Mohon tunggu...
Erdha Widayanto
Erdha Widayanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Tulisan Bahasa Budaya...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Indonesia Itu Pancasila

9 September 2012   17:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:42 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov


Garuda bukan Burung Perkutut
Sangsaka bukan sandang pembalut
Dan coba kau dengarkan
Pancasila itu, bukan lah rumus, kode buntut
Yang hanya berisikan harapan
Yang hanya berisikan khayalan


Sepenggal lirik lagu Bangunlah Putra-Putri Ibu Pertiwi di atas dinyanyikan oleh Iwan Fals dalam albumnya,Sarjana Muda. Pertama kali mendengarkannya, saya merinding dan terkesima dengan nilai-nilai yang coba disampaikan oleh Bang Iwan. Sebuah nilai yang hampir saja dilupakan oleh bangsa ini. Bukan nilai. Lebih tepatnya sebuah filosofi yang kemudian dijadikan sebagai dasar negara, yaitu Pancasila.
Apa itu Pancasila? Bagaimana proses perumusannya? Saya kira kita semua sudah mengetahui bagaimana proses pembentukan dan pentahbisannya sebagai dasar negara. Bagaiamana percecokan yang terjadi antar tokoh penyusun pancasila pun kita juga sudah mengetahuinya. Hampir semua pihak yang tergabung dalam tim penyusun Pancasila ingin memastikan bahwa pemikirannya akan dimuat dalam 5 buah sila di dalamnya. Adu argumen pun bak cendawan di musim hujan, tumbuh subur. Tapi semua berakhir ketika musyawarah forum mencapai mufakat bak pelangi terbit setelah hujan badai, berbeda-beda warna tapi sangat indah. Lahirlah Pancasila sebagai pedoman jiwa bangsa ini.
Sejarah kembali terulang
Dalam perjalanannya, saya mulai ragu dan bertanya kembali tentang pemaknaan Pancasila sekarang ini.  Bagaimana seharusnya Pancasila dimaknai sebagai sebuah dasar negara sementara zaman terus berpacu meninggalkan negara yang katanya sedang berkembang ini? Saya pun mulai menerka-nerka pemaknaannya. Tidak mudah untuk mendapatkan jawaban pasti karena setiap orang mempunyai pemaknaan masing-masing tentang Pancasila. Namun, apapun pemaknaan kita tentang Pancasila, saya berharap semua pihak setuju bahwa Pancasila akan membawa perdamaian, persatuan dan kemakmuran bagi tanah ibu pertiwi ini. Hal ini berarti Pancasila menjadi alat pemersatu kita semua. Golongan, ras dan agama yang kerap menjadi tembok pengahalang seharusnya sudah hancur seperti Tembok Berlin yang digempur pada awal 1990-an. Bibit persatuan harus kita tanamkan. Pupuk persaudaraan harus kita taburkan. Tanaman subur bebas hama perpecahan harus kita rawat baik-baik. Tak ketinggalan buah kesejahteraan dan kemakmuran kita panen dan bagikan kepada semuanya. Sekali lagi tanpa memandang golongan, ras dan agama.
Namun hal itu agaknya sulit untuk diwujudkan. Mungkin sengaja dipersulits untuk diwujudkan. Saya tidak tahu harus berkata apa ketika isu agama kembali menjadi ancaman perpecahan bangsa ini. Goblok, bodoh, tolol! Mungkin itu padanan kata yang cocok bagi mereka yang selalu saja menjadikan agama sebagai suatu pembeda yang mengancam persatuan bangsa. Ya, hanya orang goblok yang selalu berbuat kekerasan atas nama agama. Hanya orang bodoh yang selalu melihat perbedaan harus diseragamkan. Dan hanya orang tolol yang mengamini bahwa tindakan seperti itu adalah perintah Tuhan. Padahal isu tentang perbedaan agama sudah lebur dalam persatuan ketika Pancasila dilahirkan oleh parafounding father bangsa ini.
Kejadian yang menurut saya tidak perlu terjadi adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas “jagoan” bangsa ini. Kembali isu perbedaan golongan, ras dan agama diusung tinggi-tinggi. Kekerasan seolah mereka legalkan untuk mencapai pemikiran yang mereka anggap sempurna. Dari visi misi yang mereka usung, terlihat bagus ketika menjadi sebuah teori yang mulia dalam intern kelompoknya sendiri, tapi teori mulia itu seketika berubah menjadi sampah saat mereka mempraktekannya dengan kekerasan. Mereka mengkritik rezim otoriter represif Orde Baru tetapi mereka mengadopsinya dan memparketkannya kembali. Bedanya, pelakunya kini adalah kelompok-kelompok berbaju oragnisasi masyarakat tersebut.
Bentuk penghormatan antar umat
Saya prihatin dengan tindakan razia yang dilakukan oleh ormas tertentu berbasis agama terhadap warung-warung makanan yang buka pada saat bulan Ramadhan sekarang ini. Tak jarang tindakan razia tersebut diwarnai dengan kekerasan dan bentrok fisik. Kejadian tersebut tidak terjadi satu atau dua kali, melainkan hampir setiap tahunnya. Alasan kenapa mereka lakukan razia terhadap warung makanan itu pun masih membingungkan bagi saya. Mungkin, warung makanan yang buka pada saat bulan puasa dianggap tidak menghormati saudara-saudara kita yang sedang berpuasa. Namun apakah bentuk menghormati saudara kita yang menjalankan ibadah puasa hanya sebatas itu? Jika mereka memang menggunakan alasan tersebut untuk melakukan razia warung makanan, ibu pertiwi sontak menangis. Di era demokrasi sekarang ini mereka semua masih saja berpikiran sempit dan dangkal. Dengan kata lain, mereka berpikir bahwa menghormati orang yang sedang berpuasa sama dengan tidak membuka warung makan atau tidak makan dihadapan orang yang sedang berpuasa. Sungguh sangat sempit. Lantas bagaiamana dengan seorang Bapak A yang harus menyekolahkan anaknya sementara penghasilan harian keluarga mereka hanya diperoleh dengan membuka warung makanan? Apakah Bapak tersebut tidak menghormati saudara kita yang sedang berpuasa? Sangat tidak beralasan jika kita menjawab Bapak A tersebut tidak menghormati bulan puasa. Perlu kita sadari bahwa bentuk penghormatan terhadap bulan puasa suatu agama itu sangat luas dan beragam. Hal itu tergantung bagaimana kita mau menyikapinya. Bukan kah puasa itu adalah sebuah ibadah? Dalam artian bahwa dorongan untuk menjalankan puasa itu haruslah bersumber dari kesadaran hati kita sendiri sebagai pemeluk agama yang baik.
Sependek pengetahuan saya, ada beberapa agama yang di akui di negeri ini yang mewajibkan pemeluknya menjalankan puasa. Meskipun terkadang tidak semua orang tahu kapan ibadah puasa agama-agama tersebut dilaksanakan. Namun keditaktahuan tersebut bukan menjadi alasan untuk tidak menghormati agama lain yang sedang menjalankan ibadah puasa agamanya. Lantas apakah ketika agama lain tersebut sedang menjalankan ibadah puasa, semua warung makanan juga harus tutup? Pada kenyataannya, warung makanan tetap buka dengan leluasa dan bebas menjajakan makanannya. Menjadi pertanyaan bagi saya kenapa pada saat satu agama tertentu menjalankan puasa warung makanan harus tutup tetapi pada saat agama lain berpuasa warung makanan tetap buka dengan leluasa? Apakah karena agama lainnya itu minoritas? Bukan itu. Dalam konsep negara demokrasi seperti Indonesia, tidak ada yang namanya kaum mayoritas dan minoritas (secara teorinya). Semua warga negara dengan golongan, ras maupun agama apa pun mempunyai kedudukan sama, seharusnya. Namun, dalam prakteknya, tidak semua teori tersebut dapat dijalankan semudah kita menuliskannya.
Saya akan kembali tidak habis pikir jika perbuatan razia warung makanan tersebut masih berlanjut. Bagaiamana jika suatu hari nanti, agama-agama lain di negeri ini mendirikan ormas agamanya masing-masing. Lalu mereka merazia warung-warung makanan pada saat agama tersebut menjalankan ibadah puasanya. Lantas bagaimana nasib Bapak A dan keluarganya sebagai contoh di atas?  Bukan kah itu sama saja kembali mengulang hal yang bodoh? Memang bodoh karena itu bukan solusi! Puasa adalah sebuah perintah agama yang harus dijalankan. Kita harus menjalaninya sepenuh hati. Singkatnya, apa pun rintangan yang menghalangi entah itu banyak warung makan yang buka atau ada banyak orang makan dengan santai di depan kita, bukanlah alasan bagi kita untuk tidak berpuasa. Sebagaiamana dicontohkan dalam kasus Bapak A di atas, perlu kita sadari, kita tidak pernah tahu apa kata hati Bapak A atau siapa pun orang yang membuka warung makannya saat bulan puasa. Siapa tahu dalam hatinya, mereka menghormati semua orang yang sedang berpuasa lebih dari kita sendiri atau mereka yang menutup warung makannya hanya karena takut ada razia ormas agama. Mereka yang tidak melakukan bentuk penghormatan dengan suatu tindakan sesuai harapan banyak orang, belum tentu tidak mau dan tidak bisa menghormati. Hanya saja mereka menghormati dengan cara mereka sendiri. Kita harus menyadarinya. Apakah jika tidak ada yang menghormati, kita tidak berpuasa? Toh kita berpuasa bukan untuk dihormati, kita berpuasa karena kesadaran kita akan perintah agama.
Tetap Pancasila
Pancasila yang telah menjadi dasar negara tidak akan pernah lapuk meskipun zaman terus menggerusnya. Bangsa ini didirikan di atas pondasi keanekaragaman suku dan budaya. Pilarnya terbuat dari beton perbedaan yang bersatu dengan tiang penyangga bahasa. Atapnya megah bak atap istana berwarna merah dan putih. Di atasnya bercokol gagah Burung Garuda mencengkram falsafah bangsa bernama Pancasila. Wahai kawanku, ketahuilah bahwa bangsa ini bernama Indonesia. Bukan Indonesia jika tidak ada perbedaan budaya, bahasa, agama, rasa maupun golongan. Meskipun begitu, lagu kebangsaan kita masih sama, Indonesia Raya. Tnggalkan egosentrismu. Kenakan baju Bhineka Tunggal Ika mu dan tetaplah menjadi Pancasila. Titik. Terima Kasih.(-EW-)
Tulisan ini saya persembahkan kepada mereka yang warungya ditutup paksa. Tetap Semangat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun