Mohon tunggu...
Yoga Sulistya Pradana
Yoga Sulistya Pradana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S2 Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada

Selamat datang, Saya Yoga Sulistya Pradana, S.H. sedang menempuh studi S2 Magister Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada. Topik-topik tulisan saya bertemakan Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Hukum Agraria dan lain-lain. Semoga dapat bermanfaat bagi semuanya. Terima Kasih.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pertanggungjawaban Notaris terhadap Penghadap yang Memiliki Gangguan Bipolar dalam Pembuatan Akta Notaris

20 Juni 2024   02:46 Diperbarui: 20 Juni 2024   03:58 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang kesehatan jiwa pada Bab 1 Pasal 1 menjelaskan Pengertian Mengenai Penyakit kejiwaan terbagi menjadi dua yaitu orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan Orang dengan masalah Kejiwaan (ODMK). Bipolar termasuk kedalam ODGJ seperti yang diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.

Bipolar atau bipolar disorder, juga dikenal sebagai gangguan maniak-depresif, adalah penyakit mental yang menyebabkan perubahan suasana hati yang ekstrem, yang dapat terjadi dalam jangka waktu tertentu. Terdapat 2 (dua) fase gejala yang terjadi oleh penyakit bipolar, yaitu:

  • Fase maniak, terjadi saat peningkatan emosi, biasanya penderita merasa energinya meningkat dan sangat bersemangat dalam menjalan aktivitas.
  • Fase depresi, terjadi setalah fase maniak, fase ini menyebakan si penderita merasa kesedihan, putus asa, tidak semangat dan yang lebih parahnya mendorong penderita untuk bunuh diri.

Bipolar menurut perspektif Hukum Perdata sendiri terdapat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjamin tentang kepastian hukum bagi seorang penderita gangguan Bipolar dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Sesuai dengan Pasal 433 KUH Perdata menyatakan bahwa, “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.” Sehubungan dengan hal itu, kemudian menyebabkan adanya suatu permasalahan hukum baru mengenai seberapa beratkah gejala yang dialami oleh penderita atau kapankah seorang penderita dikategorikan untuk diletakkan dibawah pengampuan wali oleh Hakim Pengadilan Negeri.

Notaris menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris (UUJN) yaitu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dalam arti kewenangan yang ada pada notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, selama sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan notaris.

Kekuatan pembuktian dari akta-akta yang dibuat oleh Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, oleh karena itu Notaris dituntut untuk selalu dapat mempertanggungjawabkan setiap akta-akta yang dibuatnya secara substansi. Namun didalam praktik menjalankan wewenang untuk membuat akta otentik tersebut, besar kemungkinan seorang Notaris bertemu dengan penghadap yang memiliki gangguan Bipolar yang sangat sulit ditebak. Dikarenakan akta otentik adalah produk hukum Notaris yang kekuatan pembuktiannya sempurna, lantas sejauh mana Notaris dapat bertanggungjawab tentang fakta tersebut.

Meskipun masih terdapat ketidakpastian hukum terhadap kondisi tersebut, Notaris perlu berhati-hati dan selalu melakukan pendekatan yang baik kepada Penghadap atau Kliennya. Mengingat sebenarnya Notaris tidak secara langsung bertanggung jawab atas pernyataan yang disampaikan oleh Penghadap dalam pembuatan akta otentik. Hal ini sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) UUJN yang menyatakan, “Notaris tidak berwenang untuk menyelidiki dan membuktikan kebenaran keterangan yang disampaikan penghadap”.

Namun Notaris tetap dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelalaiannya dalam menjalankan tugasnya, Misalnya apabila Notaris telah mengetahui bahwa penghadap tidak cakap hukum, maka Notaris dapat digugat oleh pihak yang dirugikan. Akan tetapi, orang dengan gangguan bipolar tidak selalu bisa diketahui kecuali apabila adanya pernyataan dari penghadap sendiri. Notaris juga harus berhati-hati, dikarenakan orang yang memiliki gangguan bipolar rentan terhadap penipuan dan eksploitasi dari pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Apabila muncul keragu-raguan, maka Notaris berhak untuk menolak membuat akta tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun