Platonisme Tubuh dan Jiwa
Menurut Gregorius dari Nyssa
Menurut Plato, pikiran dan tubuh adalah dua hal yang terpisah. Tubuh (atau materi)adalah zat fisik dari mana seseorang dibuat, sementara pikiran (atau jiwa) adalah zat non-fisikyang ada terpisah dari tubuh dan mencakup kesadaran.1
St. Gregorius Nyssa mengenal dan menggunakan filsafat neoplatonis untuk
mempertahankan ajaran imannya. Ia menolak pendapat neoplatonisme yang merendahkan
materi dengan pendapat bahwa materi itu jahat.
Pendapat Plato mengenai manusia adalah dalam diri manusia digabungkan dua makluk
yang kodratnya sama sekali berlainan, yaitu tubuh dan jiwa. Plato juga menerima pra-eksistensi jiwa, artinya sebelum dilahirkan dalam tubuh jasmani, jiwa sudah berada dan memandang idea-
idea. Sekarang jiwa merasa terkurung dalam tubuh dan senantiasa rindu akan pemandanganbahagia yang di nikmatinya sebelum lahir dalam tubuh. Tetapi dalam eksistensi jasmani sekarang, manusia sanggup pula memperoleh sedikit pengetahuan tentang idea-idea.Â
Dalam
diri manusia itu masih ada ingatan akan idea-idea yang pernah dipandang dan ingatan itu dapat
dihidupkan kembali sejauh manusia melepaskan diri dari dunia jasmani.
Plato memahami bahwa materi/tubuh kita sekarang sedang mengurung jiwa. Sebelum
dilahirkan dalam tubuh jasmani, jiwa sudah berada dan memandang idea-idea namun sekarang
jiwa merasa terkurung dalam tubuh dan senantiasa rindu akan pemandangan bahagia yang
dinikmatinya sebelum lahir dalam tubuh.5 Pandangan inilah yang membuat Plato menganggap
bahwa materi (tubuh) itu jahat.
Menurut St. Gregorius Nyssa, kejahatan bukan berasal dari materi, melainkan berasal
dari kehendak bebas manusia. Hal ini juga sejalan dengan pemikiran para filsuf yang percaya
akan eksistensialisme bahwa makna hidup dan menemukan diri sendiri hanya dapat dicapai
dengan kehendak bebas, tanggung jawab pribadi, dan pilihan. Eksistensialisme Individu
berkaitan dengan pertanyaan tentang apa artinya ada sebagai manusia.
Gregorius dari Nyssa menjelaskan bahwa manusia hidup pada batas sejauh ia memiliki
kebebasan untuk mengembangkan dirinya terhadap materi. Oleh karena itu, Gregorius
membandingkan jiwa dengan seorang raja karena ia menikmati kapasitas mengatur diri sendiri.
Kapasitas ini dinyatakan oleh kebajikan, keabadian, kebenaran, pikiran yang ingin tahu, dan
pemahaman. Menghubungkan kodrat manusia dengan kodrat Ilahi sebagai citranya dan
menikmati martabat yang sama.
filsafat Dalam bahasa Platonis, jiwa pada dasarnya adalah ilahi, hanya saja lapisan tubuh
mencegahnya untuk merasakan esensi sejatinya yaitu sifatnya yang ilahi. Dengan
menggunakan forma dari filsafat Plato, Gregorius memberikan pandangannya bahwa gambar
Allah baginya adalah hidup ilahi yang merupakan anugerah dan untuk melihat Tuhan dalam
dirinya dengan pertama-tama memulihkan keadaan jiwa sesuai dengan gambar Allah.
Maksudnya adalah memisahkan diri dari dosa dan menyatukan diri dengan Kristus. Kemudian
dengan persatuan itu membuat ia dapat melihat kehidupan Allah yang tidak terpisah jiwanya
tetapi merupakan karunia Allah.
Gregorius menunjukkan bahwa manusia itu---diciptakan "dengan kehati-hatian," yang
secara alami cocok untuk memerintah atas makhluk lain, diciptakan dalam rupa Tuhan dalam
hal berbagai atribut moral, dan dalam kepemilikan akal, sementara berbeda dari sifat Ilahi di
mana pikiran manusia menerima informasinya melalui indra dan bergantung pada mereka
untuk persepsinya tentang hal-hal eksternal.
Tubuh dipasang untuk menjadi instrumen dari pikiran, disesuaikan dengan penggunaan
makhluk yang masuk akal: dan dengan tubuh memiliki "jiwa rasional," serta jiwa "alami" atau
"vegetatif" dan "masuk akal", menunjukkan bahwa manusia berbeda dari makhluk lebih rendah
seperti hewan.10 Dari sini dapat dipahami bagaimana Gregorius memandang tubuh (materi)
bukanlah sesuatu yang jahat melainkan sesuatu yang baik yang diciptakan Tuhan yang
merupakan bagian dari penciptaan manusia untuk tujuan yang baik.
Manusia adalah satu makhluk yang terdiri dari jiwa dan tubuh, harus dianggap bahwa
awal keberadaannya adalah satu, umum untuk kedua bagian, jadi bahwa manusia tidak boleh
ditemukan sebagai anteseden dan posterior dari dirinya sendiri, jika elemen tubuh itu pertama
dalam hal waktu, dan yang lainnya adalah tambahan kemudian; hal ini harus harus dikatakan
dengan kekuatan Pengetahuan Tuhan, semua kepenuhan kodrat manusia telah ada sebelumnya,
dan dalam penciptaan individu tidak ditempatkan satu elemen sebelum yang lain, baik jiwa
sebelum tubuh, atau sebaliknya, bahwa manusia tidak dapat berselisih melawan dirinya sendiri,
dengan dibagi oleh perbedaan titik waktu.
Karena sebagaimana kodrat manusia dipahami sebagai dua, yaitu terdiri dari pria yang
terlihat dan pria yang tersembunyi, jika yang satu datang lebih dulu dan yang lain didahulukan,
kekuatan Pencipta yang membuat akan terbukti dalam beberapa hal tidak sempurna, tidak
sepenuhnya cukup untuk seluruh tugas sekaligus, tetapi membagi pekerjaan, dan menyibukkan
diri dengan masing-masing bagian secara bergantian. Tetapi seperti yang dikatakan bahwa
dalam gandum, atau biji-bijian lainnya, seluruh bentuk tanaman berpotensi memiliki pra-
eksistensi, atau muncul sebelum yang lain, tetapi kekuatan yang tinggal di dalam benih dimanifestasikan dalam tatanan alam tertentu.
Demikian juga Manusia yang diciptakan dengan tubuh dan jiwa di dalamnya, memiliki
potensi dari sifatnya, ditaburkan bersama pada awal pertama keberadaannya, dan bahwa ia
diciptakan dan dimanifestasikan oleh urutan alami saat ia melanjutkan ke keadaannya yang
sempurna, tidak menggunakan apa pun di luar dirinya sendiri sebagai batu loncatan menuju
kesempurnaan, tetapi dirinya sendiri memajukan dirinya menuju ke keadaan sempurna,
sehingga tidak benar untuk mengatakan bahwa jiwa ada sebelum tubuh, atau bahwa tubuh ada
tanpa jiwa, tetapi ada satu awal dari keduanya, yang menurut pandangan surgawi diletakkan
sebagai landasan mereka dalam kehendak Allah yang asli.
Meskipun St. Gregorius Nyssa menolak pemikiran dari Plato mengenai tubuh dan jiwa,
ia tetap menggunakan Plato itu untuk membela kebenaran imannya terhadap orang-orang kafir.
Apa yang dilakukan St. Gregorius Nyssa dalam membela dan mempertahankan imannya
dengan menggunakan bentuk (forma) dari filsafat Plato. Hingga saat ini pemikiran dan tulisan-
tulisan dari St. Gregorius dari Nyssa masih dipertahankan dalam gereja dan masih dipelajarioleh banyak orang.
Kendatipun budaya Yunani hanya menyumbangkan cara berpikir dalam mencari
kebenaran atas segala sesuatu, namun itu sangat membantu Gereja dalam menafsir Sabda
Allah. Dengan demikian, Gereja dapat membela dan mempertahankan kebenaran imannya.
Keahlian dalam menggunakan rasio patut dipelajari agar dalam berdialog terjadi percakapan
yang sungguh-sungguh memiliki kebenaran di dalamnya sehingga tidak hanya percakapan
omong kosong belaka. Maka sebagai religius yang sedang belajar filsafat, rasio sangat
diperlukan untuk dapat mengerti apa yang dikehendaki Allah. Iman yang benar tentang
kesatuan tubuh dan jiwa, membantu mempertegas keyakinan bahwa Allah mencipta semua
baik, dan pada waktunya akan mencapai kesatuan yang erat dengan-Nya. Kerangka berpikir
ini mengajarkan perpaduan antara iman dan akal budi untuk mempertahankan iman, terutama
dalam tugas sebagai gembala nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H