pemerintah, hingga kasak-kusuk di internal PDIP terkait merahnya hubungan Jokowi dan Megawati akibat label petugas partai ternyata menciptakan semacam "taring politik" Jokowi untuk mempertegas kewibawaan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tanpa disetir oleh kepentingan partai serta mencari booster politik yang setidaknya dapat menjaga kepentingan politik pembangunannya sampai akhir masa jabatan. Booster politik itu tidak lain adalah kawan-kawan politik di koalisi Indonesia maju mulai dari Gerindra, Golkar, Pan yang secara konstiten mendukung Jokowi dari awal hingga menjelang periode akhir kepemimpinannya hari ini.Â
Jokowisme sebagai sebuah bentuk reaksi visioner terkait pemikiran politik pembangunan ala Jokowi setidaknya mempertegas kenyataan bahwa hari ini Jokowi merupakan salah satu presiden yang sangat berpengaruh di kancah politik global apalagi nasional. Maka dengan itu, tentu pragmatisme politik sebagai bagian dari relasi kekuasaan dan kepentingan pembangunan Nasional adalah wajar sebagai wujud dialektika pemikiran personal presiden ketika berhadapan dengan realitas politik real tanah air.Â
Pragmatisme di dalam lingkaran politik "cawe-cawe"Jokowi diupayakan sebagai bentuk akomodasi sekaligus wujud konsolidasi politik guna meredam segala bentuk potensi gejolak masa dan polarisasi di akar rumput.Â
Sistem presidensialisme di dalam algoritma politiknya justru mendisain presiden menjadi "cawe-cawe" lebih-lebih di dalam konteks kehidupan demokrasi Indonesia yang semi liberal. Sistem multi partai hingga relasi kuasa trias politika dalam konteks politik pembangunan negara merupakan relasi yang menuntut seorang presiden untuk berani "cawe-cawe" di dalam kepentingan dan kapasitasnya sebagai pengemban amanah rakyat. Presiden harus mampu berkomunikasi di dalam tataran ideologis maupun struktur teknis di dalam setiap Lobby politik terhadap kebijakan pembangunan pemerintah di setiap level jabatan struktural pemerintah maupun dengan lembaga negara lainnya, seperti DPR.
Di dalam fraksi politik menjelang pilpres yang akan datang, presiden harus berani dan secara gentle menentukan arah politiknya. Politik pembangunan Jokowi sebagai bentuk pengkristalan nilai-nilai dan prinsip-prinsip pemikiran pribadinya, tentu merupakan suatu yang autonom dan tidak bisa direduksi oleh pihak lain.Â
Jika isu nepotisme dan dinasti politik yang didengungkan oleh sebagian kalangan anti atau kontra Jokowi saat ini sebagai bentuk antitesa terhadap kemerdekaan presiden menentukan arah dan langkah politik pembangunan di tahun politik seperti ini, maka hal demikian menjadi parameter bahwa kehidupan demokrasi kita sehat2 saja, sekaligus merupakan suatu bentuk cek and balance di dalam memonitoring politik pembangunan bangsa ke depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H