[caption id="attachment_170017" align="aligncenter" width="360" caption="Sumber: yohanesbernard.multiply.com"][/caption]
Saya sering iseng melakukan googling nama sendiri atau orang terdekat untuk mengetahui jejakku dan jejaknya di dunia maya. Terkadang saya juga melakukan googling nama orang yang telah meninggal, bahkan jauh sebelum dunia maya menyaingi dunia nyata seperti saat ini.
Beberapa waktu yang lalu saya iseng mencari nama Herman Fernandez dan menemukan beberapa blog yang isinya sama yaitu mengisahkan bahwa beliau merupakan salah satu Tentara Pelajar (TP) --kesatuan Perpis (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi)-- yang tertangkap di desa Sidobunder, Kebumen. Blog-blog tersebut berdasarkan buku Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudet 66, terbitan Visimediayang ditulis oleh saksi hidup yaitu Maulwi Saelan. Pada bab yang berjudul Bertempur hingga peluru terakhir dijelaskan secara detail pertempuran di Sidobunder dan anak buahnya yang bertempur hingga peluru terakhir.
Kisah tentang pertempuran di Sidobunder ini --khususnya Herman Fernandez-- juga sempat disinggung oleh bung Toto Wirjosoematro dalam tulisannya di Kompasiana dengan judul Missing Link Mising In Action
Mengapa saya melakukan googling nama Herman Fernandez? Pertama, beliau merupakan saudara sepupu dari Opa saya --dari keluarga ayah-- dan sejak kecil kisah heroiknya sudah diceritakan di dalam keluarga kami. Tentu saja hal ini memunculkan kebanggaan bagi saya sejak kecil hingga sekarang. Beliau merupakan salah satu pahlawan Nasional yang berasal dari NTT dan patungnya menghiasi pusat kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur.
Kedua, saya merupakan salah satu penggemar sejarah bangsa ini, khususnya sejarah kecil yang belum banyak dikisahkan, oleh karena itu saya ingin mengetahui lebih banyak tentang sosok Herman Fernandez. Sayangnya selama berkuliah di Jogja saya tidak menyempatkan waktu untuk menelusuri jejaknya, hanya pusara hampanya yang saya kunjungi. Pusaranya yang terletak di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta hanya sebuah makam kosong karena jenazahnya tidak pernah ditemukan. Mungkin jenazahnya pernah ditemukan namun sulit diidentifikasi seperti ribuan jenazah pahlawan tak dikenal lainnya. Kisahnya secara khusus pernah dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit Nusa Indah --sebuah penerbit lokal-- semasa saya kecil, namun sekarang tidak dicetak lagi. Pada tahun 2005, Yayasan Cinta Flobamora Abdi (SANTARADI) menerbitkan buku Ensiklopedi tokoh-tokoh NTT dan Herman Fernandez menjadi salah satu tokohnya. Tulisan ini ingin melengkapi kisah tentang Herman Fernandez yang memilih "lebih baik mati ditembak Belanda daripada mati konyol".
Beliau terlahir dengan nama lengkap Herman Yosep Fernandez pada tanggal 3 Juni 1925 di Ende, sebuah kabupaten di tengah pulau Flores. Kedua orang tuanya --Markus Suban Fernandez dan Fransisca Theresia Pransa Carvallho-- berasal dari Larantuka sehingga sosoknya lebih dekat di hati masyarakat Larantuka. Semasa kecil, anak ke empat dari dua belas bersaudara ini dikenal sebagai anak pendiam tetapi cekatan dan berkemauan keras. Jiwa petualangnya sudah kelihatan sejak kecil karena hampir semua gunung dan bukit di tanah kelahiran pernah dijelajahinya. Selain berpetualang, kegemaran lainnya saat kecil adalah membuat Katapel --beliau cukup mahir dalam membidik burung-- dan parang dari besi-besi bekas. Menurut cerita keluarga, kepiawaiannya membidik sasaran merupakan warisan dari sang ayah yang --merupakan punggawa raja Larantuka-- sangat mahir dalam menggunakan bedil.
Pada tahun 1941 ia tamat dari Schakel School (SMP zaman Belanda) dan berencana melanjutkan ke Hollands Inlandsce Kweekshcol (HIK) Muntilan atau Sekolah Guru Bantu (HGB) bersama sahabatnya Frans Seda, mantan menteri keuangan Orde Lama dan menteri perhubungan di Kabinet Pembangunan I. Keinginannya ini ditentang oleh sang Ibu, namun karena memiliki kemauan keras maka sang ibu pun akhirnya mengalah meski dengan berat hati.
Di HIK Muntilan, Herman Fernandez menjalin persahabatan dengan Yos Sudarso --teman sebangkunya--, Slamet Riyadi, Alex Rumambi, mantan Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu-RI yang berjuang bersamanya di Sidobunder serta tokoh-tokoh nasional lainnya. Sayangnya baru setahun bersekolah, Jepang sudah menduduki pulau Jawa sehingga merekapun diangkut ke Mertoyudan untuk dilatih menjadi Sainendan dan Kaibonden. Hal ini ditolak oleh Herman Fernandez dan teman-temannya yang berasal dari luar pulau Jawa dan diam-diam mereka menumpang kereta api ke Yogyakarta. Oleh karena tidak memiliki keluarga dan kenalan di Yogyakarta maka hidup mereka pun terkatung-katung sehingga Herman Fernandez dan Alex Rumambi terpaksa menerima pekerjaan sebagai buruh tambang Batubara di Cikotok. Sebagian pendapatan yang diperoleh dikirim ke Yogya untuk biaya sekolah Frans Seda dan teman-temannya yang lain.
Ketika pecah Revolusi pada tahun 1945, Herman Fernandez dan Alex Rumambi kembali ke Yogyakarta dan bergabung dengan Keris (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Kemudian ia membentuk Gerisk (Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil) bersama Prof. Dr. Ir Herman Yohanes --mantan menteri PU Orde Lama--, Frans Seda serta teman-temanya yang kebanyakan berasal dari NTT. Terakhir Herman Fernandez bergabung dengan Perpis (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi) di bawah komando Maulwi Saelan (mantan wakil komandan Tjakrabirawa). Perpis bergabung dengan Resimen Hasanudin yang dipimpin oleh Andi Matalatta dan kemudian berubah menjadi Resimen Hasanudin Seksi Pelajar.
Pada tahun 1947 Markas Besar Tentara Pelajar (TP) mengirim beberapa kesatuan TP ke Sidobunder, Kebumen Jawa Tengah untuk memperkuat pertahanan TRI (Tentara Rakyat Indonesia). Perpis yang dipimpin Maulwi Saelan termasuk yang dikirim. Pada tanggal 1 September 1947 --satu malam setelah Perpis tiba di Sidobunder-- berkembang kabar bahwa pasukan Belanda telah mengadakan pemusatan pasukan di Karanganyar, maka pasukan di bawah komando Maulwi Saelan ini dipercaya untuk menghadang Belanda di jalan menuju Karanganyar.