Mohon tunggu...
Yohan Christianto
Yohan Christianto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yohan adalah Yohan

Yohan adalah Yohan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Aku, Kamu, dan Teroris

8 Desember 2015   08:40 Diperbarui: 8 Desember 2015   08:40 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teroris belakangan ini menyita perhatian banyak orang. Teroris adalah sekelompok orang yang melakukan tindak kekerasan untuk menimbulkan rasa takut demi mencapai tujuan politik tertentu, kurang lebih begitulah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan teroris. Teroris tentu saja lekat dengan kata 'teror'. KBBI mendefinisikan kata tsb sebagai 'usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan'. Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa teroris adalah orang yang melakukan teror.

Masing-masing kita punya gambaran tertentu ketika kita mendengar atau menyebut kata 'teroris'. Gambaran tsb mungkin berbeda dalam detail tertentu, tapi kita semua punya gambaran yang sama bahwa seorang teroris adalah orang yang lekat dengan senjata, bahan peledak, dan kekejaman. Banyak orang juga melekatkan teroris dengan suku, agama, dan figur fisik tertentu. Dari gambaran-gambaran yang ada, melekatkan teroris dengan perilaku teror yang mereka lakukan membuat kita lebih mudah memahami siapa teroris itu.

Perilaku teror hadir dalam berbagai metode dan skala. Sadar atau nggak, kita juga melakukan perilaku tsb, tiap orang dalam kadar yang berbeda. Perilaku teror yang paling dekat dengan kita ada dalam diri kita, muncul dalam apa yang disebut Albert Ellis, penggagas REBT (Rational Emotive Behavioral Therapy) sebagai thinking errors, yang meliputi perilaku ignoring the positive (mengabaikan yang positif), exaggerating thenegative (membesar-besarkan yang negatif), dan overgeneralizing (menyamaratakan hal/orang). Tanpa menghunus pedang, memberondongkan machine gun, atau menarik detonator, sehingga darah tertumpah, kita sudah menjadi teroris ketika kita memilih berpikir dalam kerangka thinking errors tadi. Teroris yang melakukan teror pertama-tama terhadap diri sendiri, kemudian terhadap orang lain di sekelilingnya.

Satu hal yang pasti, siapapun itu dan apapun perilaku teror yang dia lakukan, akan membawa keresahan dan dampak yang merusak. Kita semua membutuhkan 'anti teror' bagi diri kita. Mengutamakan hal yang positif, mengabaikan yang negatif,  dan mau memahami keunikan setiap orang/kekhasan setiap peristiwa adalah anti teror yang ampuh, itulah salah satu modal untuk berlaku baik pada jiwa, pada diri, dan pada roh kita. Kita bukan teroris, kita pembawa damai, bagi diri kita, orang lain,  dan alam ini,  sama seperti Sang Pemberi Damai, karena kita dan Dia satu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun