Menguaknya diskursus politik terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold akhir-akhir ini tentu mengundang perhatian berbagai pihak, baik para politisi, akademisi, aktivis politik, maupun masyarakat awam.
Menguatnya diskursus ini secara politik tentu akan menciptakan polariasi menjelang pilpres 2024. Banyak kalangan menilai bahwa isu ini diangkat sebagai bentuk perwujudan ambisi politik beberapa kalangan menuju pilpres 2024 nanti. Entah dari kalangan partai politik, akademisi, simpatisan calon presiden, LSM, ormas keagamaan, maupun atas nama personal.Â
Diskursus ini secara politik tentu akan menjadi bola liar sekaligus kuda tunggangan kepentingan politik sebagian kalangan. Namun, di sisi yang lain, dari kaca mata hukum, diskursus terkait presidential threshold ini merupakan suatu catatan sekaligus evaluasi terkait pemenuhan dan pemaknaan aspek konstitusionalitas dari sebuah perwujudan UU, dalam hal ini adalah UU Pemilu No 7 Tahun 2017.Â
Secara yuridis, gugatan PT ini sebelumnya sudah dilayangkan sebanyak 13 kali ke MK dengan dalil permohonan yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya ditolak MK.
MK memutuskan dengan salah satu dalil keputusan bahwa kebijakan terkait presidential threshold yang termuat dalam pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tersebut merupakan termasuk dalam open legal policy, di mana kebijakan terkait aturan ambang batas pencalonan presiden 20% sebagaimana yang termuat dalam pasal 222 UU pemilu No 7 tahun 2017 adalah wewenang pembuat Undang-undang (DPR).Â
Berdasarkan doktin konstitusi, dalil keputusan ini sebenarnya memberi ruang pemahaman baru bahwa gugatan terkait PT ini sudah tidak relevan lagi dijaukan lagi di MK (judicial review). Melainkan gugatan itu dilayangkan ke ranah legislatif (legislatif review) di DPR dengan melalui tahapan revisi UU pemilu.Â
Keputusan MK: Antara Doktrin Politik dan Doktrin Konstitusi
Mahkamah Konstitusi sebagai institusi penegak hukum dalam hal ini memiliki peran untuk menjaga dan memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme sebuah perundang-undangan, haruslah independen dan berintegritas, tanpa ada intervensi atau tekanan dari pihak manapun.Â
Sebagai lembaga yang menjunjung tinggi profesionalitas dan independen, penulis meyakini bahwa MK dalam keputusannya di dalam menolak gugatan presidential threshold 20% menjadi 0% adalah murni sebuah hasil konstruksi dan pertimbangan hukum yang matang. Kenapa demikian?
Di dalam teori hukum, hubungan keterikatan antara politik dan hukum bagaikan dua sisi mata uang, yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu faktor sebab-akibat. Ada hukum karena ada politik. Ada politik karena ada hukum. Ada politik harus ada hukum.Â
Terkait keputusan MK yang menolak gugatan terhadap presidential threshold 20%, tentu ada pertimbangan politik yang dilakukan MK di dalam konstruksi dan pertimbangan hukum, salah satunya terkait dalil pertimbangan MK yang mengatakan bahwa PT 20% adalah kebijakan yang dapat memperkuat sistem presidensial serta memperkuat kedudukan dan fungsi partai politik.Â