Di langit Ibukota, Batari riang melihat pahlawan dipahat terbang menerobos awan, menukik tajam, lalu meliuk-liuk di antara belantara gedung-gedung tinggi. Hinggap sebentar di puncak antena telepon seluler, lalu melesat lagi menuju angkasa dengan kecepatan supersonik.
Dia selalu yakin bahwa yang baik akan datang. Penantiannya yang panjang usai sudah. Diambilnya secarik kertas dari tumpukan berbelas kertas, aroma khas gemuruh melekat membius di buku abu-abu.Â
Diamatinya ikhtisar atraksi puisi yang telah dibuatnya, berikut hitungan-hitungan sintaksis mekanika gramatikal dasarnya. Tak sabar dia ingin mempraktikkan teori itu.
Tak sabar dia ingin memeluk mimpinya yang sempat tertunda sebagai Batari berhias malu, lebih dari segalanya.Â
Tak sabar dia ingin berjumpa dengan nalurinya. Tak sabar dia menikmati semua kebaikan, buah dari keyakinannya.
Untukmu Batariku.
Usahlah jemu mengirimiku surat dan puisi. Puisimu adalah hiburan bagi sepiku di Andalusia yang penuh dengan orang-orang udik, tak paham bagaimana menikmati gubahan. Yang lalu bertanya, apa gubahan itu serupa gibahnya para pujangga?
Wahai Batariku.
Telah kucoba menulis puisi. Namun, rupanya hanyalah mereka disayangi Tuhan yang mampu menulis puisi.Â
Hanya mereka yang diberkahi 'Yang Maha Tinggi' kecerdasan istimewa berduyun-duyun yang dapat melihat sebait puisi-puisimu indahmu.