Pernah berpikir gak bahwa dengan mendengarkan musik dapat mempengaruhi emosional bagi pendengarnya? Terlepas dari emosi ke arah positif atau ke arah yang tidak diinginkan oleh beberapa orang. Mendengarkan musik bagi saya merupakan sebuah bentuk pelampiasan terhadap banyak hal. Apa pun itu. Apa jenis musiknya selalu ada alasan kenapa akhirnya memilih musik tersebut untuk didengarkan.
Pada keadaan tertentu misalnya, saya berpendapat bahwa mendengarkan dan mengagumi sebuah karya musik itu tentunya tidak hanya karena musik itu enak didengar saja. Namun ada beberapa alasan mendasar. Terkait enak itu relatif adalah kalimat yang acap kali terdengar, sudah cukup ya semua juga tau. Begini asumsi saya, mengagumi musik karena enak didengar. Ya memang, karena bisa jadi cuaca yang ada di dalam hati sesuai dengan musik yang sedang diputar. Akan tetapi mengagumi musik karena tidak enak didengar itu sah sah saja, apa salahnya?
Bahkan entah apa yang sedang terjadi, ini lah yang menjadi alasan kuat kenapa banyak teman bertanya seperti "Musik apa ini, tak bisa didengar". Mendengarkan musik yang bisa dibilang tidak bersahabat di gendang telinga, namun memiliki value pada susunan liriknya, memiliki nilai historis bagaimana awal mula band atau solois tersebut menjalani debutnya, menurut saya jauh lebih dapat saya nikmati, walaupun tidak menutup kemungkinan saya juga sering memutar musik mainstream yang statusnya naik turun bercokol di puncak tangga musik global.
Bagi saya ini jauh sangat menarik, karena dari hal itu kita bisa tau lebih dalam seperti apa mereka merombak personilnya, bagaimana sebuah permasalah internal dapat diatasi, hingga sebuah pembuktian karena merasa kurang menonjol bersama band sebelumnya, seperti Dave Grohl mantan ahli pukul Nirvana yang justru lebih mentereng bersama Foo Fighter.
Pada intinya semua kembali lagi terhadap personal masing masing tentunya, mau memutar musik apa saja sak karep. Yang terpenting jangan menjadikan perbedaan genre musik sebagai pagar betis pembatas untuk pendengarnya. Seperti di Untag Surabaya, (ngiklan lah coi) Kampus Merah Putih, Kampus Nasionalis, berbeda-beda ras, suku, agama dan lain sebagainya, namun tetap satu almamater dengan semangat yang sama.
Author : Yogi Raka Siwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H