Pernyataan Sikap
Front Mahasiswa Nasional (FMN)
Mendukung Penuh Perjuangan Mahasiswa Ugm Untuk Mendapatkan Hak-Hak Demokratisnya
“Hentikan Privatisasi dan Komersialisasi Pendidikan-Lawan segala Bentuk Tindak kekerasan di Sektor Pendidikan”
Liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia dimulai sejak adanya kesepakatan yang sudah diratifikasinya GATS (General Agreement on Trade Service) oleh pemerintah pada tahun 1995. Kesepakatan itu menjadikan pendidikan tinggi dijadikan salah satu komoditas perdagangan dan jasa. Dengan menjadikan pendidikan tinggi sebagai salah satu komoditas perdagangan jasa maka setiap input, proses dan output penyelanggaraan pendidikan tinggi harus melahirkan profit atau keuntungan terhadap institusi pendidikan. Hal ini terlihat sejak pemerintah mengesahkan PP no 61 tentang PT BHMN pada tahun 1999 dan menetapkan 7 PTN sebagai PT BHMN seperti UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI dan UNAIR. Sejak ditetapkannya ke lima PTN tersebut sebagai wujud kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi yang melahirkan praktek komersialisasi pendidikan.
Penetapkan kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi akan mendatangkan keuntungan bagi pihak institusi pendidikan melalui seperti penjualan hak cipta, kerjasama, perjanjian, penelitian, penyewaan fasilitas, biaya pendidikan yang tinggi, pendirian badan usaha dan atau portofolio. Dengan bentuk-bentuk tersebutlah suatu perguruan tinggi akan mendanai kebutuhan atas pembiayaan suatu perguruan tinggi. Padahal sudah seperti yang kita ketahui bahwa penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab Negara baik dalam aspek pendanaan, penyediaan fasilitas dan sebagainya yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Berbagai jurusan baru untuk memenuhi kebutuhan pasar dibuka oleh perguruan tinggi, tak terkecuali Universitas Gajah Mada. Pembukaan program studi tersebut selain memenuhi kebutuhan pasar juga dimanfaatkan kampus untuk mengeruk dana dari mahasiswa, terlebih saat diberlakukan otonomi kampus.
Brand Image yang sudah dimiliki UGM, menjadikan lulusan Sekolah Menengah Atas dari berbagai penjuru tanah air berbondong-bondong menyandarkan nasibnya di kampus tersebut. Bahkan, menjadi kebanggan tersendiri jika bisa mengenyam pendidikan di Kampus Kerakyatan itu. Namun, kebanggan itu sekarang telah sirna, mahasiswa sekolah vokasi UGM terancam tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi akibat ditutupnya program S1 Ekstensi dan swadaya. Setelah diterbitkan Keputusan rektor UGM No. 599/P/SK/HT/2010 Diktum MEMUTUSKAN bagian KELIMA, Dengan berlakunya keputusan ini, surat rektor UGM Nomor 6087/P/Se.R/2009 tanggal 20 agustus 2009 tentang kesempatan kuliah lulusan Cum-Laude Program D3 dinyatakan tidak berlaku.
Sementara dalamPERATURAN REKTOR UGM NOMOR 518/SK/HT/200B tentang SEKOLAH VOKASI, diatur tentang perubahan status diploma beralih menjadi SEKOLAH VOKASI. Dengan ditetapkan peraturan ini, semua fakultas dilingkungan universitas dilarang menyelenggarakan program Diploma. Tetapi pasal 36 ayat 2, dalam hal SV menyelenggarakan program D4, maka semua fakultas dilingkungan unversitas yang menyelenggarakan program S-1 swadaya akan diatur kembali berdasarkan keputusan rektor. Pasal 1 ayat 4, SV adalah lembaga pendidikan diploma sebagaimana dimaksud dalam anggaran rumah tangga UGM yang merupakan unsur pelaksana akademik sederajat dengan politeknik yang menyelenggarakan program pendidikan Vokasi dan/atau pendidikan profesi mencakup program diploma pada jenjang D1,D2,D3, dan D4 yang bersifat terminal.
Dalam BAB 4 KETENTUAN PERALIHAN pasal 35 ayat 4 Pimpinan SV dan pimpinan Fakultas yang terkait bertanggung jawab untuk terselenggaranya kelancaran proses pengalihan status mahasiswa, dosen, aktiva dan pasiva tanpa mengganggu kelancaran proses pembelajaran dan tidak merugikan mahasiswa. Penutupan Program SI ekstensi dan swadaya sangatlah merugikan mahasiswa. Forum Komunikasi Mahasiswa Vokasi menilaiKebijakan rektor terkait sekolah vokasi belum matang dan harus dikaji ulang karena banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Minimnya lapangan pekerjaan menjadikan prospek lulusan sekolah vokasi belum jelas. Bahkan penerapan sekolah vokasi di Universitas Gadjah Mada tidak berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi negara saat ini.
Disisi lain, berapa jurusan vokasi masih bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Tingginya biaya di sekolah vokasi pun tidak berdampak pada peningkatan fasilitas penunjang kegiatan belajar mahasiswa. Hal ini semakin memperterang, masih adanya praktik diskriminasi terhadap mahasiswa UGM.