Mohon tunggu...
Yohanes Apriano Dawan Fernandez
Yohanes Apriano Dawan Fernandez Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang putra daerah yang saat ini menetap di kota industri yang hirup pikuk. Terkadang hal kecil menjadi inspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Oh Opa, Demi Radio Kesayangan

9 Desember 2011   12:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:38 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenangan akan kehidupan orang-orang terdekat yang telah lebih dulu meninggal dunia ini tentu saja sangat membekas dalam hati. Kita semua pasti akan berusaha menyimpan kenangan sepesial bersama dirinya seumur hidup, apalagi jika hubungan kita sangat dekat. Ada tradisi dalam keluarga besar kami yaitu berkumpul dan sharing mengenai kisah kehidupan almarhum atau almarhumah setelah dilakukan pemakaman. Setiap anggota keluarga bisa mengungkapkan kenangan pribadinya, baik yang dialami secara langsung maupun melalui cerita yang pernah didengarnya. Sharing ini biasanya diawali dengan pemutaran video kenangan -jika ada- ketika almarhum atau almarhuma masih hidup. Terkadang diawali dengan sebuah puisi.  Setelah itu "moderator" mempersilahkan kami untuk saling sharing mengenai anggota keluarga yang meninggal tersebut. Sharing bisa menyenangkan, lucu, sedih atau tidak menyenangkan. Kisah tentang masa kecil, remaja hingga tua semuanya terungkap dari para "narasumber". Kisah demi kisah tersebut sedikit menggambarkan sosok yang telah meninggal. Akhirnya kita memahami bahwa yang bersangkutan juga manusia, tidak terlepas dari kesalahan tapi ada juga kebaikan dalam dirinya. Kenangan manis kita simpan dan kenangan buruk kita jadikan pelajaran. Pada momen inilah kami bisa menangis atau tertawa bersama, semua perasaan bercampur menjadi satu. Kami sedih karena telah ditinggalkan, namun kamipun bahagia karena anggota keluarga yang meninggal telah bahagia meninggalkan dunia yang fana ini. Pada kesempatan ini, saya ingin membagikan kisah tentang sang Opa yang pernah saya tulis di blog, namun tidak ada salahnya jika saya membagikan pada para kompasiana. Seting cerita ini pada akhir tahun 70an ketika kota kami dilanda musibah banjir lumpur yang cukup dasyat. Setiap masyarakat kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT pasti tidak pernah melupakan tragedi banjir bandang yang terjadi pada tahun 1979. Generasi yang lahir setelah tahun 1979 pun masih terngiang akan cerita miris itu dari sanak keluarga yang mengalaminya. Puluhan, mungkin ratusan korban meninggal dunia termasuk Tante saya (kakak pertama dari Ayah) yang saat itu sedang mengandung anak ketiga. Jasadnya hingga sekarang tidak pernah ditemukan. Banyak juga masyarakat yang kehilangan rumah, termasuk rumah keluarga Ayah saya yang hanya menyisahkan fondasi. Kondisi ini memaksa keluarga Ayah untuk membangun rumah di kelurahan lain yang relatif lebih aman serta dapat menghilangkan trauma akibat peristiwa tersebut. Saat itu Ayah sudah saya menetap di kota Kupang, setelah cukup lama merantau ke Surabaya. Kini rumah yang hanya menyisahkan fondasi tersebut sudah dibangun kembali sebagai rumah keluarga kami yang baru. Kenangan pahit 32 tahun lalu yang tergurat pada puing bangunan itu kini sudah tak tampak lagi. Perlahan sirna seiring senyuman dan canda tawa kami sekeluarga. Sepahit-pahitnya kenangan itu, ada cerita menarik yang membuat saya tersenyum, bahkan tertawa. Cerita ini tentang almarhum Opa saya yang meskipun kehilangan anak pertama, calon cucu dan rumah tercinta tetapi selamat dari terjangan banjir yang berlumpur itu. Saat itu beliau sudah berumur 59 tahun. Tidak ada firasat apapun bahwa bencana besar akan menimpa keluarga dan komunitasnya. Hujan memang sedang turun sederas-derasnya, seperti tak mau berhenti. Ternyata bahaya sedang mengintai di puncak Ile (gunung) Mandiri. Sebuah gunung tak berapi yang “melahirkan” legenda raja-raja Larantuka. Salah satu sisi gunung itu tak kuat menopang air hujan yang volumenya terus bertambah. Airnya meluap dan “menerjang” kota yang tenang itu. Lumpur dan batu turut dibawa dan memporak porandakan apa saja yang dilewati. Bunyi batu-batu raksasa yang berguling dari lereng gunung menuju kota mengagetkan masyarakat yang sedang terlelap tidur. Serempak semuanya berhamburan keluar rumah tak tentu arah. Suasana malam yang tenang berubah menjadi riuh. Wajah panik dan teriakan beradu. Begitu juga Opa dan keluarga saya yang

lainnya. Mereka sudah meninggalkan rumah namun karena teringat akan radio kesayangan, Opa saya memutuskan untuk kembali ke rumah. Demi radio kesayangan beliau nekad, meski banjir lumpur itu kian mendekat. Niat beliau tak kesampaian karena banjir lebih dahulu menerjang rumah beserta isinya. Opa saya sempat terseret banjir namun beliau berhasil menggapai ranting pohon sambil berjuang melawan arus banjir yang menyeretnya ke arah pantai. Setelah banjir berlalu, masyarakat yang masih ketakutan kembali melihat kondisi rumah dan mencari sanak keluarganya. Beberapa keluarga Ayah dan warga lainnya turut mencari Opa yang tadi terpisah karena ngotot menyelamatkan radio kesayangannya. Rasa khawatir menghinggapi mereka. Mereka terus berteriak memanggil Opa namun tidak ada jawaban sama sekali. Ternyata ada seorang warga yang melihat sesosok pria sedang bergantungan pada ranting sebuah pohon, namun tak dapat dikenali karena wajahnya tertutup Lumpur. Kaos dan sarung yang dikenakannya juga kotor bercampur lumpur. Warga pun bergegas menurunkan sosok tersebut dan setelah membersihkan Lumpur di wajahnya baru dikenali. Ternyata Opa saya yang terlihat lelah karena cukup lama ia bergantungan sambil melawan terjangan banjir. Meskipun nekad menyelamatkan radio kesayangan, beliau masih memiliki semangat hidup yang tinggi. Saat itu pasti suasana haru dirasakan keluarga saya, namun kini cerita tersebut selalu mengundang tawa bagi kami sekeluarga dan menjadi salah satu kenangan yang tak terlupakan. Beliau telah meninggal beberapa tahun yang lalu ketika sudah berusia 84 tahun. Saya masih terus berpikir, demi radio kesayangan beliau berani menyabung nyawa. Rest In Peace Opa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun