Mohon tunggu...
Yohanes Apriano Dawan Fernandez
Yohanes Apriano Dawan Fernandez Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang putra daerah yang saat ini menetap di kota industri yang hirup pikuk. Terkadang hal kecil menjadi inspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bingung Menerima Puluhan Undangan Hajatan

14 April 2012   19:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:36 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_181969" align="aligncenter" width="309" caption="ilustrasi/nsikome.blogspot.com"][/caption] Hari ini beberapa saudara saya di kampung halaman (Flores Timur) membuat status "galau" di Facebook karena menerima undangan hajatan yang sangat banyak. Ada yang menerima 18 hingga 35 undangan dengan waktu hajatan yang bersamaan atau berdekatan. Semua undangan berisikan acara yang sama yaitu merayakan Sakramen Ekaristi atau Komuni Pertama yang diterima oleh anak dari pihak yang mengadakan hajatan. Secara sederhana Sakramen Ekaristi atau Komuni Pertama merupakan salah satu upacara keagamaan dalam agama Katolik yang "mengizinkan" seorang anak--berumur 9-10 tahun--terlibat dalam perjamuan kudus di Gereja setelah melalui proses bimbingan agama oleh guru agama atau rohaniwan dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena mayoritas penduduk di kampung halaman saya beragama Katolik maka momen ini selalu dirayakan dengan cukup meriah sama seperti pesta pernikahan atau kematian. Komuni Pertama ini biasanya berlangsung pada bulan April--setelah Paskah--sehingga saat ini di kampung halaman saya sedang "musimnya" pesta Komuni Pertama atau Sambut Baru dalam istilah setempat. Oleh karena kampung halaman saya merupakan sebuah kota kecil yang hampir semua warganya saling mengenal satu sama lain, maka setiap orang tua yang anaknya menerima Komuni Pertama--biasanya mencapai ratusan anak--mengundang semua warga yang dikenalnya. Tidak heran jika saat musimnya seperti ini maka setiap orang bisa menerima undangan hingga puluhan. Kondisi demikianlah yang membuat keluarga saya bingung harus menghadiri yang mana dan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan. Meskipun hanya Rp. 5.000,- tapi jika dikalikan sekian banyak undangan maka cukup menyesakkan dada. Kondisi yang sama juga bisa terjadi saat musim pernikahan tiba.

[caption id="attachment_181970" align="aligncenter" width="438" caption="Ilustrasi/Google Maps"]

13344325071407479437
13344325071407479437
[/caption] Budaya yang Melenceng Meskipun menyesakkan dada dan membuat bingung namun hanya menerima undangan untuk menghadiri pesta tidak terlalu memusingkan kepala jika dibandingkan dengan orang yang menerima undangan untuk turut hadir dalam acara Kumpu(l) Kampo(ng) (acara pra pesta) untuk membantu pendanaan pesta tersebut. Pada dasarnya orang yang diundang masih memiliki hubungan keluarga dengan yang memiliki hajatan dalam sebuah sistem kesukuan. Perlu diketahui bahwa budaya di daerah Flores Timur memberikan kuasa dan peran yang besar bagi suku atas setiap individu ketimbang keluarga kandungnya. Sayangnya dewasa ini bukan hanya keluarga atau sukunya saja yang diundang namun semua orang yang dikenalnya juga diundang untuk membantu dana dari pesta yang akan diadakan tersebut. Nama-nama penyumbang pun dicatat pada buku berikut nominalnya secara face to face sehingga orang akan malu jika hanya menyumbang sedikit dan catatan ini akan mengingatkan jika suatu saat ia diundang. Nominal yang dikeluarkan setidaknya minimal Rp. 50. 000,- namun hampir setiap orang yang memiliki hajatan melakukan hal seperti ini sehingga tiap keluarga bisa mendapat undangan Kumpu(l) Kampo(ng) yang cukup banyak. Alhasil anggaran rumah tangga pun menjadi defisit. Banyak orang yang terpaksa berhutang karena kondisi ekonominya yang pas-pasan dengan niat suatu saat ia akan dibantu jika mengadakan pesta. Perbuatan timbal balik yang sama analoginya dengan "gali lobang tutup lobang". Otokritik yang sulit diterima karena membudaya. Tidak "putus-putusnya" pesta (sering terjadi) ini membuat keluarga saya di kampung halaman sering kali berkeluh kesah mengenai kebiasaan masyarakat setempat yang sangat suka berpesta namun merepotkan orang lain. Mereka menjadi bagian dari sistem sosial tersebut sehingga posisinya serba tidak mengenakkan. Jika meminjam istilah Warkop DKI maka maju kena, mundur juga kena. Tulisan ini saya tutup dengan update status teman saya yang berbunyi "Harga BBM belum naik, harga arak sudah naik". Pesta di kampung halaman saya terasa hambar jika para tamu tidak disuguhi arak, sehingga saat musim pesta seperti ini harga arak melambung tinggi dan sering kehabisan stock karena sudah diboking sebulan sebelumnya oleh yang punya hajatan. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun