Mohon tunggu...
Dayoe Yogeswary
Dayoe Yogeswary Mohon Tunggu... -

Batavian with a dash of Balinese.\r\nLove life, love books.\r\n\r\nhttp://kucinghitamjalanjalan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Manusia yang Sebenarnya

21 Oktober 2014   06:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:18 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kemarin dapat penghargaan untuk cerpen yang saya ikut sertakan dalam lomba cerpen sebuah perkumpulan penulis di Amerika. Commendation itu artinya "Special Praise" alias pujian spesial. Saya sempat bete karena statusnya Commendation itu dibawah Honorable Mention dan (jelas) juara 1-3, istilahnya cuma juara harapan gitu; lalu si Akang menegur saya: "Kamu sudah termasuk winner itu sudah bagus, mau juara berapapun yang penting kan sekarang ada bukti kalau tulisan kamu disukai dan dihargai orang." Lalu saya teringat kalau sebelumnya saya sudah menguatkan diri untuk bahkan tidak menang apa-apa, tapi dasar manusia begitu tahu saya termasuk winners/pemenang saya langsung kecewa karena 'cuma' commendation. Padahal saya sebenarnya sudah menang saja itu sudah against all odds, sudah luar biasa.

Kenapa against all odds? Karena demografis saya jauh berbeda dengan demografis para penulis lainnya di perkumpulan itu. Sekedar gambaran, saat saya berada di acara tersebut hanya saya dan satu orang penulis lainnya yang berusia dibawah 50 tahun, hanya saya yang tinggal di negara bagian California, dan hanya saya yang imigran dan berkulit gelap. Demografis ini penting karena ini menunjukkan bahwa pendidikan dan lingkungan saya berbeda dengan mereka (faktor tempat tinggal), buku yang saya baca berbeda dengan mereka (faktor imigran dan usia), dan mereka sudah jauh lebih banyak menulis daripada saya (faktor usia). Tapi saya tetap bisa bersaing dengan mereka. Hal ini dikarenakan sistem penilaian yang mereka berlakukan: karya harus diprint tanpa nama, dikopi 4 kali, dan dikirim via pos. Para juri tinggal menerima tumpukan cerpen/puisi/cerita non-fiksi yang harus mereka baca, dan mereka pilih yang mana yang bagus menurut mereka. Itulah kenapa ada beberapa orang yang menang 2 penghargaan sekaligus, baik dalam kategori yang sama atau kategori yang berbeda. Itulah kenapa bahkan presiden klubnya bisa menang juga. Itulah kenapa saya, yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris punya kesempatan berkompetisi dan menang. Untuk para juri tersebut, yang penting bukan siapa yang menulis, yang penting adalah hasil karya itu sendiri. Bagi saya yang penulis, ini menunjukkan bobot karya saya; dan ini membuat saya merasa dianggap sebagai manusia.

Kesetaraan kesempatan dan derajat seperti ini sulit dibayangkan ada di Indonesia. Mungkin untuk kontes-kontes (menulis, olahraga, dll) masih bisa ya, selama ada guidelines/aturan resmi untuk penilaian; tapi kalau untuk kehidupan sehari-hari tidak terbayang lho. Di Indonesia, sarjana lulusan sekolah ternama seperti UI 'dihargai' lebih tinggi daripada sarjana lulusan universitas kecil/tidak ternama. Logikanya sih masuk akal: sekolah yang 'elit' (baca: selektif memilih murid dan punya nama) pastinya akan menghasilkan orang-orang pilihan juga. Masalahnya, tidak semua orang mendapatkan kesempatan masuk universitas ternama. Dari segi uang, tidak semua orang mampu membayar kuliah di universitas swasta elit atau membayar bimbel (bimbingan belajar intensif) agar bisa lolos seleksi universitas negeri elit. Dari segi pendidikan, karena lemahnya pendidikan di Indonesia saya yakin banyak bakat-bakat terpendam, banyak pikiran-pikiran cemerlang yang tidak terasah tapi tidak memiliki kesempatan untuk 'bersinar'. Saya dulu sekolah di SMAN favorit di Jakarta, tapi tetap saja saya harus di-drill oleh guru SMA dan guru bimbel saya agar bisa 'menguasai' tipe soal yang akan dikeluarkan di UMPTN/SPMB dan EBTANAS; kebayang tidak nasib murid-murid SMA di daerah terpencil yang gurunya saja jarang masuk? Atau SMA kakak saya (di Jakarta) yang gurunya malah mengorganisir agar murid-murid yang pintar bisa meninggalkan jawaban untuk murid-murid lain yang kurang pintar saat EBTANAS?

Pengalaman saya mencari kerja disini (sebagai sales/admin), jarang sekali ada yang mensyaratkan gelar spesifik (sarjana sastra, sarjana ekonomi, etc) apalagi sampai minta IPK. Biasanya yang mensyaratkan gelar spesifik (dan IPK) adalah perusahaan yang memang bergerak di bidang spesifik seperti hukum atau penerbitan, jadi wajar mereka memerlukan seseorang yang dianggap ahli dibidangnya. Masalah penampilan pun biasanya tidak dipermasalahkan, dan kalaupun ada itu biasanya untuk dipakai saat mencari front liner dengan istilah "Polished demeanor" atau "well groomed". Dengan kata lain, walau wajahnya kurang menarik pun tidak apa-apa asal terlihat rapi dan profesional. Bandingkan dengan iklan lowongan kerja di Indonesia yang keywordnya, bahkan untuk pekerjaan tidak spesifik seperti sales atau staf kantoran biasa, biasanya seperti ini:


  • Sarjana (isi bidangnya) dengan IPK 3.xx --> padahal IPK tinggi tidak menjamin bisa kerja bagus, dan hapal teori belum tentu bermanfaat bagi tugas di perusahaan
  • Berpenampilan menarik --> padahal ga ada hubungannya penampilan menarik dengan kinerja perusahaan, mungkin kecuali front liner
  • Berumur maksimal 25/27 tahun --> padahal ga ada hubungannya umur dengan kinerja perusahaan, bisa saja ada yang berumur lebih tua tapi lebih mengerti kondisi perusahaan
  • Single (dan harus mau teken kontrak untuk tetap single selama menjabat) --> Padahal ga ada hubungannya status pernikahan dengan kinerja di perusahaan, punya keluarga pun selama bisa tetap profesional tidak masalah

Iklan lowongan kerja di Indonesia terasa diskriminatif sekali, bukan? Kalau semua perusahaan memakai requirement seperti diatas, bisa-bisa banyak sarjana Indonesia yang cuma jadi pengangguran atau kerja yang tidak sesuai gelarnya. Disini suami saya bisa mendapatkan gaji setara lulusan S1 walaupun dia cuma lulusan D3, dan ini untuk pekerjaan spesifik yang saya sebutkan tadi yang biasanya requirementnya lulusan jurusan kuliah tertentu dengan IPK tertentu. Di Indonesia hal ini mungkin sangat sulit dicapai. Tapi bukan berarti di Indonesia tidak memungkinkan untuk lolos dari jebakan betmen ini. Saya termasuk satu dari sedikit orang yang beruntung karena semua perusahaan tempat saya bekerja tidak memperdulikan gelar saya ataupun IPK saya; saya bisa mendapatkan pekerjaan di tempat mereka karena saya bisa Bahasa Inggris dengan lancar. Jangan salah, beberapa kali saya melamar di berbagai tempat dan jawabannya sama: "Aduh mbak, kita ingin sekali menghire mbak; tapi background pendidikan mbak ini tidak seperti requirement kita." Background saya Kedokteran, tapi saya sempat mengajar Bahasa Inggris selama 4 tahun, lalu lanjut menjadi sales fotografi selama 5 tahun, dan sekarang merintis karir sebagai penulis (yang karyanya sama sekali tidak ada bau-bau kedokteran); dan saya termasuk sukses dalam semua profesi ini. Semua karena ada perusahaan, yang seperti juri di kontes menulis saya, yang tidak melihat siapa saya namun melihat apa yang saya bisa lakukan.

Diskriminasi ini juga sering saya alami di kehidupan sehari-hari. Dicuekin oleh mbak-mbak SPG di Mal karena penampilan saya, misalnya. Atau perlakuan berbeda dari staf restoran di Bali karena saya bukan bule. Bahkan dilingkungan keluarga besar pun saya sering dilihat rendah karena "cuma sales tukang foto", walau harga paket foto perusahaan saya mulai dari 10 jutaan untuk 3 jam foto dan biasanya kita ambil job di hotel-hotel sekelas Bulgari atau Amanresort. Dengan segala diskriminasi yang saya alami di Indonesia (kurang menarik karena berkulit gelap, kurang modis dan kinclong, pekerjaan yang kurang wah, dompet/kekayaan yang kurang oke, pendidikan yang pas-pasan), saya yang di Indonesia tidak terpikir bisa tinggal di Amerika, atau bahkan bisa menikah dengan pria yang sangat menghargai dan menyayangi saya. Saya sudah siap menerima nasib untuk melajang seumur hidup tanpa pernah bekerja di sebuah perusahaan besar/nasional, dan cuma jadi bulan-bulanan PNS-PNS Indonesia. Lalu saya 'ditemukan' si Akang dan pindahlah saya ke Amerika. Disini kulit sawo matang saya dianggap indah dan berbeda bahkan dari orang yang berkulit gelap lainnya, begitupula kontur wajah saya. Disini saya saat saya bertanya dengan ramah saya tetap dilayani dengan sebaik-baiknya oleh staf supermarket/butik walaupun penampilan saya urakan/tidak modis dan saya jelas-jelas terlihat seperti seorang imigran (yang stereotipnya miskin dan tidak berpendidikan). Bahkan petugas pemerintahan yang terkenal galak dan tidak menyenangkan pun tidak pernah menyusahkan saya. Saat mengurus KTP dan NIK (nomor induk kependudukan) saya sempat bermasalah karena ada typo/salah ketik di nama di green card saya, sehingga berbeda dengan nama di paspor dan akte kelahiran; hebatnya petugas sini bisa mengakalinya tanpa dikenakan biaya. Sebaliknya, saat saya mengurus SIM di Indonesia saya sempat diketusi oleh petugas karena saat saya mengecek data sebelum SIM tersebut di cetak saya tidak menemukan revisi alamat yang saya minta, dibilang saya harusnya mengingatkan petugas yang menerima berkas saya dari awal proses bahwa akan ada revisi alamat. Saya jadi bingung dan jengkel, buat apa saya memasukkan berkas kalau begitu? Bukankan tujuan adanya berkas/formulir tersebut agar petugas bisa memasukkan data yang benar?

Sedih rasanya saat saya sadar di negeri orang saya lebih dianggap sebagai manusia/lebih dihormati daripada di negeri saya sendiri. Mungkin saya hanya beruntung, karena pastinya ada banyak orang lain yang tinggal di negeri orang dan mengalami diskriminasi yang lebih berat daripada waktu di Indonesia. Tapi memang itu kuncinya: diskriminasi. Saat kita bisa melihat seseorang dari siapa dia yang sebenarnya dan terlepas dari hal-hal duniawi dan label-label yang kita lekatkan sehingga bebas dari diskriminasi dan kecurigaan, maka saat itulah ia akan menjadi manusia yang sebenarnya. Kebebasan dari diskiminasi juga akan membuat lebih banyak orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik, kesempatan untuk menggunakan potensi dirinya semaksimal mungkin. Diskriminasi adalah rantai yang mengekang kita, baik sebagai pelaku diskriminasi maupun korban diskriminasi. Bukankah sudah saatnya kita bebas dari kekangan ini? Slogan 'semua manusia itu sama' bukan hanya sekedar kecap dimulut, namun juga harus kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi Indonesia tidak memiliki hukum anti diskriminasi. Sudah saatnya kita menolak dan menghentikan diskriminasi. Sudah saatnya kita menjadi manusia yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun