Mohon tunggu...
Yohanes Apriano Dawan Fernandez
Yohanes Apriano Dawan Fernandez Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang putra daerah yang saat ini menetap di kota industri yang hirup pikuk. Terkadang hal kecil menjadi inspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wahai Pemimpin, Ubahlah Paradigmamu Tentang Kaum Miskin Kota!

5 Maret 2012   07:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:29 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_174967" align="alignnone" width="512" caption="Ilustrasi/fdr-indonesia.blogspot.com"][/caption]

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia adalah pemukiman-pemukiman kumuh yang menempati berbagai lahan kosong milik negara maupun swasta secara ilegal. Kebanyakan pemukiman ini memiliki sejarah yang panjang dengan latar belakang masyarakatnya yang kebanyakan hidup dalam taraf kemiskinan sehingga mereka terkenal dengan istilah kaum miskin kota (Urban Poor). Sebagian besar kaum miskin kota ini menggantungkan kehidupannya di sektor informal secara swadaya tanpa bantuan dari pemerintah kota maupuun pusat. Terlepas ada yang menjadi pengemis atau pengamen, banyak kaum miskin kota yang mencari nafkah secara mandiri meski tidak pernah menjadi subjek pembangunan kota.

Ternyata kemandirian ekonomi para kaum miskin kota sering "diganggu" oleh negara dengan mengggusur lapak-lapak mereka tanpa memberikan solusi. Menempati fasilitas umum seperti trotoar atau jalanan ternyata bukan satu-satunya alasan terjadi penggusuran karena kepentingan ekonomi juga menjadi salah faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah tersebut. Tak dipungkiri kepentingan ekonomi para pemiliki modal mempengaruhi kebijakan untuk merenovasi pasar-pasar tradisional beberapa tahun terakhir ini. Sayangnya renovasi pasar secara terlubung akan menggusur para kaum miskin kota karena menerapkan tarif sewa kios yang jauh lebih mahal dari sebelumnya. Tarif kios bisa lebih mahal dari pendapatan yang diperoleh sehingga pemilik kios pun beralih ke pedagang-pedagang besar dengan modal yang kuat. Jika begini maka pasar yang sejak dulu menjadi ruang ekonomi bagi rakyat miskin bisa dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula! Itulah nasib yang dialami kaum miskin kota karena setelah ekonomi mereka dirampas, kehidupan sosialnya pun dirampas juga. Pemukiman mereka dianggap ilegal sehingga bahaya penggusuran mengintai setiap saat. Jika tidak digusur maka kebijakan struktural lain --secara perlahan namun pasti-- membatasi hak-hak mereka sebagai warga negara, bahkan mereka tidak dianggap sebagai warga negara karena tidak memiliki KTP. Lihat saja kasus masyarakat tanah merah yang telah membangun pemukiman mereka secara mandiri selama puluhan tahun namun hingga sekarang belum memiliki KTP. Tidak memiliki KTP memiliki multiplier effect yang semakin memiskinkan mereka karena tidak dapat mengurus akte kelahiran anak-anaknya.  Konsekuensinya adalah anak-anak mereka tidak bisa bersekolah dan mencari pekerjaan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Tidak memiliki KTP pun membuat mereka kesulitan mengurus Jamkesmas dan berbagai fasilitas lain yang menjadi haknya serta berbagai kesulitan lainnya.

Mereka orang Indonesia! Nenek moyangnya bagian dari tanah air kita, jadi sejak lahir mereka sudah menjadi warga negara ini dan negara harus mengakuinya secara de facto maupun de jure. Hal inilah yang sering dilupakan oleh pemimpin struktural negara ini terutama di perkotaan. Kaum miskin kota sering tidak dianggap sebagai warganya sendiri sehingga banyak kebijakan yang semakin memarginalkan mereka. Maka terjadilah penggusuran tanpa memberikan solusi.

[caption id="attachment_174971" align="aligncenter" width="368" caption="Ilustrasi/m.sidonews.com"]

1330931818133860570
1330931818133860570
[/caption]

Betapa menyesatkannya paradigma pemimpin bangsa ini yang tidak pernah menjadikan rakyat miskin kota sebagai bagian dari perkembangan kota. Maka pantaslah pada debat pilpres tahun 2004 --kalo salah mohon koreksi-- Agum Gumelar menyamakan pemukiman "ilegal" di tanah negara seperti orang asing yang menduduki tanahnya sehingga ia pantas untuk mengusir orang asing tersebut. Hal sama juga menjadi paradigma para kepala daerah di kota-kota besar negara ini --kecuali Jokowi-- yang melihat kaum miskin kota sebagai orang asing yang tidak akan diakuinya. Mereka lupa bahwa kaum miskin kota ini  diamanatkan oleh UUD 45 untuk dilindungi oleh negara. Oleh karena itu jika masyarakat terlanjur mendirikan pemukiman di tanah negara selama puluhan tahun maka tidak ada salahnya negara mengakuinya. Reformasi agraria perlu dilakukan dalam hal ini sembari lebih fokus mendirikan pemukiman-pemukiman murah bagi mereka.

Jika Fausi Bowo (Foke) bisa meresmikan perumahan pantai indah kapuk dengan memotong pita mengapa tidak bisa meresmikan pemukiman rakyat yang menampung para kaum miskin kota di Jakarta? Perlu keberpihakan untuk merealisasikan ini dan yang terpenting adalah ubahlah terlebih dahulu cara berpikir anda yang menjadi pemimpin struktural negara ini! Jika mengatasi masalah dengan masalah maka masalah itu tidak akan akan pernah terselesaikan meski pemilu demi pemilu berlalu. Ternyata 14 tahun reformasi belum mampu mengubah paradigma pemimpin negara ini. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun