Sejak tanggal 3 November lalu hingga hari ini, Gunung Lewotobi Laki-Laki masih saja erupsi. Letusan gunung yang terletak di Kabupaten Flores Timur, NTT ini mengakibatkan sejumlah orang meninggal dunia dan terluka. Ribuan warga yang terdampak pun harus kehilangan tempat tinggal mereka yang sudah rusak akibat letusan. Selain itu, mereka terpaksa menempati tenda-tenda pengungsian untuk sementara waktu dengan fasilitas yang terbatas.
Gunung meletus sesungguhnya merupakan salah satu peristiwa alam biasa. Namun, ketika peristiwa tersebut menimpa manusia dan mengakibatkan kerugian entah nyawa maupun materi, peristiwa alam itu berubah menjadi bencana. Tentu saja, tidak ada seorangpun yang mau menjadi korbannya. Namun, alam tidak pernah menahan dirinya hanya karena penolakan manusia. Jika tiba saatnya, gunung berapi pasti meletus, tanah akan longsor atau berguncang, air laut membawa tsunami, dan masih banyak jenis peristiwa alam lainnya.Â
Bencana alam dan berbagai kejadian yang merugikan manusia biasanya merupakan kejadian yang tidak diharapkan. Namun, itulah hukum alam yang menjadi bagian dari fakta kehidupan. Hal ini harus kita sadari kapanpun. Dengan demikian, kita tidak kaget dan depresi ketika saatnya itu terjadi.
Selain kesadaran tentang hukum itu, kita juga harus mempunyai sikap iklas. Sangat mudah berbicara tentang keiklasan, tetapi belum tentu mudah juga melakukannya. Agar bisa iklas, pertama-tama kita harus paham terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan iklas. Kemudian, kita juga perlu tahu apa yang membuat kita sulit iklas.Â
IKLAS ADALAH KEMAMPUAN MELEPAS. Sesederhana itu definisinya. Artinya, orang yang bisa iklas adalah orang yang mampu untuk melepaskan. Orang yang mampu melepas adalah orang yang sudah terbiasa melepas seumur hidupnya. Apa yang dilepas? Segala sesuatu yang dianggap sebagai milik, dan terutama segala hal berharga yang disukai.Â
Umumnya orang sulit melepas. Mengapa? Karena kesulitan melepas sudah dimulai sejak kecil. Kita mungkin pernah memperhatikan bayi yang diberi mainan. Jika seseorang coba mengambil mainan itu dari tangannya, ia justru semakin erat mencengkeramnya seakan memberitahu bahwa ia tidak mau melepas. Apabila secara paksa diambil, si bayi pasti menangis. Itulah potret awal kesulitan seseorang untuk melepas. Seiring bertambahnya usia, seorang anak semakin diberi banyak hal untuk menjadi miliknya. Ia diberi pakaian yang bagus, mainan yang menarik, sepeda baru, dll. Bersamaan dengan pemberian itu, ia diajarkan untuk menjaga barang-barang kepunyaannya agar tidak hilang. Jika hilang, ia menjadi sedih dan dimarahi oleh orang tuanya karena dianggap tidak sanggup bertanggung jawab menjaga barang-barangnya.
Saat beranjak dewasa, kebiasaan diberi dan mendapat masih terjadi dalam kehidupan. Di sekolah seorang guru memberi nilai atas tugas atau ulangan yang dikerjakan siswa. Jika berhasil memenangkan sebuah lomba, ia juga diberi penghargaan atau hadiah. Kebiasaan diberi seperti itu akhirnya membentuk keinginan yang lebih dominan dalam diri untuk memperoleh dan memiliki daripada memberi atau melepas. Buruknya, keinginan itu perlahan-lahan semakin mempersulit untuk iklas saat kenyataan tidak sesuai keinginan.
Oleh karena itu, satu-satunya KUNCI untuk bisa iklas adalah MEMBIASAKAN DIRI UNTUK MELEPAS. Kebiasaan melepas akan terbentuk melalui latihan terus-menerus dari waktu ke waktu.Â
Latihan itu akan konsisten atau terus berlanjut jika didasari pemahaman yang benar tentang perlunya mendapat sekaligus melepas. Kehidupan mengharuskan adanya sirkulasi menerima dan melepas secara seimbang. Tubuh kita sendirilah yang mengungkapkan rahasia tentang pentingnya menerima dan melepas. Setelah makanan dan minuman masuk ke dalam tubuh, paling lambat sehari sesudahnya harus dikeluarkan lagi agar tidak meracuni tubuh. Nafas yang dihirup juga harus dilepas. Jika tidak, pasti kita akan mati. Sistem pencernaan dan pernafasan itu memberi pelajaran berharga tentang pentingnya melepas selain mendapat. Penolakan untuk melepas atau iklas justru menjadi sumber derita dan masalah.Â
Maka, mulailah berlatih melepas, karena toh nanti kita harus melepas semuanya juga ketika kematian datang. Pada akhirnya kehidupan ini bukan lagi sebagai perjuangan untuk mendapat sebanyak-banyaknya tetapi sebaliknya merupakan perjuangan untuk rela melepas satu demi satu sampai tuntas!