Perhelatan Ballon d'Or 2024 telah mencapai babak akhir hari ini. Gelandang 28 tahun Menchester City dan Timnas Spanyol, Rodrigo Hernandes Cascante berhasil terpilih sebagai pemenangnya. Rodri, sapaan akrab pemain berpostur 190 cm ini mengungguli Vinicius Jr (Real Madrid) dan Jude Bellingham (Real Madrid) di urutan ke-2 dan ke-3. Rodri mengukir sejarah dengan menjadi pemain Spanyol ke-3 yang meraih penghargaan tahunan dari Federasi Sepak Bola Prancis tersebut. Dalam sambutannya ia mengungkap: "kemenangan ini adalah kemenangan sepak bola Spanyol". Rodri menambah barisan para gelandang yang berhasil menyabet trofi individu paling bergengsi itu setelah beberapa nama lain pernah juga mendapatkannya. Sebut saja gelandang hebat Zinedine Zidane(1998) dan Johan Cruyff(1971,1973,1974). Namun, Rodri sebagai gelandang bertahan pertama dalam 30 tahun terakhir yang menyabet trofi Ballon d'Or setelah Lothar Matthaus tahun 1990.
Hari ini mungkin sorotan mata para pecinta sepak bola hanya tertuju pada Rodri. Sebetulnya ada sosok lain juga yang patut menjadi sorotan. Dia adalah George Weah. Ia didapuk untuk menyerahkan trofi Ballon d'Or kepada Rodri. Di dunia sepak bola, George dikenal sebagai salah satu pemain yang mengagumkan di era 90-an. Pemain asal Liberia ini mengemas lebih dari 200 gol sepanjang karirnya. Prestasinya sebagai pesepak bola profesional mencapai puncak tertinggi ketika ia berhasil menjadi pemenang Ballon d'Or tahun 1995 setelah menunjukkan aksinya yang gemilang saat berseragam PSG dan AC Milan. Istimewanya, George mengukir tinta emas sebagai satu-satunya pesepak bola Afrika yang mampu mendapatkan trofi tersebut hingga hari ini. Delapan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2003 ia memutuskan gantung sepatu. Selepas pensiun ia mencoba terjun ke dunia politik. Ia bahkan terpilih menjadi presiden Liberia pada tahun 2018. Ia menjabat sejak Januari 2018 hingga Januari 2024. George telah membuktikan kepada dunia sebagai seorang Afrika yang mampu mencapai tangga tertinggi di karir sepak bola maupun di panggung politik.
Namun, siapa yang menyangka betapa beratnya situasi yang dialami George ketika ia sedang meniti karir sepak bolanya di Benua Biru. George berlatih keras setiap hari demi mengharumkan Liberia, negara asalnya maupun demi Afrika secara umum. Ia berusaha mengembalikan senyuman Liberia yang saat itu justru sedang terjebak dalam panasnya konflik saudara. Sudah sejak akhir 1980-an rakyat Liberia mengalami krisis ekonomi yang hebat akibat pemerintahan yang korup di bawah kepemimpinan presiden Samuel Doe. Kemelut negara itu mencapai klimaksnya di tahun 1990 dengan meletusnya pemberontakan terhadap pemerintahan Samuel Doe yang menyebabkan pembantaian 600 warga sipil termasuk anak-anak di Gereja Lateran Monrovia. Tidak berhenti di situ saja, para pembantai meneruskan sasaran utama yakni sang presiden Samuel Doe. Ia ditangkap, dibunuh, hingga dimutilasi secara keji. Kengerian itu baru reda pada tahun 1997, dua tahun pasca penganugerahan Ballon d'Or kepada George Weah.
Ballon d'Or yang dianugerahkan kepada George bagaikan prasasti yang bercerita tentang misi mulia. Bagaimana tidak, ia menjadikan penganugerahan Ballon d'Or-nya sebagai momentum membangun perdamaian untuk menjembatani konflik saudara di negaranya. Ballon d'Or itu menjadi jembatan antara tahun-tahun penuh konflik sebelumnya menuju tahun-tahun kedamaian sesudahnya. George mengungkapkan kisahnya itu dalam sambutannya sebelum membacakan pemenang Ballon d'Or hari ini. Ia berucap: "a Ballon d'Or for me is coming from the country that was broken down with civil war. I had no choice. It was supposed for peace for me and that brought peace to my country because we took Ballon d'Or to promote peace, and today Liberia is in peace, and I'm very happy. It's an honor for me to be one of the Ballon d'Or. So that, thank you very much"Â (sebuah Ballon d'Or bagi saya yang berasal dari negara yang hancur oleh perang saudara. Saya tidak punya pilihan. Itu sepertinya untuk perdamaian bagi saya dan bagi negara saya, karena kami menjadikan Ballon d'Or untuk mempromosikan perdamaian, dan sekarang Liberia dalam perdamaian, dan saya sungguh bahagia. Menjadi suatu kehormatan bagi saya untuk menjadi salah satu peraih Ballon d'Or. Karena itu, terima kasih banyak).
George melihat sepak bola dan Ballon d'Or melampaui sekadar olahraga dan penghargaan prestisius individu. Ia membawa keduanya ke ranah yang lebih luhur untuk menjadi tanda perdamaian bagi negaranya sendiri, Afrika, maupun dunia secara luas. Tidak hanya dari dalam lapangan, George juga mempraktekkannya saat terjun ke arena politik ketika ia dinyatakan kalah dari pesaingnya, Joseph Bakai dalam Pemilu presiden putaran II . Setelah dipastikan kalah jumlah suara, ia langsung menelpon Joseph sebagai presiden terpilih untuk mengucap selamat. George mengawali sejarah baru Afrika Barat bahwa transisi kekuasaan ternyata bisa dilakukan secara damai tanpa harus melalui pertumpahan darah.
Bersama George Weah, mari kita jadikan sepak bola bukan sebagai gelanggang perseteruan antar tim yang kita bela, tapi sebaliknya menjadi arena lahirnya persatuan yang menginspirasi perdamaian seluruh dunia. Salam!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H