Pajak merupakan pungutan wajib yang diatur oleh undang undang dan bersifat memaksa. Pajak timbul akibat dari adanya kegiatan ekonomi yang memberikan tambahan kemapuan ekonomis. Kegiatan ekonomi berhubungan dengan penanaman modal atau penggunaan yang digunakan sebagai motor penggerak kegiatan usaha. Sehingga rumus awal persamaan akuntansi adalah asset -- utang = modal, hal ini sesuai dengan Accounting Theory: A Conceptual and Institutional Approach; Harry I. Wolk, Michael G. Tearney, James L. Dodd. Bahwa tujuan dari penggunaan modal adalah untuk mendapatkan laba dengan cara penggunaan asset yang di dapat dari modal dan utang. Sehingga jika perusahaan itu masih belum beroprasi maka masih belum ada pajak yang dibayarkan, karena belum ada laba yang dihasilkan. Nilai modal yang disetor inilah sebagai bukti kepemilikan perusahaan yang diconvert kedalam saham (bukti kepemilikan perusahaan). Dalam hal perusahaan sudah berjalan dan sudah menghasilkan laba. Laba ini jika diambil oleh pemegang saham atau pemilik modal maka akan disebut sebagai dividen atau jika oleh pemilik modal atau pemegang saham diambil keputusan untuk tidak diambil maka akan menjadi laba ditahan yang akan menyebabkan nilai modal yang dimiliki menjadi lebih besar atau akan ada capital adjustment atas nilai laba yang ditahan.
Perolehan laba dalam laporan keuangan tercermin dalam laporan rugi laba, yang terdiri dari pendapatan dan biaya. Pendapatan (gain) dapat dilihat atau tercermin dalam kredit yang bisa sebabkan oleh kejadian ordinary atau extraordinary, sedangkan biaya dilihat pada kolom debit (Losses) yang bisa sebabkan oleh kejadian ordinary atau extraordinary. Pembagian dalam laba rugi yang mencerminkan pendapatan dikurangi biaya menghasilkan laba inilah yang nanti akan memunculkan perbedaan dalam pajak atau disebut koreksi fiscal.
Koreksi fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang diperoleh perusahaan sesuai standar pengakuan dan pencatatan akuntansi dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Tujuan dilakukannya koreksi fiskal adalah menghitung jumlah laba fiskal. Laba fiskal adalah jumlah keuntungan yang diperoleh perusahaan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang sekaligus menjadi acuan untuk menghitung besar Pajak Penghasilan (PPh) yang harus dibayarkan kepada negara. Menurut ketentuan dalam Undang-undang Perpajakan, koreksi fiskal dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yakni koreksi fiskal positif dan negatif. Koreksi fiscal timbul salah satunya adalah dikarenakan dalam pasal 6 UU No 36 tahun 2008 mengatur bahwa
" Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Perusahaan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:Â
- biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
- biaya pembelian bahan
- biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
- bunga, sewa, dan royalti;
- biaya perjalanan
- biaya pengolahan limbah
- premi asuransi;
- biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
- biaya administrasi; dan
- Pajak kecuali Pajak Penghasilan;
Dengan kata lain untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Selain itu, dalam pasal 13 Â PP 45 tahun 2019 disamping harus berhubungan dengan kegiatan usaha, biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak umum. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajaknya secara final, tidak boleh dikurangkan untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak. Apabila perusahaan memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak secara final dan nonfinal maka sesuai Pasal 27 ayat (1) PP 45/2019, perusahaan tersebut wajib menyelenggarakan pembukuan secara terpisah. Pembukuan secara terpisah juga diwajibkan bagi perusahaan yang memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak, atau perusahaan yang mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A UU PPh.
Pembukuan terpisah tersebut dimaksudkan agar perusahaan dapat memisahkan penghasilan beserta biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan tersebut. Namun, apabila biaya tersebut tidak dapat dipisahkan untuk penghasilan yang pajaknya final dan tidak final (dapat juga penghasilan yang objek pajak atau bukan objek pajak) maka pembebanannya dialokasikan secara proporsional sesuai ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) PP 45/2019.
Koreksi fiscal positif adalah koreksi fiscal yang menyebabkan bertambahnya laba secara fiscal, karena laba bertambah maka jumlah pajak yang dibayarkan akan bertambah pula, atau dengan kata lain pendapatan kena pajak melalui penambahan pendapatan atau mengurangi biaya-biaya yang tidak boleh diakui menurut ketentuan perpajakan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 9. Beberapa contoh koreksi fiscal positif adalah :
- Biaya-biaya yang secara undang undang PPh tidak bisa diakui (Natura atau kenikamatan, biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, biaya sumbangan, biaya PPh, dll)
- Selisih pengakuan biaya penyusutan, dimana ada perbedaan cara dan metode dalam pengkuran penyusutan atau amotisasi
Koreksi fiscal negative adalah koreksi yang menyebabkan laba secara fiscal menjadi lebih kecil, karena laba menjadi lebih kecil maka jumlah pajak yang akan dibayarkan menjadi lebih kecil. Contoh dari koreksi fiscal negative adalah :
- Pendapatan yang bersifat final menurut undang-undang PPh, seperti pendapatan bunga bank, deposito, pendapatan sewa atas tanah dan atau bangunan, dll
- Penghasilan yang merupakah bukan objek pajak, dalam undang undang harmonisasi perpajakan (UU No 7 tahun 2021) seperti deviden yang diterima oleh perusahaan badan
Contoh perhitungan pajak dan akuntansinya
- PT Mitra Pratama bergerak dalam bidang konstruksi yang dikenakan pajak secara final. Dalam suatu tahun, PT Mitra Pratama memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari: