Menjelang hari raya idul fitri identik dengan istilah THR (Tunjangan Hari Raya) yang dikenal sebagai hadiah tambahan uang untuk menyambut hari raya. Hadiah yang diberikan beragam, mulai dari yang harganya 50.000 hingga jutaan rupiah. Berbagai kalangan dari beragam usia ikut andil dalam menikmati euforia kirim dan terima bingkisan ini.
Tak jarang pula pedagang online menghadiahkan produknya kepada selegram atau publik figur secara cuma-cuma, yang tentunya akan dibalas dengan me-review produk dagangan atau sekedar ucapan terima kasih kepada pemberi hadiah. Terlepas ada atau tidaknya konflik kepentingan, kegiatan pemberian hadiah semacam ini banyak dijumpai, terutama menjelang hari-hari besar.
Bagaimana jadinya jika praktik semacam ini dilakukan oleh pejabat publik, sebagaimana data yang dihimpun KPK menunjukan adanya 14 laporan penerimaan gratifikasi sejak 24 april hingga 19 Mei 2020. 9 pelaporan berasal dari 5 kementrian, 3 laporan dari 3 pemerintahan daerah, dan 2 laporan dari 2 BUMN/BUMD.
Banyaknya laporan yang muncul merupakan respon dari surat yang di terbitkan KPK pada 13 Mei lalu, dalam Surat Edaran No.14 Tahun 2020 tentang Pengendalian Gratifikasi Terkait Momen Hari Raya, yang isinya menghimbau kepada para pejabat negara baik di lingkungan kementrian maupun lembaga untuk menolak gratifikasi.
Gratifikasi dapat dianggap suap jika ada hubunganya dengan jabatanya dan berlawanan dengan tugas dan kewajibanya, motif yang jamak dijumpai dalam praktik ini berupa gratifikasi yang dapat mempengaruhi pejabat publik dalam mengambil keputusan.
Misalkan disuatu kementrian terdapat proyek pengadaan pembangunan gedung baru dan pak Yoga mempunyai jabatan kusus yang dapat menentukan perusahan mana yang dapat dipilih untuk proyek pengadaan . Mengetahui rencana itu, Menejer PT XX memberikan hadiah berupa motor sport kepada anak dari pak Yoga.
Atas perlakuan khusus PT XX kepada keluarganyat, Pak Yoga merasa berhutang budi, dan tentunya dapat mempengaruhi independensi pak Yoga untuk memilih perusahan yang akan menang tender dalam proyek di kementriannya.
Meski terlihat seperti ajang balas budi dan tidak ada yang merasa dirugikan, namun praktik semacam ini tetap mempunyai konsekuensi hukum karena kaitanya dengan kedudukan pelaku yang merupakan pejabat dibawah kementrian. Oleh karena itu, Undang-Undang mengatur keras sanksi terhadap penerima gratifikasi.
Praktik semacam ini beragam, sesuai dengan betuk dan peran dari instansi negara. Contoh lain dari praktik gratifikasi serupa misalnya memberi hadiah untuk promosi jabatan tertentu, memberi bingkisan untuk diterima di institusi tertentu, maupun memberi kado untuk memenangkan kasus tertentu.
Aturan yang mengatur hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang melakukan praktik gratifikasi dapat di lihat pada UU Tipikor Pasal 12 B ayat (2) yaitu dapat dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dengan denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak 1 miliar.
Praktik gratifikasi yang terkesan tertutup dan terstruktur, diperlukan sikap proaktif para pegawai negeri dan penyelenggara negara untuk melaporkan melalui kanal-kanal pengaduan yang disediakan oleh KPK, melalui Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) maupun melalui Aplikasi Gratifikasi Online (GOL) yang juga dapat diunduh melalui Android dan IOS. Partisipasi masyarakat juga diperlukan untuk turut melaporkan, jika menemukan tindakan-tindakan yang mengarah pada gratifikasi.