Oleh : Yoga Widhia Pradhana*
Akhirnya tiba saatnya Bambang Widjojanto benar-benar merealisasikan keinginannya untuk mengundurkan diri. Melalui konferensi pers, Bambang Widjojanto menyatakan secara resmi telah menyerahkan surat pengunduran diri kepada pimpinan KPK. Memang secara hukum, surat pengunduran diri tersebut tidak akan memberikan dampak atau pengaruh apapun. Akan tetapi menjadi hal yang berbeda jika keputusan tersebut dilihat dari sudut pandang konsistensinya menjaga moralitas penegak hukum.
Tidak mudah menjadi Bambang Widjojanto yang sesungguhnya sulit menerima penetapannya sebagai tersangka dan sikap arogansi Bareskrim Polri saat menangkap dirinya, untuk kemudian diartikulasikan dalam sikap yang bijak dalam menghadapi kasus ini. Sejatinya tidak salah jika Bambang Widjojanto bersikukuh untuk tetap menjadi pimpinan KPK. Hal ini dikarenakan menurut Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, disebutkan bahwa pemberhentian sementara pimpinan KPK karena menjadi tersangka atas tindakan kejahatan, hanya dapat dilakukan atas kewenangan Presiden. Akan tetapi Bambang Widjojanto tidak memilih jalan itu. Ia justru berinisiatif untuk mundur sebagai bentuk menghormati proses hukum yang menjerat dirinya.
Sikap ini secara halus telah memukul moralitas Polri melalui simbol Budi Gunawan sebagai Calon tunggal Kapolri. Saat ini, kedudukan Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto adalah sama. Yakni sama-sama sebagai simbol penegak hukum yang berstatus sebagai tersangka. Bedanya, Budi Gunawan tetap bersikap seolah tidak terjadi apa-apa bahkan dapat bersikap sangat tenang ketika DPR RI mempertanyakan soal kasus rekening gendut yang dituduhkan kepadanya saat fit and proper test. Sikap yang kontras antara simbol kedua penegak hukum ini, secara tidak langsung akan memberikan dampak kepada masing-masing institusi yang melekat dengan kedua pejabat ini. Sikap positif yang ditunjukkan Bambang Widjojanto akan menyumbang citra positif kepada KPK. Sebaliknya, bersikukuhnya Budi Gunawan justru akan membuat citra Polri semakin hancur setelah publik mempertanyakan kejanggalan proses penangkapan Bambang Widjojanto sebelumnya oleh Bareskrim.
Sudah menjadi rahasia umum khalayak ramai bahwa gesekan yang terjadi antara Polri dan KPK saat ini merupakan sebuah perang persepsi. Ini bukan menyoal tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Karena yang dapat menentukan kedua hal tersebut merupakan wewenang dari kejaksaan. Demikian pula, Ini juga bukan menyoal tentang “jangan adayang sokmerasa di atashukum” seperti kata Presiden Joko Widodo semalam, tapi ini tentangsiapa yang akan memenangkan persepsi publik, maka ia yang akan memiliki bargaining position yang lebih kuat. Maka, tingkat penyelesaian krisis ini terletak pada pemulihan nama baik atau citra di mata publik. Jika Budi Gunawan tidak segera mundur, maka bisa dipastikan KPK –lah yang unggul sementara dalam peperangan persepsi ini. Hasilnya bisa ditebak, ketidakpercayaan publik terhadap Polri akan semakin menguat dan pembelaan terhadap KPK akan semakin meluas.
Jalan moderat tentu masih bisa ditempuh. Simbol penengah itu ada di tangan presiden. Presiden Joko Widodo harus segera membuat peta persepsi yang berkembang dan kemudian disesuaikan dengan tujuan penyelesaian krisis. Membangun opini dalam satu arah atau dalam praktisnya adalah bersikap normatif, tidak lagi dapat diharapkan sebagai sebuah solusi. Presiden Joko Widodo harus tegas dalam menengahi kasus ini. Menjaga jarak untuk tidak interverensi, tapi juga membuat sebuah kebijakan yang baik untuk kedua institusi. Kuncinya terletak pada konsistensi. Konsistensi terhadap Nawa Cita : Memperkuat Kehadiran Negara Dalam Melakukan Reformasi Sistem Dan Penegakkan Hukum Yang Bebas Korupsi, Bermartabat, Serta Terpercaya. Artinya, jika Presiden Joko Widodo memilih untuk memberhentikan sementara Bambang Widjojanto, maka dengan sikap menjaga konsistensi, Presiden Joko Widodo juga harus segera membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Calon tunggal Kapolri dan segera mencari pengganti yang bebas dari korupsi dan bermartabat.
Biarkan proses hukum berjalan untuk membuktikan kebenarannya!
*Peneliti di Centre for National Strategic Studies (CNSS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H