Objek paper kali ini mengambil objek studi pemikir politik kontemporer yang terkenal dengan bukunya yang berjudul One-Dimentional Man (Manusia Satu Dimensi), yaitu Herbert Marcuse. Lahir di Berlin pada tahun 1898, Marcuse mengikuti pendidikan di Universitas Berlin dan Freiburg.Marcuse bersama Max Horkheimer dan Theodore W. Adorno di Frankfurt School mendirikan sebuah aliran yang bernama Mahzab Frankfurt. Mahzab Frankfurt ini menjadikan terkenal karena mengembangkan sebuah teori bernama ‘Teori Kritis’.
Sebagai “teori krtitis” Teori Kritis merupakan teori yang reflektif. Artinya, teori itu tidak langsung saja mengenai salah satu masalah, melainkan dalam menangani sebuah masalah, ia menyadari dirinya sendiri, ia merefleksikan perannya sendiri sebagai teori. Teori Kritis dibangun atas dasar kritik terhadap pandangan tradisional mengenai teori : teori membatasi dirinya diri pada kontemplatif. Teori yang kontemplatif memiliki arti bahwa teori hanya melihat, tetapi tidak menjadi praksis dan mengubah apa yang dilihat tersebut. Dengan pendekatan kontemplatif itu, teori tradisional menjadi afirmatif. Artinya, dengan memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, kita justru menjadi puas dengan realitas; jadi, realitas itu diafirmasi atau dibenarkan. Dengan demikian, teori tradisional menjadi pendukung keadaan yang ada. Ia menjadi konservatif dan bahkan reaksioner.
Teori Tradisional ini didasarkan pada pola pikir postivisme logis yang membatasi ilmu pengetahuan pada fakta-fakta dan mengesampingkan pernyataan-pernyataan yang bersifat irasional. Secara rasio-instrumental teori tradisional juga dianggap menerima begiu saja kepentinga-kepentingan fundamental sebagai dasar-dasar ilmu. Teori tradisional berusaha menciptakan teori yang bebas nilai dengan menginduksi atau menggenerelasikan sebuah fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dan menjadikannya sebuah kesimpulan (teori). Hal tersebut yang dikritik oleh Mahzab Frankfurt yang menyatakan bahwa dengan proses induksi tersebut, teori tidak menggambarkan proses yang sebenarnya terjadi dengan mengabaikan faktor-faktor lain yang mungkin memengaruhi. Maka rasionalitas dibutuh demi menalar dan memaknai suatu kejadian.
Cara kerja Teori Kritis adalah menjelaskan realitas sedemikian rupa sehingga kepalsuan dan kebohonga tersingkap, jadi secara langsung Teori Kritis terpengaruh ajaran Hegel dan Marx mengenai Dialektika yang bersifat negatif. Teori Kritis meneliti realitas sedemikian rupa sehingga realitas itu sendiri berbicara dan menunjukkan bahwa ia dibentuk oleh sebuah penindasan.Jadi, teori kritis selalu mengikuti realitas secara ketat dan menunjukkan di mana realitas itu menumpas kebenaran dan menindas manusia. Selain itu, perbedaan Teori Kritis dengan Teori Tradisional adalah fokus perhatian tertuju pada refleksinya tentang status dan fungsinya sebagai teori. Karena keyakinan Mahzab Frankfurt adalah bahwa teori sebagai teori memainkan peranan sosial. Jadi, teori bukan hanya refleksi terhadap realitas, tetapi teori juga harus memiliki praksis : mempunyai dampak pada perubahan realitas sebagai teori.
Manusia Satu Dimensi
Penjabaran mengenai Teori Kritis memicu kerangka berpikir salah satu pendiri Mahzab Frankfurt yaitu Herbert Marcuse. Marcuse berfokus pada ‘kapitalisme lanjut’ yang menciptakan cara berpikir masyarakat yang berdimensi tunggal. Menurut Marcuse, nafsu kapitalistik (keuntungan materi) mencerminkan apa yang disebut Marcuse dengan “penindasan yang berlebihan”, yang didistribusikan kepada nafsu dari segelintir orang untuk menguasai distribusi, dengan demikian juga bermaksud untuk menguasai ummat manusia. Menurut Marcuse “penindasan berlebihan” tersebut seharusnya dapat dihapuskan dengan cara menghilangkan kelangkaan dan membebaskan manusia dari cengkraman “prinsip prestasi” yang sampai sejauh ini telah mendominasi pemikiran manusia. Adalah kapitalisme yang membuat manusia haru bekerja lebih dari yang diperlukan. Kapitalisme ketakutan akan kesadaran manusia yang dieksploitasinya. Menurut Marcuse, relevansinya terhadap teori kritis yang memberikan kesadaran dalam menalar realitas, apabila manusia sadar bahwa untuk memenuhi kebutuhan dasarnya manusia cukup henya dengan bekerja selayaknya, maka ia akan menolak dieksploitasi. Untuk menghindarkan gejala tersebut, kapitalisme menindas sepenuh kepribadian manusia.
Di sini patut disadari adanya peran tertentu terutama pemerintah untuk tetap melegitimasi peran kapital di suatu negera. Hal tersebut yang dinamakan “kapitalisme Lanjut”. Kapitalisme Lanjut oleh Habermas juga disebut “kapitalisme terorganisasi” atau “kapitalisme yang diatur oleh negara”. Habermas memperlihatkan dengan cukup jelas bahwa tidak berlakunya kritik Marxisme terhadap kapitalisme liberal klasik diterapkan pada “kapitalisme lanjut”. Yang penting dalam masyarakat kapitalisme lanjut adalah bahwa negara, untuk mengimbangi ketidakadilan inheren dalam sistem kerja sosial, dituntut semakin banyak prestasi, yang berarti bahwa administrasi semakin ikut campur tangan dalam kehidupan masyarakat.
Marcuse mengambil contoh di bidang penelitian sosial pada sebuah studi tentang relasi kerja dalam pabrik Western Electric Company di Hawthrorne. Ketika mendengar karyawan-karyawan pabrik ini mengeluhkan gaji yang tak cukup. Misalnya, saudara A mengeluh gajinya tak cukup. Solusinya untuk meredam tuntutan tersebut, dapat mengambil contoh intervensi Pemerintah Indonesia yang menjanjikan Jaminan Sosial bagi pekerja di sektor PT dengan menerapkan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Singkatnya, solusi tersebut membuat masalah atau kesukaran disingkirkan tanpa mengubah struktur masyarakat. Sistem tetap dipertahankan. Dengan demikian, menurut Marcuse, ucapan para buruh “gaji tak cukup sama sekali berubah”. Dengan otonomi relatifini (Konsep otonomi relatif dari negara menurut teori marxian, sebuah penolakan terhadap pendapat bahwa negara bertindak sebagai pelaksana dari kepentingan orang-orang atau individu-individu tertentudan kepentingan mereka masing-masing. Negara dipandang memiliki kepentingan sendiri yang bersifat ideologis yaitu bahwa kepentingan negara itu harus disimpulkan dari pemahaman tentang bagaimana struktur masyarakat dan bagaimana mempertahankan kohesi sosial dalam struktur semacam itu agar bisa memungkinkan terjadinya akumulasi kekayaan pribadi dalam jangka panjang oleh individu-individu di dalamnya), masyarakat industri modern telah membuat manusia menjadi korban dari suatu ideologi khusus, dan ironinya manusia tidak menyadarinya.
Di sini Marcuse memperkenalkan teorinya yang terkenal yaitu “manusia satu dimensi”. Perubahan dalam pola-pola konsumsi dan dalam strutkur kekuatan buruh, seiring dengan pelembagaan negara kesejahteraan telah sedemikian menjinakkan kelas pekerja dan gerakan buruh, sehingga doktrin klasik Marxisme mengenai konflik kelas menjadi tak dapat diterapkan dalam masyarakat indsutri. Menurut Karl Marx mengenai salah satu pokok ajarannya yaitu kapitalisme, bahwa karena kontradiksi-kontradiksi internalnya seperti penghisapan kaum borjouis yang berlebihan terhadap proletariat akan menyebabkan kehancuran kapitalisme (dan melahirkan masyarakat sosialis). Namun, di masyakarakat industri modern, kaum buruh yang diharapkan oleh Marx menjadi perintis penghancuran kapitalisme sudah sepenuhnya terkooptasi oleh sistem masyarakat yang berdasarkan kekuasaan mutlak nilai komoditi. Teori Kritis menjadi pesimis, dan sulit untuk menerapkan praksis yang bersifat emansipatif. Satu dimensinya masyarakat industri semakin jelas dengan berubahnya sama sekali peranan kaum buruh. Kaum buruh telah kehilangan semangat revolusionernya. Mereka sudah menjadi konsumen yang memiliki mobil, TV dan berbagai fasilitas yang tak beda dengan kaum borjuis.
Marcuse menganalisa mengenai betapa media massa tanpa henti mencekokkan pemikiran berdimensi tunggal secara sistematis dicerna oleh menusia. Apa yang ditayangkan di media banyak merupakan hal bersifat menarik dan konsumtif sehingga menciptakan struktur keyakinan terhadap kebenaran yang sebenarnya salah (“false need”). Misalnya, salah satu jenis iklan di televisi mempersuasi bahwa wanita cantik adalah wanita yang berkulit “putih” sembari menawarkan produk pemutih kulit. Baik kaum buruh maupun borjuis, mereka terpengaruh seolah membutuhkan produk tersebut dalam berbagai varian.
Praksis