Mohon tunggu...
Yogi Susatyo
Yogi Susatyo Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Menaruh minat besar pada sejarah sosial Indonesia, susastra kontemporer, dan isu-isu urban.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Setelah Oran

30 Juli 2024   00:01 Diperbarui: 30 Agustus 2024   21:17 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A. Camus, circa 1944. Dipotret oleh Henri Cartier-Bresson (1908-2004). 

Pada akhir dari novel The Plague (Penguin, 1960), narator cerita baru mengakui bahwa dirinya
adalah Bernard Rieux, seorang dokter yang bekerja di kota fiksi bernama Oran ketika
kota tersebut menderita wabah sampar yang amat ganas selama beberapa tahun. Rieux
adala pelaku sekaligus pengamat dari sebuah tragedi—dan pengalamannya akan sampar
yang melanda Oran sebenarnya menjelaskan absurditas hidup yang berusaha dijelaskan
oleh pengarang buku The Plague sendiri, Albert Camus (1913-1960). Dan sebagaimana
kota Oran yang mulai pulih dari wabah, dunia saat ini juga mulai pulih dari COVID-19
dan bayang-bayang kelam akan kematian dan ketidakpastian setidaknya mulai pudar.
Pada akhirnya hidup berjalan terus dan kita, yang masih hidup dan bernapas, pelan-pelan
mulai meninggalkan mimpi buruk yang sempat membayangi semua orang dalam
beberapa tahun terakhir: untuk mati tiba-tiba, terpencil dan dikucilkan, lalu dikubur
sendirian.

Ada banyak hal yang sebenarnya dapat dipelajari dari wabah COVID-19: bahwa
pemerintah yang responsif jelas dibutuhkan, bahwa masyarakat yang melek akan ilmu
pengetahuan itu penting, bahwa hidup harus terus disyukuri meskipun kita terpaksa
menerima kematian hampir setiap saat. Bahwa sektor kesehatan tidak boleh terus menerus eksklusif; bahwa kohesi sosial masyarakat Indonesia memang sudah di titik rentan (dan harus segera diperbaiki selekas mungkin); bahwa pagebluk membawa
dampak ekonomi dan sosial yang mau tidak mau harus kita hadapi di waktu mendatang; bahwa bangun pagi dan melihat semua anggota keluarga masih ada di tempat masing-masing adalah sebuah anugerah. Bahwa wabah adalah sesuatu yang berat namun akan
lewat. Dan pada akhirnya kita sampai pada titik dimana pemerintah cukup yakin untuk
mengendurkan prosedur PPKM akibat target vaksinasi yang sudah tercapai. Hidup
kembali lagi normal dan kita bisa pergi kemanapun tanpa dibayangi ketakutan.


Setahun yang lalu sebuah artikel mengenai Mite Sisifus muncul di laman pers mahasiswa
kampus saya. Artikel itu membicarakan mengenai interpretasi sang empunya tulisan akan
persepsi Camus akan Mite Sisifus. Ketika pertama kali membaca artikel tersebut, saya
keberatan dengan bagaimana artikel tersebut menginterpretasi argumen Camus mengenai
Sisifus. Mengapa memilih untuk membayangkan bahwa diri kita bahagia jika pada
kenyataannya tidak sama sekali? Adalah dangkal untuk melihat Sisifus sebagai sosok
yang optimis mampus ketika dirinya dikutuk selamanya untuk menjalani penderitaan
yang tidak ada habis-habisnya.

Dua tahun kemudian, saya membaca artikel yang sama dan baru menyadari beberapa hal:
bagi anggota dari generasi muda yang sudah jengah degan kuliah dan ketidakpastian
hidup yang menunggu setelah lulus pendidikan tinggi dan juga sedang terjebak di tengah
pandemi COVID-19, untuk hidup normal, berfungsi sebagai manusia dan tetap
mendapatkan nilai bagus saja sudah sebuah anugerah. Pada akhirnya Sisifus dilihat
sebagai perwujudan untuk nrimo terhadap situasi yang ada, meskipun sebenarnya inti dari
Mite Sisifus bukan sekedar membayangkan bahwa Sisifus bahagia. Makna dari Mite
Sisifus yang asli adalah bagaimana semua hasil dari aksi yang dibuat oleh manusia akan
melahirkan reaksi dan semua penderitaan yang diterima Sisifus adalah bagian dari
konsekuensi. Namun mungkin yang kurang banyak dibahas adalah bagaimana
sebenarnya akar dari penderitaan Sisifus adalah kecintaannya pada kehidupan dan oleh
karenanya ia selalu menolak untuk mati, dan ujung dari semua upayanya untuk menolak
kematian adalah dikutuk selamanya untuk mendorong batu ke puncak bukit. Karma akan
pembangkangan Sisifus menjadi titik utama dari bahasan Camus: bagaimana untuk
menerima penderitaan dan kebahagiaan sebagai dua sisi dari satu koin yang sama, dan
menerima keduanya adalah jalan untuk menerima hidup seutuhnya.
Pandemi mengajarkan kita bahwa kematian adalah sesuatu yang dekat—dan kehidupan
adalah sesuatu yang patut untuk disyukuri. Dan The Plague sebenarnya dapat
diinterpretasi sebagai upaya Camus untuk menjelaskan mitos Sisifus sendiri. Dalam novel
itu penerimaan akan hidup tidak lagi hanya bertumpu pada slogan optimistik “one must
imagine Sisyphus happy”. Semangat itu berusaha dijelaskan lewat langkah-langkah
konkret yang tepat untuk mengimplementasikannya. Ketika dunia seakan tidak memiliki
harapan, untuk menjadi bahagia mungkin merupakan wujud pemberontakan yang paling
baik.

Akhir-akhir ini hidup mulai membaik: sebagian kawan selesai studi, sebagian kawan
lanjut studi, sebagian kawan mendapatkan pengalaman-pengalaman hidup dan karir yang
baru. Hindia sudah merilis album baru. Seekor kucing yang sepertinya kabur dari rumah
pemiliknya ketimbang lahir dan besar di jalanan mendadak sering mengunjungi rumah
saya untuk tidur dan melahirkan empat anak. Pada akhirnya pandemi berlalu, dunia
membaik dan rutinitas kembali berjalan seperti biasa. Dan seperti batu Sisifus yang
menggelinding turun ke bawah bukit, permasalahan baru akan lahir: Problem ekonomi
dan sosial terkait pemulihan negara pasca COVID-19 (yang lambat laun kita rasakan saat
ini), inefisiensi birokrasi yang menghiasi timeline Twitter, genosida Israel di Gaza dan
betapa mandulnya dunia internasional, ataupun perjuangan untuk mencari kerja dan
mandiri secara finansial. Semua masalah baru akan tumbuh dan muncul, dan pada satu
titik kita juga harus dipaksa menghadapi dan menerimanya (sebelum kemudian dapat
bahagia dalam menjalaninya).

Camus sendiri tidak lepas dari penderitaan semacam itu: segera setelah Perang Dunia II
usai, ia menemukan bahwa tanah kelahirannya, Aljazair, berusaha merdeka dari
penjajahan Perancis. Sebagai seorang Pied-Noir, komunitas Eropa Perancis yang lahir
dan besar di Aljazair, gerakan kemerdekaan itu mengguncang identitasnya sendiri. Ia jelas
menolak kolonialisme Perancis namun tidak dapat serta-merta menerima kehilangan
tanah airnya sendiri. Perbedaan pandangan politik dan filsafat membuatnya harus putus
kontak dengan kawan lamanya, Jean-Paul Sartre, yang telah ia kenal sejak 1943.
Kesunyian dan kesepian yang ia alami membuat dirinya semakin lama menarik dari dari
lingkar kesusatraan Perancis pada tahun-tahun terakhir hidupnya, dan pada 6 Januari
1960, dalam sebuah kecelakaan tunggal yang melibatkan sebuah pohon, sebuah Facel
Vega, aspal jalanan yang kering dan teori konspirasi akan keterlibatan Dinas Polisi
Rahasia Uni Soviet, Camus wafat pada umur 46 tahun. Kawannya yang menyetir mobil
naas tersebut, Michel Gallimard, meninggal keesokan harinya. Sisifus digilas batu dan
kali ini tidak bangkit lagi.

Seperti halnya Camus, kita semua hanya menuntaskan satu masalah lama dan harus
menemui satu masalah baru dalam hidup. Dan seperti halnya Sisifus dalam interpretasi
Camus, mungkin kita lebih baik menerima hidup sebagaimana adanya dan berusaha
mencari cara kita sendiri untuk tetap bahagia—dan bukan sekedar membayangkan bahwa
kita berbahagia. Menerima kenyataan dan terus berusaha untuk jadi lebih baik mungkin
merupakan wujud pemberontakan paling mulia dan rasional yang dapat kita lakukan
untuk saat ini.

Mungkin saja.

********

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun