MisterinyaÂ
Saya terdiagnosa kebetulan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, 10 November tahun 2016 lalu. Barangkali suatupertanda, pesan bermakna bahwa saya harus kuat. Berjuang.
Hari itu memang saya tunggu-tunggu. Seperti menanti hasil ujian di sekolah atau tes melamar pekerjaan. Waktu bertemu neurologist pukul 15.30. Â Saya minta suami pulang cepat, jemput anak bersama dulu dari penitipan, dan berangkat ke rumah sakit.
Perasaan saya campur  aduk. Tidak kuat berlama-lama menunggu suami. Saya putuskan jalan kaki duluan. Pakai tongkat hiking kesayangan. Saya sudah tidak kuat berjalan sebenarnya. Biar saja suami menyusul. Jarak tempat penitipan ke flat kami sekitar 500 meter.Â
Setengah perjalanan, suami menyusul. Segera saya menyeberang jalan dan masuk mobil. Air mata terseka. Tidak jelas kenapa.
Sampai di pintu depan penitipan, seorang guru   seolah terburu-buru datang menyambut. Dia bilang berusaha telepon saya. Oh mungkin saat saya jalan kaki tadi, tidak terdengar ada telepon masuk. Saya berzikir juga Al Fatihah tadi. Ada apa, ada apa dengan anak saya, saya segera tanya. Sang guru yang orang Filipina itu bilang anak Saya tiba-tiba panas dan rewel. Sudah agak tenang saat saya melangkah masuk ruangannya. Terlihat dia duduk makan bersama kawan-kawannya. Dan spontan menjerit dan bergegas memeluk saya. Baru sekitar 18bulan usianya saat itu. Dan guru-gurunya terdiam. Ada yang komentar, kedatanganku seperti keajaiban.
Juga ada yang komentar, menganjurkan periksa ke dokter. Saya tersenyum, ya kami memang mau ke rumah sakit. Tapi karena appointment saya sore ini.
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H