Semenjak era reformasi, IKIP-IKIP Negeri seperti IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, dan IKIP Malang, berubah bentuk menjadi universitas. Sebagai konsekuensi perubahan bentuk dari IKIP ke universitas, para eks IKIP ini mempunyai nama baru, seperti IKIP Bandung menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), IKIP Semarang menjadi Universitas Negeri Semarang (UNNES), IKIP Yogyakarta menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), IKIP Surabaya menjadi Universitas Negeri Surabaya (UNESA), dan Universitas Negeri Malang (UM).Â
Konsekuensi perubahan bentuk berikutnya adalah pendirian prodi-prodi non pendidikan, seperti Ilmu Sejarah, Ilmu Hukum, Fisika, Kimia, Sastra Indonesia, Sastra Inggris, Geografi, dan lain sebagainya. Sehingga ada suatu keunikan di kampus eks IKIP dibandingkan kampus-kampus seperti UGM, UI, maupun UNDIP, adalah prodi pendidikan berhadapan langsung dengan prodi non pendidikan dalam satu jurusan/departemen seperti di UNNES dan UM, yang mana di kedua kampus tersebut, prodi pendidikan sejarah berada satu naungan dengan prodi Ilmu Sejarah di bawah Jurusan/Departemen Sejarah. Di Departemen Sejarah UM sendiri akhirnya muncul pepatah "Anak Ilmu itu berilmu tapi tak berpendidikan, dan anak pendidikan itu berpendidikan tapi tak berilmu, mana yang lebih baik ?".
Nah, semakin lama para universitas eks IKIP seperti UM, UNNES, dan UNESA, memiliki keinginan lebih yakni keinginan membuka fakultas bergengsi, Fakultas Kedokteran (FK). Setelah bertahun-tahun terkenal sebagai penghasil guru, pada akhirnya kampus-kampus tersebut berpikir untuk untuk menambah kesan selain penghasil guru, sebagai penghasil dokter pula. Sebagai contoh, di UM pendirian fakultas kedokteran sudah lama digaungkan sejak penulis masih kuliah disana (penulis lulus dari UM tahun 2018). Kondisi UM memang agak menyedihkan, karena UM Â menjadi satu-satunya kampus besar di Kota Malang yang tidak memiliki fakultas kedokteran, bahkan disalip oleh UIN Maulana Malik Ibrahim yang telah mendirikan fakultas kedokteran sejak tahun 2016. Oleh sebab itu UM terus menggebu-gebu ingin mendirikan fakultas kedokteran.
Keinginan pendirian fakultas kedokteran bagi eks IKIP memang sudah seharusnya tidak menjadi ajang adu gengsi semata. Akan tetapi pendirian fakultas kedokteran harus disertai dengan peningkatan kualitas fakultas-fakultas lain. Sehingga nantinya apabila fakultas kedokteran berdiri, tidak terjadi kesenjangan sosial antar fakultas. Terlebih jangan sampai prodi-prodi pendidikan yang memiliki nilai historis kuat di kampus eks IKIP, diabaikan. Memang akan terjadi interaksi yang cukup unik bila fakultas kedokteran didirikan di kampus-kampus eks IKIP, yakni dua calon profesi strategis yang terdiri atas calon guru dan calon dokter akan berada dalam satu naungan universitas, sehingga mereka akan saling melengkapi satu sama lain dalam memberikan sumbangsih pada masyarakat. Bukan tidak mungkin kedua calon profesi guru dan dokter tersebut akan berjodoh, seperti pasangan tentara dan bidan.
Akan tetapi bukankah nanti bisa terjadi gegar budaya (culture shock) di kampus karena  kedokteran secara gengsi masih berada di atas pendidikan alias keguruan ?. Jadi begini, dulu memang ada institut khusus ilmu keguruan dan Ilmu Pendidikan yakni IKIP, akan tetapi sampai sekarang penulis belum pernah menjumpai fakultas kedokteran membentuk institut sendiri, adanya justru adalah sekolah tinggi ilmu kesehatan atau keperawatan. Artinya, jurusan kedokteran selalu memiliki kebiasaan di bawah naungan universitas. Namun perasaan inferioritas mau tidak mau akan tetap ada di fakultas-fakultas non kedokteran. Dengan demikian pendirian fakultas kedokteran memang perlu diimbangi mentalitas yang kuat, bukan hanya di jajaran rektor dan dosen, melainkan juga di kalangan mahasiswa-nya. Sebab fakultas kedokteran selama ini selalu dikenal sebagai fakultas yang bersifat eksklusif, dan ini akan menjadi tantangan baru bagi segenap civitas akademika kampus eks IKIP.
Selain itu, kampus-kampus eks IKIP akan mendapat sorotan baru di masyarakat. Kalau sebelumnya kampus-kampus tersebut dikenal sebagai kampus pendidikan penghasil guru, kini mereka juga akan dikenal sebagai penghasil dokter, sehingga mungkin hal ini akan membingungkan orang awam. Sebagai contoh ketika penulis kuliah di UM, masyarakat sekitar rumah bingung ketika penulis mengatakan kuliah di UM, namun ketika disebut nama IKIP Malang mereka langsung paham. Anehnya, ketika penulis menjawab dari jurusan non pendidikan yakni Ilmu Sejarah alias Sejarah Murni, mereka kaget "masak di IKIP ada jurusan non pendidikan ?". Nah, bukankah tambah kaget mereka apabila kampus yang mereka kenal sebagai IKIP nanti ada fakultas kedokteran ?. Â Kita bisa bayangkan kalau fakultas kedokteran UM, nantinya akan mereka sebut sebagai fakultas kedokteran IKIP Malang, Â gimana aneh bukan ?.
Oleh sebab itu, kalau para kampus eks IKIP tersebut jadi mendirikan fakultas kedokteran, ini akan menjadi fenomena yang unik. Kita akan menyaksikan suatu peristiwa sejarah yang menarik, baik di kampus secara internal maupun di luar kampus secara eksternal alias masyarakat. Dengan demikian kita dapat berpikir bahwa pendirian fakultas kedokteran bagi kampus eks IKIP dapat menghapus kenangan sebagai sisa IKIP selama-lamanya. Dulu waktu penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di lapangan di Candi Kidal, ada orang kampus sebelah yang mengatakan "Ini dari jurusan Sejarah IKIP ya ?". Penulis pun kaget mendengar ucapan orang tersebut, karena bukannya IKIP Malang sudah tamat sejak 1999 ?, sekarang namanya sudah UM, dan kami juga bukan dari jurusan pendidikan. Dari sini kita bisa melihat bahwa pendirian fakultas kedokteran di UM nantinya juga memiliki suatu kesan positif secara eksternal, yakni orang-orang luar UM tidak akan mengatakan "Ini dari jurusan kedokteran IKIP Malang ya ?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H