Baru-baru ini kita dikejutkan dengan aksi penolakan kedatangan presiden SBY di Kota Solo yang terjadi di bundaran gladag. Berdasarkan informasi yang diterima dari Kompas.com yang menyatakan aksi penolakan terhadap kedatangan rombongan Presiden SBY tersebut sebagai bentuk ketidakpuasan publik dalam upaya pemberantasa Korupsi di era Pemerintahan Presiden SBY, serentak aksi penolakan yang tengah berjalan tersebut dibubarkan oleh anggota Kepolisian dan Satu orang dari anggota Gerakan Rakyat Bersatu, Lucky Sugeng Nugroho, yang juga koordinator lapangan, digelandang ke Polsek Pasar Kliwon, Solo (kompas.com), adapun alasan pembubaran paksa yang dilakukan oleh anggota kepolisan tersebut dengan alasan bahwa aksi unjuk rasa tersebut tidak memiliki izin dan alasan inilah yang banyak kita jumpai ditengah pelaksanaan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh banyak golongan baik itu dari elemen mahasiswa, kaum buruh, serta masyarakat yang hendak ingin mengapresiasikan atau menyampaikan pendapatnya di muka umum. dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia yang menyatakan "Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa". Dalam pelaksanaan pembubaran masa terhadap aksi penolakan kedatangan presiden SBY di Kota Solo yang terjadi di bundaran gladag, aparatur Kepolisian dalam hal ini menggunakan landasan hukum yang tertera pada pasal 510 KUHP ayat ke- 1 dan ke-2 dimana dikatakan :
1. "Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu:
1. mengadakan pesta lain yang ditunjuk untuk itu:
2. mengadakan arak-arakan di jalan umum."
2. "Jika arak-arakan diadakan untuk menyatakan keinginan-keinginan secara menakjubkan, yang bersalah diancam dengan pidana kurungan paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu dua ratus lima puluh rupiah."
Tentunya dalam hal mejaga ketertiban umum khususnya dalam terhadap masyarakat yang menyampaikan pendapatnya dimuka umum saat ini, aparatur kepolisian juga harus mengacu pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Bentuk dari penyampaian pendapat dimuka umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 sebagai berikut :
1. Unjuk rasa atau demonstrasi;
2. Pawai;
3. Rapat umum;
4. Mimbar umum.
Pelaksanaan aksi Demontrasi yang dilakukan oleh elemen masyarakat di Solo tersbeut seharusnya dalam penindakan, aparatur kepolisian bertindak berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1999 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. berdasarkan pasal 10 Undang-Undang No.9 Tahun 1999 secara tegas dikatakan bahwa pelaksanaan unjuk rasa atau demonstrasi dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian setempat, selain itu tata cara pemberitahuan tersebut secara tertulis telah tertuang Undang-Undang Nomor 9 tahun 1999 . Dalam hal ini kepolisian selaku aparatur negara dalam hal menjaga ketertiban umum seharusnya tidak serta merta melakukan pembubaran terhadap aksi penolakan yang dilakukan sebagian kecil dari warga Solo dengan alasan pelaksanaan aksi unjuk rasa tersebut belum mendapat izin dari Pihak Kepolisian. Berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum tersebut tidak ada yang mengatur secara tegas bahwa pelaksanaan aksi unjuk rasa atau demonstrasi harus mendapatkan izin dari pihak kepolisian setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H