"Tertawalah selalu jika Anda bisa. Itu adalah obat yang murah". Â Demikian kata Lord Byron
Perkembangan teknologi makin canggih. Dunia medis sebetulnya ikut terbantu dengan itu. Banyak penemuan obat-obatan dan alat-alat medis yang lebih efektif untuk mengatasi berbagai jenis penyakit. Namun, hal itu masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin. Pasalnya, biaya medis malah makin melangit. Jaminan kesehatan nyatanya masih sulit. Kita di Indonesia mungkin sedikit ditolong oleh program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dari pemerintah. Namun, pelayanan asuransi pemerintah sering mengalami kendala di lapangan. Banyak pasien BPJS yang mendapat diskriminasi pelayanan dibanding pasien asuransi swasta atau pasien dengan biaya sendiri.
Oleh sebab itu, kita harus mencari jalan lain untuk sehat. Jalan yang lebih murah dan mudah. Di Bali terdapat sebuah komunitas yoga tawa yang dimentori oleh Kadek Siwa Ambara. Ia mendirikan komunitas ini pada tahun 2000. Banyak orang yang telah mengalami kesembuhan dari berbagai penyakit setelah mengikuti yoga tawa. Survei membuktikan bahwa 80% penyakit disebabkan pikiran. Menurut Kadek, penyakit yang disebabkan karena pikiran sangat mudah sembuh dengan tertawa. Â
Semua orang bisa tertawa, bukan? Jadi, tertawa adalah salah satu obat termurah dan juga mudah dimiliki. Bahkan obat itu sudah ada di dalam diri setiap orang. Kita tidak perlu bersusah payah mencarinya keluar. Pencipta kita sudah menaruhnya di dalam diri kita. Setiap hari, kita tinggal menggunakannya.
Penyakit selalu mendatangi setiap orang. Kendatipun seseorang telah mengonsumsi makanan yang sehat, rajin berolahraga, menjaga kebersihan, dan istirahat yang  cukup, penyakit bisa menyusup melalui jalur lain yaitu pikiran. Gejalanya tampak pada kebiasaan cepat marah, mudah tersinggung, gelisah, dan sering khawatir. Penyakit fisik maupun jiwa yang kita alami tidak terlepas dari masalah tak terduga yang sering mendatangi kita. Masalah dalam hidup ibarat lingkaran setan yang terus berulang. Banyak kenyataan tidak sesuai harapan. Berbagai rencana gagal terwujud. Uang kurang, pekerjaan bertambah.  Bahkan ada saja orang yang membenci meskipun kita sudah hidup baik dan benar.Â
Kita harus bijak menyikapi kenyataan itu. Menerima semuanya sebagai bagian dari kehidupan. Itu adalah keniscayaan. Jika kita menolak, justru penderitaan makin erat mendekap. Namun saat kita biarkan itu terjadi apa adanya, beban terasa ringan. Selain menerima apa adanya, beban apapun perlu juga dihadapi dengan TERTAWA. Kita tidak harus bermuka serius dan berkernyit dahi. Mari kita tertawa. Jangan takut tertawa. Kata pelawak Indro Warkop, "tertawalah sebelum ada larangan untuk tertawa." Negara ini tidak mempunyai undang-undang tentang larangan tertawa. Tertawalah, terutama tertawa atas diri sendiri, tentang hal apapun yang kita sendiri alami. Sebagaimana ajakan Benjamin Franklin, "jika Anda tidak ingin ditertawakan, jadilah orang pertama yang yang menertawakan diri sendiri". Tertawa adalah cara melampau sesuatu yang buruk pada diri kita, misalnya depresi atau marah. Ini yang diyakini oleh filsuf John Morreall. Baginya tertawa membuat kita mampu mengatasi bahaya apapun. Dunia ini perlu dibuat jenaka supaya tak terasa seperti neraka.
Menertawai kenyataan bukan bermaksud lari dari persoalan. Kita tetap berdiri tegap dan cerdas menghadapinya. Setelah tertawa, perasaan pasti lebih tenang. Kita tidak larut pada kesengsaraan. Kita akan menyadari bahwa hidup ini adalah begini adanya. Hidup tak selalu aman-aman saja. Hidup adalah irama silih berganti antara didekap masalah dan lepas dari masalah. Maka, tertawakan saja!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H