Mohon tunggu...
Yohan Christianto
Yohan Christianto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Yohan adalah Yohan

Yohan adalah Yohan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menanti Pagi Datang

12 Desember 2015   20:53 Diperbarui: 12 Desember 2015   20:53 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama dia berdiri di situ, di tepian jendela jiwa. Dia menunggu dan menghitung satu demi satu tanpa menjadi jemu. Pada malam hari dia mencari api yang menghangatkan diri dari dingin yang tak terperi, dia berbagi muram dengan sinar bulan temaram dan angin yang mendesis geram. Sudah lama dia memperhatikan bunga itu dari balik jendela jiwanya. Dia hanya diam, namun itu tak berarti dia tak bergumam, mengucap selaksa harap di tengah malam muram, berharap akan merengkuh kembali apa yang hancur luruh, luluh lantak bersama malam kelam.

Saat angin menapak senyap, dia masih di sana, terjerembab dalam harap…

Ada kalanya dia menutup jendela itu, membiarkan diri beku dalam dingin tak terperi, dan menyibak malam muram. Dia seakan ingin karam. Wajah-wajah telah datang dan pergi, jiwa-jiwa telah singgah, menyapa ramah, namun semua tak tergapai olehnya. Dia lelah, dan selalu kembali kepada jendela kecilnya, membukanya, mendengar suaranya yang berderit berat, sarat dengan karat jiwa. Dia masih di sana, masih diam memandangi bunga itu, mencoba meraih keindahan yang tak tersentuh dan masih mencoba merengkuh apa yang hancur luruh, luluh lantak bersama malam kelam.

Saat awan putih berarak berdesak, diapun masih di sana, walau benak sesak oleh onak…

Waktu tetaplah waktu yang setia berpacu, hari yang tak pernah berhenti berlari, dan detik yang selalu menitik di tepian jiwa yang termangu menunggu. Dia hanya diam memandang dan berdendang sepi dalam iringan derap waktu yang berpacu. Dia lelah namun tak mau kalah. Dibukanya jendela kecil itu lebar-lebar, tak ada lagi yang bisa ditawar, dikepakkannya sayapnya, terbang menjulang, datang pada pagi yang dirasanya telah datang…

Pagi tak selalu berseri, kadang ia menjadi siang yang panas memanggang dan menyerang dengan garang… Diapun mengerang…

Tak ada lagi bunga itu. Siang telah membawanya pulang.

Saat angin menapak senyap seiring awan putih berarak berdesak, hari yang berdebu telah membawanya ke sana…

Belum lama dia berbaring di situ. Dia menunggu dan menghitung satu demi satu tanpa merasa jemu. Dia tersenyum berseri pada pagi yang dirasanya telah datang…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun